REVIEW - NO TIME TO DIE

12 komentar

No Time to Die melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan film Bond lain, yakni memberi closure. Sejak era Sean Connery sampai Pierce Brosnan, petualangannya cenderung "lepas". Beberapa sekuel meneruskan kisah sebelumnya, tapi bukan sebagai saga yang berkelanjutan dan saling berpengaruh. Ditambah lagi kontinuitas ambigu serinya, yang sampai memunculkan beragam teori.  

Tapi sejak Casino Royale 15 tahun lalu, era Craig memang mendobrak berbagai pola, termasuk memanusiakan Bond sebagai pria dengan trauma yang dipicu kehilangan demi kehilangan. Ketika Vesper Lynd (Eva Green) tewas di Casino Royale, kita tahu ini berbeda dengan kematian Tracy di Vicenzo dalam On Her Majesty's Secret Service (1969). Dampak kehilangan Lynd terus Bond rasakan, membentuknya menjadi figur yang terluka dan sulit menaruh rasa percaya. 

Pasca berhasil menangkap Blofeld (Christoph Waltz), Bond pensiun dari MI6 guna menjalani hidup baru bersama Madeleine (Léa Seydoux) di Italia. Sampai serangan para anggota Spectre membangkitkan traumanya, membuatnya mempertanyakan intensi Madeleine. Lima tahun berselang, sebuah kelompok teroris di bawah pimpinan Lyutsifer Safin (Rami Malek) menebar ancaman lewat senjata biologis mematikan, sehingga memaksa Bond kembali beraksi.

Ditulis oleh duo Neal Purvis dan Robert Wade yang telah melahirkan naskah Bond sejak The World Is Not Enough (1999), juga Phoebe Walter-Bridge serta sang sutradara, Cary Joji Fukunaga, sekilas tiada perubahan signifikan antara film ini dengan Skyfall (2012) dan Spectre (2015), selaku kombinasi formula klasik dan modern serinya. Antagonis dengan rencana merusak tatanan dunia; petualangan di berbagai negara, alat canggih ciptaan Q (Ben Whishaw); M (Ralph Fiennes) dan Moneypenny (Naomie Harris) yang tak lagi hanya duduk di belakang meja; dan lain-lain.

Serupa. Tapi, tidak sama. Konflik maupun motivasi karakter, bermuara pada gejolak batin si agen rahasia, ketimbang berdiri sendiri sebagai plot device, menegaskan bahwa film-film Craig merupakan character-driven. Konklusinya mungkin memecah opini penggemar, namun jelas pantas menutup cerita tentang individu yang berusaha memaafkan diri sendiri, sambil belajar cara mencintai. Setelah hampir enam dekade, Bond akhirnya berubah total, dari playboy yang rutin berganti wanita, menjadi pria yang meneteskan air mata sembari tersenyum karena cinta.

Sebagaimana Casino Royale, kelayakan Craig menyabet nominasi Oscar kembali diutarakan banyak kritikus. Tentu peluangnya amat kecil, namun poin utamanya bukan soal berhasil meraih penghargaan atau tidak, tetapi bagaimana Craig memanusiakan Bond, menjadikannya lebih dari sekadar ikon keren, melainkan sosok yang perasaannya bisa penonton pahami. 

Jajaran bond girls pun terus berevolusi, naik kelas, bukan cuma pemanis semata. Léa Seydoux bakal mencatatkan namanya di buku sejarah James Bond karena alasan yang tidak bisa saya sebut demi menghindari spoiler. Pastinya, meneruskan jejak Vesper, Madeleine berkontribusi menambah bobot emosi penceritaan. Sedangkan Ana de Armas sebagai Paloma si agen CIA, meski cuma muncul sejenak, turut membawa angin segar. Dia canggung, playful, tapi begitu mengangkat senjata, jelas bahwa masa di mana bond girls adalah damsel in distress yang selalu butuh ditolong, telah berakhir. Paloma is the first bond girl that deserves a spin-off. 

