Tampilkan postingan dengan label Arief Didu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Arief Didu. Tampilkan semua postingan

REVIEW - YOWIS BEN FINALE

"Andai saja" adalah reaksi yang berulang kali muncul di kepala selama menonton ini. Andai saja babak akhirnya dipadatkan, pula dipersingkat sehingga tak perlu dipecah ke dalam dua film. Andai saja demikian, bisa saja Yowis Ben Finale jadi installment terkuat, alih-alih yang terlemah seperti sekarang. Sayang sekali.

Ketika babak konklusi merasa perlu membuka lima menit pertamanya dengan kompilasi trailer tiga judul sebelumnya (plus dua menit rekap ending Yowis Ben 3), entah selaku tapak tilas atau sebatas penambal durasi, jelas ada yang salah. Terbukti, begitu mulai memasuki narasi sesungguhnya, kejanggalan amat terasa.

Yowis Ben Finale dibuka kala Bayu (Bayu Skak), Cak Jon (Arife Didu), dan Ibu Bayu (Tri Yudiman) berada di situasi emosional, menangis, saling minta maaf dan memaafkan. Latar tempat, akting, ditambah konteks mengenai "janji kepada mendiang anggota keluarga", mampu melahirkan pemandangan haru. Tapi ada yang janggal. Adegan ini mestinya mengisi akhir second act, atau bahkan resolusi di third act. Bukan mengawali first act.

Wajar, sebab Yowis Ben 3 dan Yowis Ben Finale sejatinya memang sebuah kesatuan, yang dipotong secara tidak seimbang. Alhasil, struktur narasinya aneh. Film memiliki extended version merupakan hal biasa, tapi Yowis Ben Finale adalah extended third act. Durasi 95 menitnya berisi konklusi-konklusi dari rangkaian konflik film ketiga. 

Konflik Bayu dengan Cak Jon, usaha Cak Jon merebut kembali hati Mbak Rini (Putri Ayudya) dari Arjuna (Denny Sumargo), masalah finansial Doni (Joshua Suherman) dan Yayan (Tutus Thomson), romansa segitiga antara Bayu dengan Asih (Anya Geraldine) dan Susan (Cut Meyriska), hingga cita-cita Nando (Brandon Salim) kuliah di Amerika yang mengancam nasib Yowis Ben, semua penyelesaiannya ditumpuk di sini. 

Kekurangan tersebut jamak menjangkiti finale sebuah seri yang dipaksa untuk dipecah menjadi dua bagian, tapi baru sekarang saya menemukan yang pembagiannya begitu kasar, begitu asal, sepenuhnya menutup mata terhadap kepatutan bercerita. 

Dampak lainnya, kekhasan franchise ini pun lenyap. Gojek kere miliknya masih sekuat biasanya, pun kali ini Devina Aureel diberi kesempatan unjuk gigi memamerkan bakat mengocok perut penonton. Tapi kuantitasnya jauh terpangkas, akibat terpaksa memberi ruang pada drama-drama yang menunggu diselesaikan. Begitu pula terkait band. Yowis Ben adalah kisah sekelompok remaja mengalami proses pendewasaan melalui band, namun kecuali satu sekuen penutup, praktis perihal kegiatan bermusik nyaris tak terjamah. 

Pertikaian internal Yowis Ben kala Nando mengutarakan niat berkuliah di luar negeri juga terkesan dipaksakan. Saya paham bahwa Fajar Nugros dan Bayu Skak selaku penulis ingin menekankan bagaimana keempatnya tak cuma sekadar band, melainkan keluarga yang selalu bersama, dan menolak saling meninggalkan. Tapi sebagaimana diucapkan karakternya, Yowis Ben juga mata pencaharian mereka. Sumber penghidupan bagi keluarga. Ketimbang memutuskan bubar, bukankah lebih masuk akal mencari pengganti, atau terus berjalan sebagai trio? 

Sekali lagi, sangat disayangkan. Padahal beberapa adegan dramatis digarap cukup kuat. Misal pernyataan "Aku ora dianggap maneh?" dari Cak Jon kepada Bayu dan ibunya yang merupakan ekspresi kehangatan nilai keluarga khas Jawa, atau sebuah konklusi masalah berlatar gereja dengan iringan choir yang membawa pesan persatuan. Semua kuat apabila berdiri sendiri. Tapi film adalah kumpulan adegan yang berpadu menciptakan keutuhan narasi. 

REVIEW - YOWIS BEN 3

Seri Yowis Ben, dari judul pertama hingga ketiga, tidak pernah mengalami peningkatan berarti. Baik kekurangan maupun kelebihannya selalu sama. Tapi kelebihannya terkait identitas. Ada identitas kuat yang dipahami betul oleh para penggemarnya, sehingga wajar bila jumlah penontonnya stabil di kisaran yang tinggi (film pertama 935 ribu, film kedua satu jutaan). Itu juga alasan saya terus kembali, termasuk untuk Yowis Ben Finale di akhir tahun nanti, biarpun tak pernah menyebut diri sebagai "penggemar". 

