Tampilkan postingan dengan label Andrew Rannells. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Andrew Rannells. Tampilkan semua postingan

REVIEW - THE PROM

Ryan Murphy kembali ke kursi penyutradaraan film panjang setelah satu dekade absen (terakhir melalui Eat Pray Love). Tapi berkat karya-karyanya di layar kaca, kita tahu harus berekspektasi seperti apa terhadap The Prom, sebuah komedi musikal remaja sarat pesan relevan mengenai kesetaraan dan self-love, serta inklusivitas yang memberi kesempatan bersuara bagi para minoritas, meski di tangan Murphy, suara tersebut dipenuhi keklisean, drama opera sabun, serta kemustahilan.

Diadaptasi oleh duo penulis naskah Bob Martin dan Chad Beguelin dari musikal Broadway berjudul sama, yang juga dilahirkan oleh mereka berdua, The Prom mengisahkan tentang malam prom di sebuah SMA di Indiana, yang dibatalkan. Menurut Greene (Kerry Washington) selaku ketua POMG, pembatan itu dikarenakan salah satu siswi, yaitu Emma Nolan (Jo Ellen Pellman), berniat membawa sesama perempuan ke acara tersebut. Walau didukung penuh oleh Tom Hawkins (Keegan-Michael Key) sang kepala sekolah, Emma tetap mendapat celaan dari seisi sekolah.

Di tempat lain, dua bintang Broadway narsis, Dee Dee Allen (Meryl Streep) dan Barry Glickman (James Corden), tengah merasa hancur karena pertunjukan terbaru mereka dicela habis-habisan oleh kritikus. Sampai berita mengenai Emma memberi keduanya ide. Demi publisitas, Dee Dee dan Barry, ditemani Trent Oliver (Andrew Rannells) si lulusan Julliard graduate dan Angie Dickinson (Nicole Kidman) si chorus girl, berniat datang ke Indiana guna membantu Emma.

Sebagaimana negara-negara adidaya merasa negara miskin butuh uluran tangan mereka untuk meraih kesejahteraan, atau SJW kota besar penghuni cafe mahal menganggap orang-orang desa perlu mereka edukasi, keempat bintang Broadway ini ngotot memberi bantuan, tanpa tahu (baca: peduli) apa yang Emma butuhkan. Tapi sekali lagi, ini film Ryan Murphy, di mana manusia-manusia berperangai buruk bakal menyadari kesalahan, kemudian berubah. Walau perubahan itu tak melalui proses yang meyakinkan.

Bahkan melalui kacamata musikal, di mana nyanyian dapat menyelesaikan masalah, simplifikasi yang dilakukan The Prom termasuk berlebihan. Sesuka apa pun saya mendengar sindiran terhadap kemunafikan para homofobia soal pengaplikasian ajaran Alkitab dalam nomor Love Thy Neihgbor, sekuen musikal ini jadi bukti nyata penyederhanaan filmnya atas masalah kompleks. Tapi saya yakin Murphy, Martin, dan Beguelin menyadari itu.

Meski mengganggu, rasanya mereka bukan sedang membodohi penonton. Kekurangan di atas merupakan kesengajaan. Seperti perkataan Pak Hawkins mengenai bagaimana Broadway menjadi eskapisme, The Prom menyediakan tempat bagi penonton untuk kabur dari ketidakadilan realita, ditemani lagu-lagu super catchy berlirik super cheesy. Murphy pun mampu melahirkan hiburan menyenangkan di deretan sekuen musikal, contohnya klimaks meriah berlatar malam prom, yang biarpun lagi-lagi terkesan naif, mengandung niat baik, yakni menyediakan safe haven bagi semua orang, apa pun gender dan preferensi seksual mereka.

Penceritaan The Prom bukan hanya terganggun simplifikasi, juga penyertaan subplot, juga momen-momen tidak perlu. Mungkin para penulis ingin penonton juga peduli pada karakter-karakter selain Emma, namun akibatnya, fokus melebar, pun durasi membengkak hingga 131 menit. Mungkin bakal melelahkan andai filmnya tidak memiliki jajaran pemain jempolan. Di luar dugaan Corden cukup baik mengolah rasa, Keegan memberi kita figur likeable, begitu pula Pellman, sebagai protagonis yang dengan senang hati kita dukung berkat keteguhan dan kekuatannya. Streep? Mungkin tidak banyak aktris selain Streep yang mampu menggabungkan sisi komikal over-the-top dengan kerapuhan sosok bintang paruh baya yang hatinya tak seglamor citranya. Sementara performa Kidman di lagu Zazz bakal membuatmu merindukan Satine dari Moulin Rouge!, berharap suatu hari sang aktris akan mendapatkan proyek musikal serupa sebagai bintang utama.


