REVIEW - JACKASS FOREVER

2 komentar

Di salah satu stunt, Machine Gun Kelly tercebur ke kolam dan langsung meminta handuk. Tubuhnya menggigil, wajahnya terkejut. Di situasi yang sama, seluruh anggota Jackass tertawa. Di stunt lain, Dark Shark, ayah Jasper Dolphin (salah satu anggota baru), seorang mantan gangster dan narapidana, ketakutan setengah mati saat laba-laba merambati tubuhnya. Bagaimana reaksi anggota Jackass di situasi serupa? Tentu saja tertawa. 

Sekitar 22 tahun pasca musim pertama serial televisinya, pria-pria gila yang rata-rata sudah berkepala lima ini masih menertawakan bahaya. Film superhero boleh menguasai industri, tapi Jackass Forever punya jajaran manusia super sungguhan. 

Filmnya diawali oleh sekuen pembuka terbesar dalam sejarah Jackass, yang menyelipkan stunt khas serinya ke dalam sketsa soal invasi monster raksasa. Jangan mengharapkan monster dari CGI mewah, karena yang kita lihat adalah penis dan zakar Chris Pontius dalam balutan "tata rias". Sekuen tersebut jadi penegas, bahwa di installment keempat sekaligus (kemungkinan besar) pamungkas, alih-alih melunak, kegilaan justru memuncak.

Nama-nama baru mengisi jajaran cast. Zach "Zackass" Holmes yang dikenal lewat stunt series berjudul Too Stupid to Die yang mewarisi jiwa Jackass, jelas paling menonjol. Dia berpengalaman, pun begitu enteng melakoni tantangan paling berbahaya. Demikian juga Sean "Poopsies" Mclnerney, yang bakal diingat melalui aksinya menerima gigitan ular berbisa. Sedangkan Rachel Wolfson, selaku anggota wanita pertama, mendapat "perawatan kecantikan" berupa sengatan kalajengking di wajah.

Selain anggota baru, ada pula stunt baru, tapi beberapa stunt lama pun turut hadir. Bukan bentuk kemalasan. Cup test yang kembali dihadapi Ehren McGhehey mewakili semangat Jackass untuk selalu mendobrak batas, sedangkan saat akhirnya kentut Steve-O berhasil diledakkan dalam air (telah dicoba sejak film kedua 16 tahun lalu), kita diperlihatkan betapa gigih orang-orang ini.

Hal-hal di atas membuat Jackass Forever lebih dari sebatas kekonyolan kosong. Saya mengagumi kreativitas dan kegigihannya, tapi lebih dari itu, persahabatan antar anggotanya. Sesakit apa pun, semengerikan apa pun, mereka selalu tertawa kala jadi korban keisengan. Ketika giliran orang lain yang jadi korban, mereka tertawa sambil bertepuk tangan sebagai bentuk apresiasi, tanpa lupa memastikan kondisi si teman baik-baik saja. 

Johnny Knoxville sekali lagi beradu melawan banteng. Selepas satu serudukan, Knoxville tergeletak. Dia mengalami gegar otak, tulang rusuk dan pergelangan tangannya patah, hingga pendarahan di otak. Begitu bangkit, anggota lain berkata, "That's why he is the captain". Di situ muncul kehangatan yang tak saya duga dapat dimiliki film Jackass. 

Semua stunt tampil menghibur. Kata "menghibur" di sini punya banyak arti, dari memancing tawa, ngeri, sampai rasa mual. Anda bakal terkejut melihat bagaimana cast-nya bersedia menembus batasan ekstrim. The Paddle Penis membawa kita mempertanyakan anatomi tubuh manusia (atau tepatnya tubuh Chris Pontius), sementara The Lie Detector Test jadi segmen yang paling menyulut kecemasan.

Kembali menduduki kursi penyutradaraan, Jeff Termaine tentu paham betul momen apa saja yang mesti ditangkap. Penempatan kameranya selalu menangkap dua hal penting: reaksi "korban" dan penekanan seberapa gila sebuah stunt (setinggi apa suatu lompatan, sekeras apa sebuah pukulan, dll.). 

Saya bukan pengagum komedi slapstick, namun Jackass Forever (atau judul-judul Jackass lain) adalah spesies berbeda. Tiada usaha menahan diri. Total, ekstrim, gila, mengejutkan, dan tanpa disangka menyimpan sedikit kehangatan. Durasi 96 menit berlalu amat cepat.   

(Paramount+)

2 komentar :

Comment Page:
Oktabor mengatakan...

Musuhnya para perusahaan asuransi haha

Anonim mengatakan...

Sekuen pembuka film merupakan salah satu sekuen pembukaan film terbaik yang pernah saya tonton bang. Sungguh megah, tapi emang gila.... Haha.