Identitas tersebut berupa candaan. Gojek kere. Menontonnya bak sedang duduk santai di warung kopi sederhana sembari ngobrol ngalor ngidul bersama teman-teman hingga tengah malam. Adakah obrolan berbobot? Mungkin tidak. Bisa jadi esok pagi detail obrolannya sudah terlupakan, tapi kita ingat, bahwa saat itu kita bersenang-senang.

Alkisah, Yowis Ben kini semakin tenar. Tur keliling Jawa tengah dilakoni Bayu (Bayu Skak), Doni (Joshua Suherman), Nando (Brandon Salim), dan Yayan (Tutus Thomson). Apalagi selain Doni, masing-masing mempunyai pasangan suportif. Bayu dengan Asih (Anya Geraldine), Nando dengan Stevia (Devina Aureel), sedangkan Yayan dan Mia (Anggika Bolsterli) bahagia berkat keberadaan putera mereka, Singo (tentu nama unik si bayi dijadikan running joke menggelitik sepanjang durasi). 

Sayangnya, rentetan masalah segera menghampiri. Nando terjebak dilema karena ingin berkuliah di luar negeri, sementara keluarga Bayu dan Doni sama-sama terlilit kesulitan finansial. Masalah terpelik dihasilkan Cak Jon (Arief Didu), yang belakangan sulit fokus pada pekerjaannya. Terlebih saat mantannya, Rini (Putri Ayudya), mendadak muncul, dalam posisi telah bertunangan dengan Arjuna (Denny Sumargo), seorang tentara.

Seperti saya sebutkan di atas, Yowis Ben terasa seperti obrolan ngalur ngidul, sebab memang demikian alurnya dikemas. Tidak tertata. Misalnya first act yang tampil layaknya road movie, namun tanpa destinasi pasti. Sebatas kedok agar naskah buatan Fajar Nugros dan Bayu Skak bisa melempar lelucon-lelucon secara acak. 

Pun memasuki menit-menit berikutnya, penceritaan semakin sulit fokus akibat jumlah konflik yang turut bertambah. Apalagi Yowis Ben 3 adalah bagian pertama dari dua bagian babak final, sehingga jangankan resolusi, beberapa konflik bahkan belum terurai secara memadai. Alurnya tampak seperti keping-keping puzzle yang berserakan di lantai. 

Tapi bukankah Yowis Ben memang senantiasa begitu? Poin-poin di atas dituliskan karena tetap merupakan kelemahan, tetapi sejak sebelum film dimulai, saya sudah mengantisipasinya, memilih untuk menerimanya, dan tidak lagi ambil pusing. Saya datang untuk menertawakan gojek kere para anggota Yowis Ben, Cak Jon, dan Kamidi (Erick Estrada). 

Biarpun cenderung hit-and-miss (juga masalah lama), secara keseluruhan, saya menikmatinya. Saya yakin target pasarnya bakal berpikiran serupa. Saya tertawa setiap ada yang terkejut mendengar nama "Singo". Saya tertawa ketika lelucon "batuk dan batik" dilontarkan, walau telah berkali-kali menyaksikannya di trailer. Saya tertawa membaca papan bertuliskan "Band Liyo". Imajinasi liar cenderung ngawur, pelesetan receh, hingga pisuhan-pisuhan, semua itu adalah wujud hiburan yang dekat.

Ada satu keunggulan di luar komedinya. Di babak akhir, Arief Didu dan Bayu Skak memamerkan kemampuan akting drama mereka. Saya cukup terkejut melihat Bayu. Ini penampilan terbaiknya. Penonton Jawa mungkin juga merasakan, bagaimana menusuknya kata-kata yang Bayu ucapkan. Kata bernada penyesalan akibat bersikap "durhaka" terhadap keluarga, yang rasanya takkan sekuat itu dampaknya bila diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Itulah yang disebut identitas.

DIGNITATE (2020)

Dignitate jelas bukan persembahan terbaik seorang Fajar Nugros, tapi film ini membuktikan bahwa sang sutradara/penulis naskah telah memantapkan cirinya, terutama perihal mengocok perut penonton lewat “gojek kere”. Bahkan dalam karya terbarunya yang dipenuhi keklisean dramatisasi khas adaptasi cerita Wattpad remaja ini, gaya tersebut tetap Fajar pertahankan dan berujung mengangkat kualitas Dignitate, walau akhirnya tidak banyak yang dapat dilakukan, sebab ia mendapat materi sumber yang terlanjur sukar diperbaiki.

Dikisahkan, Alana (Caitlin Halderman) terpaksa pindah ke sekolah baru akibat suatu alasan yang baru diungkap belakangan. Karena alasan itu pula mamanya (Izabel Jahja) bersikap (terlalu) protektif. Di kelas, Alana duduk sebangku dengan Alfi (Al Ghazali), siswa idola para siswi yang bukan cuma ganteng, juga berotak encer. Walau demikian, sososk Alfi jauh dari kata ramah. Dia hanya fokus pada pelajaran, juga kerap berlaku kasar kepada wanita, biarpun sahabatnya, Keenan (Teuku Ryzki), berulang kali memintanya berubah.

Tidak perlu menonton ribuan film atau membaca setumpuk novel remaja untuk tahu, walau awalnya selalu bertengkar, Alana dan Alfi nantinya akan saling cinta. Masalahnya adalah, mereka berdua sama-sama menyimpan masa lalu kelam. Dan bukan cerita Wattpad populer namanya, kalau tidak ada twist berupa keterkaitan-keterkaitan yang didasari kebetulan-kebetulan menggelikan. Ditambah jajaran pemain berparas cantik dan tampan, bagi sebagian besar target pasarnya, Dignitate punya amunisi lengkap untuk membuat mereka berteriak histeris bahkan menangis.

Penonton di luar golongan tersebut mungkin juga bakal menangis. Menangis meratapi mengapa remaja sekarang menggilai kisah semacam ini, yang seolah tidak lengkap jika ceritanya belum berlarut-larut guna memfasilitasi semua jenis penderitaan dan kesialan, yang memancing respon “Ya ampun kasihan banget!” atau “Ya Tuhan, bisa-bisanya....”. Apabila filmnya ditutup sekitar 10 menit lebih cepat, niscaya hasilnya jauh lebih baik.

“Berlebihan” adalah kata yang paling pas menggambarkan alur Dignitate. Sangat berlebihan, niat baik menyampaikan pesan tentang “harga diri wanita” tenggelam dan berhenti sebagai kalimat-kalimat kosong yang keluar dari mulut karakternya saja. Tapi selaku penulis naskah, Fajar Nugros memang tidak bisa berbuat banyak. Tuntutan setia terhadap materi adaptasi karya Hana Margaretha demi memuaskan penggemar tak bisa dikesampingkan, meski beberapa kebodohan semestinya bisa diperbaiki.

Hasil pencarian gambar di Google untuk kata "Alana" yang seluruhnya memperlihatkan wajah si karakter; mama Alana yang dengan mudah melunak walau baru sekali bertemu Alfi; bagaimana Alana bisa mendadak muncul di parkiran pada sebuah peristiwa dramatis jelang akhir. Berbagai kejanggalan di atas bukanlah keabsolutan yang mustahil dibenahi.

Tapi seperti telah disampaikan, untungnya Fajar melakukan satu “pertolongan darurat” dengan cara menginjeksi humor-humor ringan andalannya, yang setia menyegarkan suasana di tengah tuturan dramanya. Tahun lalu Fajar juga sempat menggarap adaptasi cerita Wattpad lewat MeloDylan, tapi keliarannya bagai tertahan. Sedangkan dalam Dignitate, tiap ada kesempatan, komedi selalu ditampilkan. Dan uniknya, ini termasuk salah satu presentasi komedi terbaik yang pernah Fajar lakukan. Materinya segar, timing penghantarannya tepat, dan jajaran pemainnya, termasuk Teuku Ryzki, Dinda Kanya Dewi, hingga dua langganan sang sutradara, yakni Arief Didu dan Erick Estrada, mampu memanfaatkan kesempatan sesingkat apa pun.

Sedangkan pada dua pemeran utama, terjadi ketimpangan. Sewaktu penampilan Caitlin Halderman dapat dijabarkan memakai kata-kata yang mendeskripsikan “protagonis lovable” (lucu, bertenaga, menggemaskan, dan lain-lain), Al Ghazali belum berubah sejak debutnya di Runaway enam tahun lalu. Gestur, mimik wajah, maupun luapan emosinya masih kaku. Mungkin ada unsur kesengajaan mengingat penokohan Alfi yang juga “kaku”, tapi itu bukan berarti sang aktor harus bertingkah layaknya robot sepanjang durasi.

SI MANIS JEMBATAN ANCOL (2019)

Terlepas dari hasil akhirnya, “Anggy Umbara” dan “main aman” tidak pernah eksis secara bersamaan. Begitu pula di Si Manis Jembatan Ancol, remake dari film berjudul sama rilisan tahun 1973, yang dibuat berdasarkan urban legend masyarakat Betawi, meski masyarakat umum mungkin lebih akrab dengan dua musim sinetron yang begitu populer pada era 90-an, hingga melahirkan satu lagi adaptasi layar lebar di tahun 1994. Melalui naskah hasil tulisannya bersama Fajar Umbara (Mata Batin, Sabrina) dan Isman HS (5 Cowok Jagoan: Rise of the Zombies, Flight 555), Anggy melakukan modernisasi.

Berlatar tahun 1973, kisahnya berpusat pada keretakan rumah tangga Maryam (Indah Permatasari) dan Roy (Arifin Putra), terlebih setelah bisnis Roy berantakan sampai membuatnya terlilit hutang besar pada Bang Ozi (Ozy Syahputra), seorang lintah darat. Sebagai istri, Maryam merasa kurang dihargai, namun tetap berusaha menjaga keharmonisan rumah tangga, bahkan setelah kedatangan pelukis bernama Yudha (Randy Pangalila) yang menjadikan Maryam sebagai objek. Si Manis jatuh hati, namun yang hadir justru tragedi.

Tragedi yang tidak datang secepat itu, mengingat filmnya lebih banyak berkutat dalam drama sampai sekitar 50 menit durasi (dari total 117 menit), ketika kita akhirnya dibawa mengunjungi jembatan Ancol yang legendaris. Maksudnya baik. Supaya penderitaan Maryam, hubungan terlarangnya dengan Yudha, juga kesulitan finansial Roy tergali utuh. Tapi apakah terlalu panjang? Ya. Bisakah dipadatkan? Sangat bisa. Perjalanan sejam pertamanya cukup bertele-tele, menampilkan banyak hal tak perlu, seperti keputusan Bang Ozi terus memberi tambahan waktu bagi Roy atau red herring terkait keangkeran rumah Yudha.

Setidaknya selama itu, hampir seluruh departemen berkontribusi maksimal. Anggy semakin matang (kalau tak bisa disebut dewasa) baik urusan menulis maupun menyutradarai, dengan lebih berkonsentrasi pada merapikan aliran alur ketimang melempar gimmick. Tata dekorasi plus kostum pembangun latar masa lalunya pun cukup konsisten dan memanjakan mata, apalagi gaun merah Maryam yang membuatnya otomatis jadi pusat atensi di tiap kemunculan. Satu elemen yang mengganggu adalah rambut palsu Randy Pangalila, yang kala digerai jauh dari kesan alamiah, tapi kalau diikat, sosoknya bak pendekar dari era Angling Dharma.

Melihat pilihan artistik, tema balas dendam, serta statusnya sebagai remake judul klasik, mungkin Si Manis Jembatan Ancol akan mengingatkan banyak penonton kepada Suzzanna: Bernapas Dalam Kubur (2018). Ditambah lagi keberadaan unsur komedi yang sayangnya hanya berhasil memancing tawa bila banyolannya terlontar dari mulut Arief Didu sebagai Bang Kribo si pemilik warung.

Paruh kedua sepenuhnya mengesampingkan plot, untuk merangkai menit-menitnya menggunakan pembantaian demi pembantaian yang dilakukan arwah Maryam selepas ia tewas di tangan Bang Ozi dan anak buahnya. Anggy menggabungkan jump scare (termasuk di lima adegan mimpi yang pengulangannya tak sampai mengesalkan karena punya pemicu jelas: ketakutan dan rasa bersalah) dan elemen kekerasan. Agak disayangkan saat beberapa sadisme terjadi off-screen (mengacu pada bumper LSF, kemungkinan terdapat revisi), meski kita tetap disuguhi aftermath brutal yang menampilkan kondisi jenazah mengenaskan.

Mengandalkan kesan misterius, kesenduan, serta kemarahan yang menyatu di sorot matanya, Indah Permatasari berhasil menghapus bayang-bayang para pemeran Si Manis sebelumnya dengan, melahirkan versinya sendiri yang sejalan dengan modernisasi Anggy. Sementara Ozy Syahputra, dengan kumis dan berewok ditambah aksi kejam karakternya, melepaskan diri dari kecentilan sosok Karina dalam sinetronnya dulu. Bahkan di sini Ozy diberikan salah satu momen paling mencengangkan sepanjang film, yang menegaskan upaya Anggy bermain-main dengan stereotip gender dalam horor.

Di ranah dunia, menyelipkan empowerment dalam horor bukan perkara baru, tapi masih langka di perfilman lokal. Anggy dan tim penulisnya berani melakukan itu, termasuk melalui twist yang tak kalah berani bahkan berpotensi memecah opini penonton. Saya menyukainya. Sebuah langkah kreatif meski meninggalkan beberapa lubang alur. Masalah justru muncul terkait keputusan filmnya tak memberi kesempatan si tokoh utama menuntaskan segalanya. Selain Maryam berhak mendapatkannya, keputusan tersebut berlawanan dengan pesan empowerment-nya. Andai itu dilakukan, niscaya Si Manis Jembatan Ancol akan jauh lebih memuaskan.

KAPAL GOYANG KAPTEN (2019)

Setelah (gagal) memancing tawa melalui pembajakan pesawat di Flight 555 tahun lalu, Raymond Handaya melahirkan sau lagi komedi seputar pembajakan transportasi, tapi kali ini, latarnya beralih dari udara ke perairan dan pulau terpencil. Perubahan itu rupanya berdampak, karena cakupan kapal dan pulau tidak sesempit pesawat, yang berarti bertambahnya hal untuk dieksplorasi. Walau tidak lebih pintar, Kapal Goyang Kapten jelas lebih lucu.

