REVIEW - HUJAN DI BALIK JENDELA

Tidak ada komentar

Merupakan produksi perdana KlikFilm Productions (selain Tentang Rindu), Hujan di Balik Jendela merupakan adaptasi, atau lebih tepatnya interpretasi, dari lagu berjudul sama milik Senandung. Lirik soal kerinduan dikembangkan oleh naskah buatan Budhita Arini dan Raditya Kurnia menjadi lebih luas. Terlalu luas malah, sampai beberapa pengembangan terasa kurang perlu. Inilah contoh penceritaan yang cenderung memperhatikan "perluasan", namun tidak "pendalaman".

Dika (Bio One), seorang aktivis, menjalin cinta dengan Alda (Yasamin Jasem) si puteri keluarga kaya. Guna memantaskan diri di bagi sang kekasih, Dika terpaksa menanggalkan idealisme, menjadi "budak korporat" dengan bekerja di perusahaan hukum. Pada malam perayaan hari jadi hubungan mereka, Dika melamar Alda. Keduanya berencana menikah lima tahun lagi, selepas Alda menyelesaikan pendidikan hingga jenjang S2. Di situlah Alda berjanji, akan bermain piano di hari pernikahan kelak. 

Demi mewujudkan janji tersebut, Alda mulai berlatih piano di bawah bimbingan Giselle (Clara Bernadeth). "Ini pacarku. Dia aktivis", ucap Alda kala mengenalkan Dika kepada Giselle. Hujan di Balik Jendela memang berusaha keras menyelipkan unsur politis. Pertama kita bertemu dua protagonisnya, Dika baru saja selesai menghadiri rapat bersama serikat buruh. Kemudian terungkap pula, bahwa sikap Giselle yang menutup diri, dipicu duka mendalam akibat kehilangan tunangannya saat kerusuhan 1998 pecah. 

Mengapa segala konflik batin karakter, baik perihal idealisme maupun duka, mesti menyenggol urusan politis? Haruskah semua dikaitkan ke situ? Ketika tidak ada dampak khusus, pilihan di atas berujung pernak-pernik semata. Inilah yang saya maksud dengan "memperluas tanpa memperdalam". Lirik tentang kerinduan digiring menuju urusan yang jauh lebih besar nan pelik, namun signifikansi tidak bertambah. Ganti profesi Dika (misalnya) menjadi musisi, atau ubah tragedi yang Giselle alami, dan hasilnya akan sama saja. 

Kemudian Dika mulai menjalin kedekatan dengan Giselle. Awalnya, kedekatan itu didorong niat baik, agar Giselle mampu lepas dari trauma. Terciptalah cinta segitiga, yang dimotori penampilan apik tiga pemain utama. Bio One dan Yasamin Jasem membangun chemistry menggemaskan khas romansa anak muda, sembari tetap solid saat dituntut memunculkan emosi yang lebih "serius". Pemilihan Clara Bernadeth (26 tahun) sebagai wanita 40 tahun memang wujud keputusan ngawur, tapi sang aktris membuktikan kapasitasnya menghidupkan seseorang yang hidupnya dipenuhi rasa sesak akibat kesedihan yang terus dipendam. Berkat Clara, mudah bagi penonton bersimpati kepada Giselle. 

Mereka bertiga seolah tidak terlalu terganggu, walau mendapat naskah yang inkonsisten dalam penulisan dialog. Terkadang kalimat dari mulut karakternya terdengar natural, terkadang berubah jadi puitis secara acak, bukan sebuah bentuk penekanan bagi peristiwa-peristiwa khusus. Minimal naskahnya tidak terjangkit penyakit film romansa Indonesia dengan karakter remaja, yang kerap kurang efektif menggerakkan alur, akibat berlama-lama di momen-momen nihil substansi. Biarpun mengusung tone sendu, Hujan di Balik Jendela bergerak dinamis, cepat, tanpa basa-basi. 

Terkait penyutradaraan, saya mempertanyakan keputusan Dyan Sunu Prastowo memperdengarkan musik di mayoritas durasi. Benar bahwa musik melankolis berbasis piano hasil gubahan Ganden Bramanto efektif dalam pembangunan mood, tapi kuantitas yang berlebihan justru membuat filmnya tampil bak video klip. Apakah sang sutradara kurang percaya pada kemampuannya membangun atmosfer jika tidak dibantu musik? Atau semata karena Hujan di Balik Jendela merupakan adaptasi sebuah lagu?

Kesenduan bertahan hingga penutup, yang meski mengandung harapan, tetap terasa getir. Kegetiran itu sayangnya ditimbulkan oleh alasan yang kurang tepat. Saya tidak akan memberi spoiler, tapi intinya, sebagai kisah mengenai pencarian kebahagiaan, Hujan di Balik Jendela memperlakukan Giselle, selaku karakter yang paling pantas merasakan kebahagiaan, secara tidak adil. Sebaliknya, Dika si pria brengsek (Caranya "membantu" Giselle yang kehilangan sosok tercinta, justru Alda berpotensi merasakan kehilangan serupa) malah dijustifikasi sebagai pemuda yang melakukan kesalahan karena belum mengenal diri sendiri serta orang-orang di sekitarnya. 


Available on KLIK FILM

Tidak ada komentar :

Comment Page: