REVIEW - THE DEVIL ALL THE TIME
Beberapa saat sebelum film usai,
protagonis kita, Arvin Russell (Tom Holland), duduk dalam mobil, kelelahan,
lalu menguap bersamaan dengan terdengarnya pidato Presiden Lyndon B. Johnson di
radio, perihal ajakan bagi para pemuda untuk terjun ke Perang Vietnam, guna
membuktikan pada komunis bahwa Amerika tak terkalahkan. Seolah kalimat bernada
patriotisme itu sekadar omong kosong (dan memang demikian). Momen tersebut
melemparkan pikiran saya kembali ke awal film, kemudian mempertanyakan, “Siapa
iblis sebenarnya?”.
Diangkat dari novel berjudul sama
karya Donald Ray Pollock, The Devil All
the Time membuka presentasinya dengan memperkenalkan kita pada Sersan
Willard Russell (Bill Skarsgård) yang baru kembali dari penugasannya di
Kepulauan Solomon selama Perang Dunia II. Dari namanya, bisa ditebak bahwa
Willard merupakan ayah Arvin. Willard menikahi pelayan cafe bernama Charlotte (Haley
Bennett), dan selepas kelahiran Arvin, memilih tinggal di perbukitan terpencil
di Knockemstiff.
Walau tahun demi tahun telah
berlalu, Willard masih dihantui peristiwa mengerikan saat salah satu rekannya
disalib dan disiksa oleh tentara Jepang. Willard membunuh si rekan demi
mengakhiri penderitannya, tak tahu kalau hal itu justru memberinya derita
berkepanjangan. Willard pun membuat tempat ibadahnya sendiri di tengah hutan, memasang
salib yang membuatnya terus mengingat kejadian traumatis itu, pun mengajak
Arvin kecil berdoa di sana. Melihat mata Skarsgård, kita tahu Willard tak pernah
sepenuhnya keluar dari neraka dunia, bahkan terperosok semakin dalam.
Tapi bukan itu saja kisah yang
filmnya miliki. Ada soal Helen (Mia Wasikowska), gadis religius yang menikahi
Roy (Harry Melling), seorang pengkhotbah radikal; Lenora (Eliza Scanlen),
puteri Helen dengan religiusitas serupa sang ibu, yang bertemu Preston (Robert
Pattinson) si pendeta pedofil; pasangan suami-istri Carl (Jason Clarke) dan
Sandy (Riley Keough) yang melakukan pembunuhan berantai sebagai metode
spiritual untuk mendekatkan diri pada Tuhan; juga Sheriff Lee (Sebastian Stan)
si polisi korup.
Selain paling menjual, duo
Holland-Pattinson juga memberi penampilan terbaik di antara jajaran ensemble cast. Bergaya ala James Dean,
Holland mengenyahkan citra “remaja baik-baik” yang didapatnya setelah
memerankan Peter Parker, sebagai pemuda yang tak ragu menggunakan kekerasan,
karena itulah yang diajarkan sang ayah. Sedangkan Pattinson memudahkan penonton
mengutuk karakternya, tapi di saat bersamaan, terpaku, betah menatap layar di
tiap kemunculannya.
Begitu banyak kisah dengan latar
waktu dan tempat berlainan mampu diatasi oleh naskah yang ditulis sutradara
Antonio Campos bersama saudaranya, Paulo Campos. Alih-alih berantakan,
banyaknya cabang justru membuat tuturannya padat, di mana dinamika selalu
terjaga tanpa satu pun titik membosankan. Pemakaian voice over turut membantu mengarahkan penonton memahami detail
maupun keterkaitan antar peristiwa yang cukup rumit. Penulis novelnya, Donald
Ray Pollock, menjadi narator dengan suara berat nan parau yang memperkuat
atmosfer. Kita bak mendengarkan pria tua yang sudah menyaksikan segala
kegelapan dunia, bercerita ditemani sebotol wiski.
Dan tak bisa dipungkiri, The Devil All the Time memang gelap.
Sangat gelap. Nuansa depresif membungkus cerita yang dipenuhi kematian, baik
pembunuhan maupun bunuh diri, yang ketimbang sadisme, lebih mengedepankan
dampak psikis. Belum lagi urusan pelecehan, hingga degradasi moral lain.
Perlu/tidaknya semua itu sejatinya patut diperdebatkan, namun jelas bukan tanpa
maksud. Membaca cuplikan alur di atas, selain beberapa kejutan yang mempertemukan
jalan tiap karakter,mungkin anda sudah bisa menangkap satu lagi benang merah,
yakni religiusitas.
Mayoritas kegilaan karakternya didasari pengabdian kepada Tuhan. Tapi ini bukan bentuk menyalahkan agama, melainkan gambaran betapa mengerikan kala penerapan agama itu diinterpretasikan oleh manusia-manusia (baca: warga Amerika) yang tak mampu berpikir jernih akibat goncangan di jiwa mereka. Goncangan yang menurut filmnya, bermula dari peperangan. Bahwa satu persoalan mental akibat perang dapat berdampak panjang serta luas. Semakin mengerikan, karena tidak ada tanda-tanda kalau semuanya segera berakhir, kala para penguasa (pimpinan negara, pemuka agama) masih menyalahgunakan kekuatan mereka. The characters act in the name of God, but it was the devil all the time.
Available on NETFLIX
2 komentar :
Comment Page:Pingin banget nonton. Tapi takut kena efek bad mood, soalnya pernah bad mood semingguan lebih gara2 nonton joker 😅
Judulnya menurut saya merefleksikan kata-kata Teagardin sih. Dia menyalahkan Devil tapi sebenarnya itu perbuatan manusia all the time.
Posting Komentar