Kapal tersebut dimiliki Gomgom (Babe Cabita), pemilik usaha wisata kecil di Manado. Begitu kecil, posisi pemandu tur, sopir bus, dan kapten kapal diemban oleh Gomgom seorang, suatu kondisi yang rutin dijadikan bahan banyolan di paruh awal. Turis yang jadi kliennya sekarang adalah Tiara (Yuki Kato),  Burhan (Arief Didu) beserta istri (Asri Welas) dan puterinya (Romaria Simbolon), pasangan suami-istri Darto (Yusril) dan Salma (Naomi Papilaya), serta tiga mahasiswa Noni (Andi Anissa), Cika (Ryma Gembala) dan Agung (Ananta Rispo).

Sementara itu, pemuda kaya asal Jakarta, Daniel (Ge Pamungkas), juga baru tiba di Manado setelah kabur dari rumah guna membuktikan bahwa ia bisa hidup mandiri tanpa bergantung pada uang ayahnya (Roy Marten). Sementara waktu, Daniel menetap di rumah mantan sopir pribadinya, Cakka (Muhadkly Acho). Cakka sendiri tengah mengalami masalah berupa ketidakmampuan finansial guna mengobati penyakit sang ibu. Bersama Bertus (Mamat Alkatiri), ia berencana membajak kapal Gomgom. Walau awalnya menolak, didorong keinginan membantu Cakka, Daniel memutuskan bergabung.

Bisa ditebak, akibat aksi amatiran ditambah sisi manja Daniel, pembajakan tersebut berantakan. Alih-alih mendapat uang, mereka bertiga, bersama seluruh penumpang, justru terdampar di pulau terpencil setelah kapal kehabisan solar. Kedua belah pihak pun terpaksa mengesampingkan perbedaan, berdamai demi bertahan hidup dann mencari jalan pulang.

Humor recehnya, yang mayoritas berupa kelakar dan plesetan bodoh, tingkah laku bodoh, atau bentuk kebodohan lain, masih sama, namun ketika Flight 555 menyia-nyiakan premis dan latar uniknya, Kapal Goyang Kapten, walau belum bisa disebut maksimal, menanganinya dengan lebih baik. Setidaknya humor datang dari situasi khusus terkait kapal, survival, maupun pembajakan, daripada sekadar kekonyolan acak.

Banyolan semacam itu punya tingkat risiko kegagalan tinggi, tapi duo penulis Muhadkly Acho dan Awwe (Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 & 2) memahami itu, memilih menjadikan lelucon garing sebagai sebuah kesengajaan yang disadari. Contohnya sewaktu puteri Burhan kerap mengomentari ketidaklucuan Gomgom. Sebuah win-win solution cerdik. Bagus jika penonton menganggap lawakan Gomgom lucu, tapi jika tidak, mereka akan menertawakan kritik pedas si gadis cilik.

Kapal Goyang Kapten juga dibantu jajaran pemain yang seolah tengah on fire. Kedua penulis menggunakan polah absurd Babe hingga celetukan-celetukan Arief Didu dengan cara yang tepat, di tempat yang tepat, juga dalam dosis memadai. Tentu tidak seluruhnya mengenai sasaran, namun saya mendapati diri lebih sering tertawa daripada memasang wajah datar sambil garuk-garuk kepala.

Menyentuh pertengahan durasi, karakter baru diperkenalkan, yaitu Pak Sentot (Mathias Muchus), yang sudah terperangkan di pulau selama 10 tahun. Pak Sentot lebih terasa sebagai rip-off Chuck Noland di Cast Away ketimbang parodi dari tokoh yang dipopulerkan oleh Tom Hanks itu. Baik nasib atau tampilan fisik mereka serupa. Bahkan Pak Sentot pun berteman dengan bola voli yang diberi nama Mika (dari Mikasa) sebagaimana Chuck dan Wilson. Beruntung, totalitas sang aktor berhasil menjadikan Pak Sentot karakter menarik. Melihat Mathias Muchus bertingkah eksentrik dibalut riasan meyakinkan, menggendong bola voli layaknya puteri sendiri, merupakan hiburan tersendiri.

Kelemahan terbesar film ini adalah tiap kali menampilkan sisi serius. Meski Ge tampak berusaha sebaik mungkin menangani elemen dramatis, perjalanan Daniel membuktikan kapasitasnya, dipaparkan teramat dangkal, sehingga mustahil bersimpati kepadanya. Begitu pula benih cintanya dengan Tiara, yang dipaksa masuk. Di antara penumpang, Yuki paling vokal menyuarakan kebencian terhadap tiga pembajak, sampai tiba-tiba, hatinya berubah secara radikal dengan begitu mudah. Pun di tengah sederet individu absurd, Daniel dan Tiara selaku “sosok serius” merupakan karakter paling kurang menarik yang tak punya cukup daya guna menggoyang hati penonton.

