REVIEW - SEPERTI DENDAM, RINDU HARUS DIBAYAR TUNTAS

12 komentar

Statusnya sebagai film Indonesia pertama pemenang Golden Leopard (film terbaik) di Locarno Film Festival, niscaya memancing berbagai dialog perihal narasinya. Bagaimana persoalan toxic masculinity dan seksualitas dikupas, hingga subteks mengenai orde baru. Apalagi ini film karya Edwin, yang mengadaptasi novel buatan Eka Kurniawan. Ragam interpretasi pasti bermunculan. Tidak salah. Bagus malah. Tapi rasanya satu pencapaian bakal absen diperbincangkan, yakni bahwa Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (punya judul internasional Vengeance Is Mine, All Others Pay Cash) merupakan film paling menghibur yang dilahirkan Edwin sejauh ini. 

Penyatuan berbagai genre seperti aksi 80-an, eksploitasi, komedi hitam, pula sedikit bumbu supernatural, membuat 114 menit durasinya terasa singkat. Penuh sesak, dan mungkin terlalu banyak hal terjadi, namun di situlah letak kesenangannya. Kapan lagi kita bisa menyaksikan adu kecepatan, bukan antara mobil-mobil mewah hasil modifikasi, melainkan dua truk, yang tentu saja baknya dihiasi lukisan serta tulisan menggelitik. 

Berlatar tahun 1980-an (lokasi tak spesifik, di mana pelat kendaraannya bertuliskan "AK-E" yang merupakan kebalikan dari "EKA"), dikisahkan ada seorang pemuda bernama Ajo Kawir (Marthino Lio) yang begitu gemar berkelahi. Menantang maut seolah jadi rutinitas. Semua dilakukan demi pembuktian maskulinitas, karena dia impoten. Pada era tatkala machismo diagungkan, impotensi tak ubahnya kehilangan harga diri, yang bagi sebagian pria, mungkin lebih buruk dari kematian. Ajo Kawir tidak takut mati. "Hanya orang yang tidak bisa ngaceng yang tidak takut mati", begitu narasinya berbicara. 

Walau berlatar masa lalu, sosok Ajo Kawir (sayangnya) masih relevan sampai sekarang. Tendensi agresivitas laki-laki agar kejantanannya tak dipertanyakan, masih kerap kita jumpai. Entah dengan cara berkelahi, melakukan hal-hal ekstrim, mengumbar sumpah serapah, atau yang paling parah, lewat pelehan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga. 

Berbagai jalan telah Ajo Kawir tempuh agar "burungnya berdiri", termasuk mengunjungi Mak Jerot (Christine Hakim) demi menjalani pengobatan, namun semua gagal. Situasi mulai berubah sejak pertemuan Ajo Kawir dengan Iteung (Ladya Cheryl), bodyguard seorang pengusaha. Pertemuan perdana mereka berujung baku hantam. Sinematografi yang ditangani Akiko Ashizawa (Tokyo Sonata, Creepy) belum cukup mumpuni membungkus perkelahian, apalagi bagi film yang mengaku terinspirasi oleh film laga Hong Kong. Momen terbaik justru hadir ketika kamera diam, menangkap dua aktornya habis-habisan melakoni koreografi. Totalitas dan fleksibilitas mereka (terutama Ladya Cheryl) patut diacungi jempol. 

Keduanya langsung jatuh cinta. Mungkin ketangguhan Iteung memikat maskulinitas Ajo, sementara Ajo di mata Iteung adalah jagoan. Walau "burung si jagoan" tidak bisa berdiri, Iteung enggan ambil pusing, bahkan mau dinikahi. Tentu ini tak sesederhana "proses menerima kelemahan pasangan dalam romantika". Biarpun naskah buatan Edwin dan Eka telah menyederhanakan novelnya (dalam konteks menekan keabsurdan), masih ada begitu banyak hal terjadi. 

Misi Ajo Kawir menghabisi target dari Paman Gembul (Piet Pagau) yang mewakili aksi aparat melenyapkan orang yang dipandang berbahaya, keberadaan Budi Baik (Reza Rahadian) si penjual obat kuat yang sejak lama menyukai Iteung, kemunculan wanita misterius bernama Jelita (Ratu Felisha dalam riasan yang membuatnya sukar dikenali) di paruh akhir yang menghembuskan napas mistis ke filmnya, dan masih banyak lagi. 

Sekali lagi, alurnya penuh sesak, beberapa momen dapat dipangkas, namun naskah mampu tampil rapi, dan terpenting, terarah. Seliar apa pun subplotnya bergulir, tetap mengerucut pada pokok pahasan tentang machismo. Secara spesifik, machismo yang terbentuk oleh pelestarian kekerasan dalam satu era. Sebuah era di mana para pemegang kuasa di area masing-masing (aparat, guru, presiden) menyalahgunakan kekuatan mereka. Sebuah era di mana "bos besar" melarang rakyat melihat gerhana matahari agar tidak buta, sambil "membutakan mata" atas tirani melalui pengalihan isu serta pelenyapan berbagai pihak. 