Bond yang lebih manusiawi, gadis-gadisnya yang makin modern, semua menyangkut relevansi. Mungkin itu juga, kenapa bagi saya, amunisi Safin lebih mengerikan dari kebanyakan musuh Bond. Senjata biologis yang menyasar target secara spesifik melalui DNA, pun bisa menyebar hanya lewat satu sentuhan layaknya virus mematikan. Bagaimana jika kita menularkan virus itu ke tubuh orang terdekat? Teror Safin memainkan salah satu rasa takut terbesar manusia, yaitu terpisahkan dari orang-orang tercinta. Bakal berbeda jika dipakai lima tahun lalu, tapi sekarang, senjata tersebut jadi lebih nyata, dan memunculkan ketidakberdayaan yang terasa sangat dekat.

Berkatnya, Safin naik kelas. Malek memang tampil cukup baik, dengan ekspresi serta cara bicara dingin, yang membuatnya tampak tak manusawi (berlawanan dengan Bond). Tapi ganti terornya, semisal dengan alat pengendali nuklir, ditambah eksplorasi latar belakang setengah matang, maka ia tak ubahnya antagonis megalomania lain yang sudah sering jagoan kita hadapi. 

No Time to Die bukannya tanpa kelemahan. Durasi 163 menitnya (film 007 terpanjang) sulit dijustifikasi. Mengulangi kekurangan Spectre, banyak momen berjalan terlalu panjang (mayoritas berupa eksposisi), pula minim upaya menjadikannya menarik. Bandingkan dengan Casino Royale. Second act-nya didominasi permainan poker, yang secara cerdik, disulap jadi alat pembangun dinamika antara Bond dengan antagonis dan tokoh-tokoh pendukung lain. Satu peristiwa yang terdengar membosankan, rupanya menyimpan banyak fungsi.

Cukup melelahkan, setidaknya sampai adegan aksi mengisi layar. Melalui sekuen pembuka yang meminjam elemen home invasion horror dan baku tembak di tengah hutan berkabut, Fukunaga membawa Bond ke ranah lebih atmosferik, di samping aksi bombastis khas franchise-nya (dan satu sekuen long take). Solid, meski belum seintens Casino Royale, belum pula menandingi pencapaian artistik Skyfall. Begitu pun keseluruhan filmnya. Walau bukan judul terbaik dalam era Craig, No Time to Die merupakan perpisahan yang pantas. James Bond akhirnya berproses, berkembang, dan "merasakan".

12 komentar :

Comment Page:
Chan hadinata mengatakan...

James Bond rasa Jason Bourne😁

Anonim mengatakan...

Syukurlah sequelnya kali ini berarti lebih baik drpd Spectre yg sangat membosankan itu ya. Asik sih disini kebagian tayang lebih awal, kira2 Dune jg bisa maju gak ya disini tayangnya? Gak sabar bnget sumpahh

Panca mengatakan...

Menurut mas rasyid James Bond era Daniel craig apakah yang terbaik?

Deno mengatakan...

Untuk adegan long-take nya, sepertinya Cary Fukunaga mau re-attempt keberhasilan beliau di salah satu episode musim pertama True Detective wkwk

Rasyidharry mengatakan...

Dune kayaknya tanggal 13. Lebih cepet 9 hari dari US

Rasyidharry mengatakan...

Casino Royale. Jenius dari awal sampe akhir

Anonim mengatakan...

Dari awal eksekusinya top notch sih. Apalagi ledakan yang di makam dan act setelahnya hehehe yang nonton di bioskop auto jantungan. Pas adegan terakhir aja yang rudal itu cgi nya keliatan agak cheap kayak film kiamat kiamat wkwkwk but overall its just okay but still above average.

Anonim mengatakan...

Bang mau nanya, apa Billie Eilish soundtrack film ini akan menjadi ketiga kalinya pemenang Best Original Spg setelah Adele / Sam Smith?

Unknown mengatakan...

Di grammy kemarin menang, bisa jadi menang di oscar.

Anonim mengatakan...

Deri segi cast, yg paling mengecewakan cuman si rami malek

Anonim mengatakan...

Paloma nya cakep bgt anjaayy. Berharap bond ada hubungan khusus gitu sama dia wkwkwk bukan cuma sekedar salah paham yang di awal awal bukain baju heehehehe

Yasya Indra mengatakan...

openingnya udah bikin ane mewek :(