MAKMUM (2019)

Bagaimana cara menjadikan horor pendek tentang gangguan hantu di tengah salat sebuah film panjang? Cukup meragukan, apalagi ditambah keterlibatan Baginda Dheeraj Kalwani. Tapi proyek adaptasi film pendek berjudul sama karya Riza Pahlevi ini rupanya lebih baik dari perkiraan jauh di atas produksi Baginda Dheeraj lain, meski pencapaian itu terbilang mudah selama film anda bukan sampah.

Kisahnya membawa kita ke suatu asrama yang dikepalai oleh Rosa (Reny Yuliana), menggantikan Ibu Kinanti (Jajang C Noer) yang terbaring sakit. Berbeda dengan sang pendahulu, Rosa bersikap keras cenderung kecam pada para penghuni, khususnya Nurul (Tissa Bianni), Nisa (Bianca Hello), dan Putri (Adila Fitri) yang dilarang pulang selama liburan akibat gagal mendapat rata-rata nilai 8.

Seolah belum cukup sial, bukan cuma teror pengurus asrama galak saja yang mesti diadapi, pula sesosok makhluk halus yang dijuluki “Hantu Makmum” karena kerap meneror kala mereka menjalankan salat. Adegan pembukanya langsung menunjukkan peristiwa gaib tersebut, tatkala sutradara Hadrah Daeng Ratu (Mars Met Venus, Jaga Pocong, Malam Jumat the Movie) sanggup mereka ulang nuansa atmosferik film pendeknya.

Sampai suatu ketika datang Rini (Titi Kamal), mantan penghuni asrama yang menawarkan diri menjadi mentor pasca pekerjaannya sebagai perias mayat gagal menghasilkan uang, membuatnya diusir dari kontrakan. Penokohan Rini menarik. Dia bisa melihat hantu dan tidak takut pada mereka. Bahkan Rini berani “menghardik” makhluk tak kasat mata yang berbuat iseng ketika ia sedang bekerja.

Jarang horor lokal mempunyai protagonis semacam itu. Saya pun menantikan bagaimana duet penulis naskah Alim Sudio (Ayat-Ayat Cinta 2, Dimsum Martabak, Kuntilanak) dan Vidya Talisa Ariestya mengembangkan tokoh Rini begitu ia memutuskan membantu anak-anak asrama menyelidiki teror hantu Makmum. Tapi harapan tinggal harapan. Di sisa durasi, Rini tak ubahnya protagonis horor kebanyakan yang hanya mampu kaget, takut, lalu kabur, dan praktis menyia-nyiakan talenta Titi Kamal.

Potensi Rini pelan-pelan terkubur, berakhir sebagai satu lagi karakter yang mudah dilupakan. Satu poin yang terus saya ingat mengenainya adalah luka bakar di tangannya. Mengapa ia tidak mengenakan sarung tangan? Mungkin itu takkan banyak membantunya memperoleh pekerjaan di dunia tata rias (manusia hidup), namun setidaknya mengurangi kecanggungan saat berjabat tangan dengan orang asing.

Bagaimana usaha naskahnya melebarkan cerita delapan menit menjadi 95 menit? Awalnya semua berjalan baik, malah menarik kala mitologi soal Kanzan, alias hantu-hantu yang gemar mengusik ibadah salat, diperkenalkan oleh Ustaz Ganda (Ali Syakieb). Sampai Alim dan Vidya seolah melupakan pembangunan tersebut, kemudian memperkenalkan twist yang justru menciptakan kontradiksi mengenai asal-usul si hantu pengganggu.

Masih terkait penulisan, Makmum juga terjebak kebiasaan buruk film kita, khususnya horor, yakni pemakaian baris kalimat yang asal mencampurkan diksi santai dan baku, yang berakhir terdengar kaku. Paling mendapat kerugian dari gaya bahasanya adalah Arief Didu sebagai Slamet si penjaga asrama. Arief yang biasanya luwes, di sini bak terbebani. Masalah berbeda menimpa Tissa Biani. Seperti biasa, urusan olah emosi, aktris muda ini piawai, tapi pelafalan Bahasa Jawanya mengganggu akibat terkurung stereotip buatan sinetron dan FTV.

Makmum sejatinya bukan sajian murahan. Poin pembeda dari produksi Baginda Dheeraj lain yakni keberadaan beberapa teror yang efektif. Memasuki horor ketiganya, Hadrah semakin cerdik memainkan atmosfer sembari meminimalisir pemakaian musik. Urusan timing pun ia membaik, terlihat jelas dalam “jump scare lemari” yang didahului pembangunan mencekam sebelum ditutup gebrakan mengejutkan.

Sayang, begitu dihadapkan pada sekuen berintensitas tinggi yang menuntut kejelian mengolah dinamika, sebagaimana di Jaga Pocong dan Malam Jumat the Movie, Hadrah masih canggung. Baik dari pilihan shot maupun gerak kamera (yang artinya juga tanggung jawab Rendra Yusworo selaku sinematografer) seperti kekurangan daya. Alhasil, kualitas klimaks di mana kekacauan memuncak terjun bebas, bergerak layaknya orang kelaparan.