Terdapat satu poin yang terasa meleset. Sewaktu naskah meletakkan eksposisi berisi masa lalu karakter, timbul kesan karakter itu terangsang oleh pelecehan yang ia alami semasa kecil. Walau setelah makin banyak tabir terungkap, jelas bahwa kesan tersebut murni akibat timing yang kurang pas, dan filmnya bukan bermaksud meromantisasi pelecehan. 

Ada banyak seksualitas dalam Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Baik dibarengi cinta, semata nafsu, atau wujud kejahatan. Baik dilakukan orang dewasa, maupun anak. Saya sangat mengapresiasi bagaimana Edwin tak menjadikan seks anak sebagai lahan eksploitasi. Tidak ada satu pun seksualitas yang melibatkan karakter bocah tampil gamblang, sehingga menjaga fungsinya selaku penelusuran atas trauma alih-alih sekadar shock value. 

Seksualitas juga jadi materi humor gelap, yang turut bertujuan menyentil maskulinitas. Nakal, playful, tapi bukan bentuk perversi. Dari situ, kritik berhasil disampaikan secara menghibur. Kekerasan zaman (atau bisa kita sebut "rezim") yang mengisi keseharian masyarakat, ibarat siulan-siulan untuk membangkitkan si burung, dan bila seseorang kukuh memuja kekerasan berlandaskan toxic masculinity tersebut, dan cuma mau berpikir memakai "burungnya", alangkah baiknya ia sekalian mati seperti sangkar burung yang tergantung di atas tiang. 

Selain humor dan beberapa aksi, daya pikat juga terletak pada penampilan para pemain. Ladya Cheryl kembali setelah lama absen (terakhir tampil di Flutter Echoes and Notes Concerning Nature yang tayang di JAFF 2015), dan kemampuannya memadukan akting dramatis dan kebolehan melakoni aksi tangan kosong, membuktikan kualitasnya masih sama. Marthino Lio dengan kegelisahan karakternya tidak kalah kuat, meski bagi saya, Reza Rahadian paling mencuri perhatian. 

Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas memakai gaya bahasa cenderung baku ala film-film Indonesia zaman dulu, dan di antara tiga pemain utama, Reza yang paling mulus menanganinya. Reza bicara, seolah ia memang hidup pada masa itu, pun paling meyakinkan saat berhadapan dengan adegan laga. Rasanya jika memerankan pohon pisang pun ia bakal tetap menarik disaksikan. 

Pada akhirnya, berdiri atau tidaknya burung Ajo Kawir bukan masalah. Bagaimana ia menerima itu adalah yang terpenting. Paruh keduanya membawa Ajo Kawir berubah. Dia tampak lebih damai, karena telah mulai coba berdamai dengan dirinya sendiri. Memaksa burung yang tertidur agar terbangun bisa lebih berbahaya ketimbang membangunkan macan. 


(Digital Screening Toronto International Film Festival)

12 komentar :

Comment Page:
Unknown mengatakan...

Nonton dimana bang?

Taufik Adnan mengatakan...

Ini bisa d tonton dmna mas rasyid?

Chan hadinata mengatakan...

Bantu jawab.. Di Digital streaming TIFF masi ada 1 screening.. bayar tiketnya kisaran $26

Rasyidharry mengatakan...

Oh dan bisa ditonton bareng. Entah max berapa orang, tapi berdua jelas aman (selama vpn tembus). Jadi bisa patungan itu

Anonim mengatakan...

bang mau nanya, ini film banyak adegan sex ya? kalo begitu gabisa tayang di indo dong pasti kena sensor semua kalo masuk sini.

Rasyidharry mengatakan...

Tergantung rating yang dikejar sih. Tapi jelas Edwin dari awal udah ngincer filmnya tayang di sini. Mayoritas seksnya antara off-screen atau nggak vulgar. Maksimal cuma 3 shot singkat yang harus diilangin

Unknown mengatakan...

Menurut Bang Rasyid, ini film bisa masuk Oscars, nggak?

Rasyidharry mengatakan...

Rada susah sih. Marlina yang tema lebih relevan, bikin genre western yang macho jadi feminis, dan di-backing publicist berpengalaman aja nggak berhasil. Tapi siapa tahu status menang di Locarno bikin buzz naik. Tergantung campaign

tia mengatakan...

ya bang locarno sayangnya pengaruhnya gak sebesar 3 festival besar itu (cannes,venice,berlin) jadinya susah tapi kalau masuk daftar pendek 15 film itu kayaknya ada peluang.tapi dengan kemenangan edwin di locarno moga aja nanti next film edwin bisa bertarung di festival yang lebih bergengsi.

next film mouly surya perang kota yang sama-sama tentang pria impoten bisa jadi film pertama kita di oscar.

Unknown mengatakan...

Betul. Jadi kampanye film ini harus digencarkan kalau mau ngincar Oscars.

Raid Mahdi mengatakan...

Salut sih buat Edwin kalau bisa mengadaptasi adegan paling mengerikan di novelny, memang bisa dibikin sama sih itu adegan

Malas mengatakan...

Penasaran adaptasinya sama kayak di buku nggak ya