Available on NETFLIX

REVIEW - THE BOYS IN THE BAND

Kisah tentang pria gay yang membenci dirinya sebagai dampak psikis penolakan sosial, mungkin terkesan kuno, apalagi pada zaman di mana para penulis berlomba-lomba merayakan LGBT, dengan menggambarkannya sebagai sesuatu yang patut dibanggakan. Tapi The Boys in the Band memang produk masa lalu. Diangkat dari pertunjukan Off-Broadway fenomenal berjudul sama yang pada 1968 mendobrak banyak batas, versi film terbaru ini (pada 1970, adaptasi layar lebarnya juga pernah dibuat), mengembalikan jajaran pemain revival Broadway-nya (semua adalah aktor yang secara terbuka mengaku sebagai gay), yang dipentaskan pada 2018 lalu.

Benar bahwa di beberapa bagian, elemen ceritanya ketinggalan zaman, namun The Boys in the Band, yang lahir pada era pre-liberation, memang lebih tepat dipandang sebagai period piece ketimbang cerminan masa kini. Walau jika dilihat menggunakan sudut pandang yang lebih general mengenai psikis manusia, relevansi-relevansi masih bisa ditemukan.

Pada Juli 1968, ditemani musik jazz dan suasana malam yang sempurna dijadikan latar bercengkerama bersama teman (kecuali hujan yang sempat turun), sembilan pria gay berkumpul di apartemen Michael (Jim Parsons), guna merayakan ulang tahun Harold (Zachary Quinto), yang terlambat datang sehingga memancing amarah Michael. Tapi sebelum itu, naskah buatan Mart Crowley (penulis pertunjukan aslinya) dan Ned Martel terlebih dahulu mengajak kita mengenal sosok-sosok lain.

Michael si tuan rumah adalah penganut Katolik sekaligus mantan alkoholik, yang mementingkan penampilan meski itu membuatnya terlilit utang. Donald (Matt Bomer) tengah menjalani terapi untuk mengatasi gangguan kecemasannya. Larry (Andrew Rannells) adalah seniman penganut gaya hidup bebas, sementara kekasihnya, Hank (Tuc Watkins), yang ada di tengah proses perceraian, mengedepankan komitmen. Emory (Robin de Jesús) si flamboyan yang gemar melontarkan humor-humor campy, datang membawa Cowboy (Charlie Carver), si pelacur pirang yang bodoh. Terakhir ada Bernard (Michael Benjamin Washington), pria kulit hitam yang bertahun-tahun memendam rasa pada pria kulit putih pemilik rumah tempat ia dan ibunya dulu bekerja sebagai pelayan.

Interaksi yang dibangun, efektif membantu penonton mengingat “siapa adalah siapa”. Performa jajaran pemain pun kuat, di mana Jim Parsons sebagai Michael yang menyulut mayoritas perkitaian, paling menonjol. Hanya Matt Bomer yang kurang meyakinkan, dan itu bukan sepenuhnya kesalahan sang aktor. Naskahnya memperkenalkan Donald sebagai pria dengan kondisi psikis berantakan, namun sepanjang durasi, ia justru nampak paling tenang dan tertata.

Banyak persoalan karakternya, jamak kita lihat di kehidupan sehari-hari, baik di lingkup LGBT atau bukan. Larry dan Hank membenturkan komitmen dan kebebasan dalam hubungan, Emory memperlihatkan bahwa sosok happy-go-lucky bisa saja menyimpan kerapuhan di dalam, sedangkan kebencian Michael atas diri sendiri, cenderung membuatnya “memaksa” orang lain mengakui hal serupa. Kecenderungan itu makin nyata selepas kedatangan dua pria lain.

Pertama adalah tamu tak diundang. Alan (Brian Hutchison), teman Michael semasa kuliah, mendadak muncul, setelah sebelumnya menelepon sambil menangis. Kita tidak pernah tahu alasannya menumpahkan air mata, walau secara tersirat, kemungkinan ia merupakan closeted gay yang terjebak dilema. Alan melontarkan banyak ucapan bernada homofobia, membuat Michael makin bersemangat untuk memaksanya mengaku sebagai gay. Bukannya Michael peduli kepada Alan atau ingin membela kaum gay. Dia cuma ingin menyakiti kawan lamanya itu.

Semakin kentara setelah kedatangan Harold, yang terus Michael tuding sebagai pria menyedihkan yang selalu merasa khawatir akan penampilannya, dan punya tendensi bunuh diri, namun takkan punya keberanian untuk melakukannya. Quinto menampilkan kharisma eksentrik, penuh ketenangan dalam menangkis kata-kata pedas Michael, yang ingin semua orang (baca: semua gay) membenci diri mereka sebagaimana ia membenci dirinya sendiri.

Penyutradaraan Joe Mantello mampu menjadikan perbincangan sembilan pria ini dinamis, menghibur, dan tak terlalu stagey bagi penonton film. Sebuah malam yang meriah dan berisik, tapi di balik tawa yang hampir selalu terdengar, ada rasa takut setia mengintai. Ketakutan kalau ada orang yang melaporkan mereka ke polisi karena merasa “terganggu”. Ketakutan yang masih dirasakan oleh para korban penindasan sampai sekarang, sehingga The Boys in the Band sejatinya masih relevan. Artinya, lebih dari empat dekade berselang, kita belum melangkah jauh.


Available on NETFLIX