MELODYLAN (2019)

Diangkat dari cerita Wattpad berjudul sama yang kemudian dijadikan novel, MeloDylan mungkin mewakili anggapan muda-mudi usia remaja awal mengenai definisi “cerita kompleks”. Mengangkat tema “move on” selaku kegemaran target pasarnya, kita dijejali “lingkaran setan” di mana tokoh-tokohnya mencintai seseorang, yang sayangnya menaruh hati pada pihak lain. A mencintai B, B mencintai C, C mencintai D, D mencintai A.

Seperti judulnya telah sampaikan, dua tokoh utamanya adalah Melody (Aisyah Aqilah) dan Dylan (Devano Danendra). Sebagai siswi baru, Melody sudah menyulut kehebohan selepas kabar  ia diantar pulang Dylan diketahui seisi sekolah. Dylan memang sosok idola wanita. Tapi si cowok populer sendiri hanya menyukai Bella (Zoe Abbas Jackson), teman masa kecilnya yang sakit-sakitan. Di sisi lain, Bella sudah lama menyimpan perasaan kepada Fathur (Angga Aldi Yunanda), yang rupanya mencintai Melody.

Selanjutnya adalah paparan mengenai usaha tokoh-tokoh menghadapi kondisi di mana cinta bertepuk sebelah tangan, berusaha melangkah ke luar dari sakit hati tersebut, yang dipresentasikan melalui jalinan alur episodik. MeloDylan tampil bagai kumpulan bab-bab novel, yang satu dan lainnya nyaris tanpa jembatan penghubung. Akibatnya, narasi bergerak kasar, penuh keterburu-buruann dalam menyajikan proses yang dilalui karakternya.

Padahal move on butuh proses. Apalagi jika membahas Dylan, yang telah sejak dahulu mencintai Bella. Bagaimana mungkin semudah itu Dylan mengaku di depan Bella, kalau ia mulai menyukai Melody? Apa pula yang membuatnya terpikat pada sang siswi baru? Baik Dylan maupun Melody tak memiliki kualitas menonjol (selain paras rupawan) supaya penonton setidaknya bisa mempercayai ketertarikan di antara mereka.

Aisyah Aqilah melalui gaya manja ditambah sisi keras kepala mempunyai kapasitas serupa Shandy Aulia di Eiffel...I’m In Love. Penampilan menghibur yang tak mampu ditandingi lawan mainnya, Devano Danendra, yang tanpa kharisma, nampak tersiksa memerankan pemuda cuek idola remaja. Alhasil, hubungan Melody-Dylan jauh dari menarik. Saya lebih tertarik menyaksikan kekonyolan pasangan Anna (Yasmin Napper) dan little prince-nya, Angga (Indra Jegel).

Ya, MeloDylan cukup terselamatkan berkat sentuhan humornya. Dilandasi naskah buatan Endik Koeswoyo (Me & You vs The World, Erau Kota Raja), sutradara Fajar Nugros menularkan gaya “gojek receh” yang belakangan makin ia patenkan pasca kesuksesan dua film Yowis Ben. Membawa dua pelakon andalannya, Arief Didu dan Erick Estrada (yang kembali memerankan tokoh bernama Mukidi), banyolan-banyolan “murah” yang sering memadukan kebodohan dan absurditas mampu melahirkan kesegaran yang jarang ditemui dalam film setipe.

Seolah Fajar tahu, apabila digarap sebagaimana romansa putih abu-abu kebanyakan, MeloDylan bakal minim dinamika. Terbukti, begitu menyentuh paruh akhir tatkala komedi mulai dikesampingkan, filmnya pun tampil menjemukan. Rentetan konflik dramatik dengan urgensi yang sesungguhnya tinggi namun terkesan dipaksakan guna menyulut pertikaian mulai mengisi. Apa susahnya bagi Dylan berpamitan pada Melody (bahkan kalau perlu mengajak kekasihnya itu) untuk membesuk Bella yang kondisinya anjlok? Momen penutupnya berpotensi menghadirkan romantika manis, andai saja kita diajak lebih banyak menghabiskan waktu berkualitas bersama dua protagonisnya.

YOWIS BEN 2 (2019)

Sebuah band merantau dari kampung halaman dan/atau mengganti manajer “asli” karena dianggap kurang kompeten memfasilitasi ambisi mereka melompat lebih jauh adalah perkara umum. Biar demikian, situasi itu sungguh rumit. Tapi dalam Yowis Ben 2, pesannya sederhana: Tindakan tersebut tidaklah bijak, karena kita tidak seharusnya meninggalkan keluarga yang tumbuh bersama kita sedari nol.

