REVIEW - HAMILTON

1 komentar

Hamilton merekam pertunjukan musikal Broadway berjudul sama (tepatnya tiga pertunjukan yang disatukan) karya Lin-Manuel Miranda. Kita bak diajak duduk bersama para penonton di Richard Rogers Theatre yang dapat kita dengar tawa serta tepuk tangannya sepanjang pementasan. Tapi tak sekalipun kita dibawa naik ke atas panggung. Kamera selalu menangkap peristiwa dari depan, bahkan dalam beberapa setup shot (termasuk 13-14 nomor musikal) yang diambil menggunakan Steadicam, crane, dan dolly.

Seolah ada sekat yang tak ingin ditembus sutradara Thomas Kail. Filmnya membiarkan realita panggung tetap berada di panggung, memisahkannya dengan realita sesungguhnya di kursi penonton. Sebab yang ingin diberikan adalah pengalaman menonton. Ketika close up digunakan, tujuannya bukan membaurkan realita, namun sebatas “ganti rugi” atas atmosfer yang takkan dirasakan saat menyaksikan di layar. Pendekatan konvensional mungin bakal melahirkan musikal yang lebih kuat, tapi inilah hasil terbaik yang bisa didapat dari tujuan di atas.

Naskah milik Miranda mengadaptasi buku biografi Alexander Hamilton buatan Ron Chernow. Penyesuaian yang cukup berani, diterapkan. Beberapa yang paling utama adalah penggunaan musik hip hop modern, dan memakai pemain non-kulit putih untuk memerankan para founding fathers Amerika Serikat. Miranda membuat sebuah kisah yang “sangat kulit putih” menjadi kaya keragaman. Manusia-manusia rasis dan penganut white supremacy niscaya kebakaran jenggot mendengar lirik “Immigrant, we get the job done!”.

Miranda sendiri memerankan Hamilton, seorang imigran asal Pulau Nevis, Karibia, yang sepanjang 160 menit kita ikuti perjalanannya. Dimulai dari kedatangannya di New York pada 1776; terlibat perlawanan atas penjajahan Raja George III (Jonathan Groff) bersama teman-temannya, termasuk aristokrat Prancis, Marquis de Lafayette (Daveed Diggs) dan Hercules Mulligan (Okieriete Onaodowan) si mata-mata keturunan Irlandia; menjadi tangan kanan George Washington (Christopher Jackson) selama Revolusi Amerika Serikat; hingga menduduki jabatan Menteri Keuangan selepas kemerdekaan.

Apabila belum terbiasa menonton musikal berbentuk sung-through, mungkin anda akan kesulitan menangkap deretan “pelajaran sejarah” versi Lin-Manuel Miranda. Apalagi bukan cuma dinyanyikan, mayoritas dialog dijadikan rap. Tapi bagi yang familiar, akan mudah terkesima, baik oleh pertunjukannya sendiri, maupun penerjemahannya ke media film.  

Saya terpukau oleh aktor-aktornya, yang tetap prima bergerak lincah penuh tenaga ke tiap sudut panggung sambil melempar bait-bait rap, yang butuh perpaduan stamina dengan teknik pernapasan luar biasa. Saya pun terpukau oleh estetikanya. Permainan tata lampu, pergantian set yang membaur mulus dengan tarian, hingga pusat panggung yang bisa diputar 360 derajat sebagai alat bermain-main dengan blocking, di mana kesempurnaan timing pergerakan dan nyanyian para pemain merupakan kewajiban.

Terkait filmnya, dibantu penyuntingan Jonah Moran, Kail mampu memperkuat penekanan momen, yang di panggung dicapai lewat permainan lampu dan gerak aktor. Kail tahu, kapan mesti memakai wide shot, medium shot, tracking shot, dan close-up, untuk menghadirkan kesan sedekat mungkin dengan menontonnya langsung di gedung pertunjukan. Meski harus diakui pencapaian Hamilton jelas amat bergantung pada kualitas pertunjukannya. 

Sedangkan pilihan musiknya adalah pencapaian tinggi. Hip hop sarat kata-kata tajam selaku wadah kreativitas pengadeganan termasuk kala pertemuan kabinet yang memanas disulap jadi rap battle, R&B, sampai pop dan balada, bersatu menciptakan ragam warna serta dampak rasa. Adrenalin dipacu, air mata pun beberapa kali mengalir. Sedangkan tawa paling banyak hadir setiap George III menampakkan diri. Sosoknya bak badut, sebagai satir atas kekejamannya, yang berkata hendak mengungkapkan cinta kasih terhadap rakyat melalui pembantaian. Pun saya tergelak mendengar keterkejutannya atas pengunduran diri George Washington sebagai Presiden, sebab ia tidak tahu kalau pemimpin negara bisa meletakkan jabatan.

Arogansi, ditambah kekuasaan, mungkin membuat George III lupa, atau bahkan tak peduli soal bagaimana sejarah mencatat namanya. Tapi Hamilton peduli. Begitu pun Aaron Burr (Leslie Odom Jr.). Keduanya boleh berbeda ideologi. Hamilton selalu tancap gas, sedangkan Burr memilih sabar menanti. Tapi, sewaktu bangsa terbentuk, mereka sama-sama ingin meletakkan pondasi bagi buah hati masing-masing. “Gotta start a new nation, gotta meet my son”, ungkap Hamilton dengan mata berkaca-kaca.

Tapi saat urusan legacy berbenturan dengan kotornya politik, penerapannya tak semudah itu. Terjadi aksi saling serang, saling mengkhianati, bahkan tragedi. Dari situlah kita melihat jika film ini (otomatis pertunjukannya pun sama) menolak mengultuskan sang protagonis. Hamilton jauh dari kesan suci, namun bukan berarti legacy-nya sia-sia. Momen penutupnya menyampaikan itu, ketika sang istri, Eliza (Phillipa Soo) menyanyikan nomor emosional, Who Lives, Who Dies, Who Tells Your Story. Sebenarnya bukan di akhir saja Eliza mencuri perhatian. Setiap kemunculannya selalu memancing haru.

Eliza bukan karakter utama. Judul film dan pertunjukan tidak menggunakan namanya, Walau demikian, sebagaimana figur-figur lain, ia merupakan bagian substansial narasi yang tercatat dalam sejarah dan legacy-nya akan selalu dikenang. And of course, that “gasp”. Gestur penutup kecil yang memunculkan banyak pertanyaan. Mengapa Eliza terkesiap? Apakah ia mendobrak batasan realita ruang dan waktu lalu melihat bagaimana legacy-nya diturunkan seiring perkembangan bangsa yang ia saksikan kelahirannya? Ataukah itu momen “breaking the fourth wall” di mana Eliza bertatap mata dengan penonton, menyadari bahwa selama ini pembentukan legacy-nya selalu disaksikan? Atau wujud “tanda seru” dari Lin-Manuel Miranda, guna menutup kisahnya yang bak rangkaian kalimat pernyataan-pernyataan tegas?

Available on DISNEY+ HOTSTAR

1 komentar :

Comment Page:
Adnonef mengatakan...

Belum ada yang review Tenet ya???