REVIEW - YOWIS BEN FINALE
"Andai saja" adalah reaksi yang berulang kali muncul di kepala selama menonton ini. Andai saja babak akhirnya dipadatkan, pula dipersingkat sehingga tak perlu dipecah ke dalam dua film. Andai saja demikian, bisa saja Yowis Ben Finale jadi installment terkuat, alih-alih yang terlemah seperti sekarang. Sayang sekali.
Ketika babak konklusi merasa perlu membuka lima menit pertamanya dengan kompilasi trailer tiga judul sebelumnya (plus dua menit rekap ending Yowis Ben 3), entah selaku tapak tilas atau sebatas penambal durasi, jelas ada yang salah. Terbukti, begitu mulai memasuki narasi sesungguhnya, kejanggalan amat terasa.
Yowis Ben Finale dibuka kala Bayu (Bayu Skak), Cak Jon (Arife Didu), dan Ibu Bayu (Tri Yudiman) berada di situasi emosional, menangis, saling minta maaf dan memaafkan. Latar tempat, akting, ditambah konteks mengenai "janji kepada mendiang anggota keluarga", mampu melahirkan pemandangan haru. Tapi ada yang janggal. Adegan ini mestinya mengisi akhir second act, atau bahkan resolusi di third act. Bukan mengawali first act.
Wajar, sebab Yowis Ben 3 dan Yowis Ben Finale sejatinya memang sebuah kesatuan, yang dipotong secara tidak seimbang. Alhasil, struktur narasinya aneh. Film memiliki extended version merupakan hal biasa, tapi Yowis Ben Finale adalah extended third act. Durasi 95 menitnya berisi konklusi-konklusi dari rangkaian konflik film ketiga.
Konflik Bayu dengan Cak Jon, usaha Cak Jon merebut kembali hati Mbak Rini (Putri Ayudya) dari Arjuna (Denny Sumargo), masalah finansial Doni (Joshua Suherman) dan Yayan (Tutus Thomson), romansa segitiga antara Bayu dengan Asih (Anya Geraldine) dan Susan (Cut Meyriska), hingga cita-cita Nando (Brandon Salim) kuliah di Amerika yang mengancam nasib Yowis Ben, semua penyelesaiannya ditumpuk di sini.
Kekurangan tersebut jamak menjangkiti finale sebuah seri yang dipaksa untuk dipecah menjadi dua bagian, tapi baru sekarang saya menemukan yang pembagiannya begitu kasar, begitu asal, sepenuhnya menutup mata terhadap kepatutan bercerita.
Dampak lainnya, kekhasan franchise ini pun lenyap. Gojek kere miliknya masih sekuat biasanya, pun kali ini Devina Aureel diberi kesempatan unjuk gigi memamerkan bakat mengocok perut penonton. Tapi kuantitasnya jauh terpangkas, akibat terpaksa memberi ruang pada drama-drama yang menunggu diselesaikan. Begitu pula terkait band. Yowis Ben adalah kisah sekelompok remaja mengalami proses pendewasaan melalui band, namun kecuali satu sekuen penutup, praktis perihal kegiatan bermusik nyaris tak terjamah.
Pertikaian internal Yowis Ben kala Nando mengutarakan niat berkuliah di luar negeri juga terkesan dipaksakan. Saya paham bahwa Fajar Nugros dan Bayu Skak selaku penulis ingin menekankan bagaimana keempatnya tak cuma sekadar band, melainkan keluarga yang selalu bersama, dan menolak saling meninggalkan. Tapi sebagaimana diucapkan karakternya, Yowis Ben juga mata pencaharian mereka. Sumber penghidupan bagi keluarga. Ketimbang memutuskan bubar, bukankah lebih masuk akal mencari pengganti, atau terus berjalan sebagai trio?
Sekali lagi, sangat disayangkan. Padahal beberapa adegan dramatis digarap cukup kuat. Misal pernyataan "Aku ora dianggap maneh?" dari Cak Jon kepada Bayu dan ibunya yang merupakan ekspresi kehangatan nilai keluarga khas Jawa, atau sebuah konklusi masalah berlatar gereja dengan iringan choir yang membawa pesan persatuan. Semua kuat apabila berdiri sendiri. Tapi film adalah kumpulan adegan yang berpadu menciptakan keutuhan narasi.
3 komentar :
Comment Page:Bang gak review seperti dendam? Aku cari2 kok gak ada ya?
Udeh, https://movfreak.blogspot.com/2021/09/review-seperti-dendam-rindu-harus.html
Bang, tolong review film India judulnya Jai Bhim dong. Ratingnya tinggi bgt di IMDb.
Posting Komentar