Tapi apakah anda mengharapkan olahan cerita kompleks dari film begini? Rasanya tidak. Serupa keceriaan lagu-lagu synth-pop berbahasa Jawa milik Yowis Ben, filmnya pun tercipta demi menyulut keceriaan penonton. Kedalaman dan kesubtilan mungkin tetap dirindukan, tapi takkan menghancurkan Yowis Ben 2. Sebab memasuki film kedua, pijakannya makin mantap, sementara humor mengalir nyaman dan penuh percaya diri.

Alkisah, setelah lulus SMA, para personil Yowi Ben dihadapkan pada rentetan masalah. Bayu (Bayu Skak) ditinggalkan kekasihnya, Susan (Cut Meyriska), yang memilih berkuliah di Jerman bersama Roy (Indra Widjaya). Konflik yang dipresentasikan sambil lalu ini sejatinya membuat segala perjalanan film pertamanya sedikit sia-sia. Bukan itu saja, ia mesti membantu sang ibu (Tri Yudiman) melunasi kontrakan rumah.

Lalu ada Yayan (Tutus Thomson), yang selepas menikahi Mia (Anggika Bolsterli) via taaruf, dituntut menanggung perekonimian keluarga. Nando (Brandon Salim) masih kesulitan menerima papanya (Richard Oh) berpacaran lagi, tapi hal ini tak berdampak besar akan keseluruhan kisah, sedangkan Doni (Joshua Suherman).....well, he’s just there.

Berangkat dari beberapa kegundahan itu, Yowis Ben merasa Cak Jon (Arief Didu) tak lagi cocok menjadi manajer, karena ia berulang kali memberi mereka gig absurd (sunatan massal, lapas, dan lain-lain) yang gagal menghasilkan bayaran. Secara bersamaan, datanglah Cak Jim (Timo Scheunemann) dan asistennya, Marion (Laura Theux), menawarikan diri memanajeri Yows Ben asalkan mereka mau pindah ke Bandung. Cak Jim menjanjikan kehidupan mewah serta kesuksesan kilat. Yows Ben tergiur.

Sesampainya di Bandung, semangat keempatnya diuji, pula kebersamaan mereka tatkala idealisme dan tali kekeluargaan berbenturan dengan kebutuhan material. Kembali, situasi tersebut lebih kompleks dari sekedar “Jika memilih uang artinya kamu rakus dan tidak berperasaan”. Tapi memang itulah pesan usungan film ini. Mau tidak mau kita mesti menerimanya. Setidaknya itu pesan yang baik.

Seperti beberapa komedi yang juga ditulis Bagus Bramanti belakangan ini (Yowis Ben, Benyamin Biang Kerok, Love Reborn: Komik, Musik, & Kisah Masa Lalu), jalinan ceritanya berceceran di segala penjuru bagai tak terstruktur. Kisahnya penuh sesak—termasuk romansa Bayu dengan Asih (Anya Geraldine) si gadis Bandung—dan bukan mustahil penonton melupakan intisari kisahnya, sebelum diingatkan lagi oleh third act yang menyelesaikan konflik dengan begitu sederhana, cenderung menggampangkan.

Walau menyoroti perjalanan sebuah band, dan kita masih sering melihat mereka memainkan lagu-lagu yang tak kalah catchy dibanding film pertama, substansi kisah Yowis Ben 2 adalah bagaimana sebuah keluarga menghadapi perbedaan di antara mereka. Ujian itu juga saya rasakan saat mendapati Yayan melakukan taaruf, suatu praktek yang saya kurang sependapat. Tapi naskah Bagus Bramanti bukan propaganda taaruf (atau hal lain), melainkan sekadar presentasi realita. Karena itu, saya pun tergerak untuk menghormati karakter berbeda keyakinan seperti Yayan, membuktikan bahwa filmnya cukup berhasil menyampaikan pesan.

Pesan baik tersebut (dan elemen cerita lain) bakal makin berdampak andai penyampaian komedi dan dramanya tidak terkesan berdiri sendiri-sendiri. Seolah saya bisa mendengar filmnya “ganti gigi” kala melompat dari komedi menuju drama, dan sebaliknya. Pada mode komedi, karakternya bersikap sekonyol mungkin, namun begitu menginjakkan kaki di area drama, karakter yang sama mendadak bisa  bicara luar biasa serius, bahkan melontarkan petuah-petuah bijak yang bepotensi membuat Yowis Ben 2 terdengar preachy bagi sebagian penonton.

Beruntung, keceriaan “gojek kere” film ini mampu mengangkangi kelemahannya. Bukan cuma materi yang makin segar, penyutradaraan Fajar Nugros (Yowis Ben, Moammar Emka’s Jakarta Undercover) pun makin baik berkat kesediaan memperhatikan timing kala menghantarkan humor. Jajaran cast pun masih bersinar. Arief Didu berkesempatan memamerkan kapasitas mengolah rasa, Bayu Skak makin nyaman menampilkan talenta komikal lewat ekspresi dan penyampaian hiperbolis, sedangkan Anggika Bolsterli sekali lagi membuktikan bahwa ia salah satu aktris paling “gila” saat ini.