REVIEW - BROKER

3 komentar

"Thank you for being born". Melalui kalimat sederhana yang entah sudah berapa kali kita dengar itu, Hirokazu Kore-eda dengan perspektif humanis khasnya, mengurai segala kepelikan dalam Broker. Baik yang nampak dari luar maupun dalam batin karakternya. Karena bagi Kore-eda, sepelik apa pun permasalahannya, hal terpenting dan paling mendasar bagi manusia bukanlah materi, melainkan keyakinan bahwa hidup mereka tidaklah sia-sia. 

Broker punya first act yang mengundang pertanyaan. Tokoh-tokohnya diperkenalkan, namun relasi satu sama lain belum terungkap. So-young (Lee Ji-eun a.k.a. IU) meninggalkan bayinya di sebuah gereja, Soo-jin (Bae Doona) dan Lee (Lee Joo-young) mengikutinya, sementara Dong-soo (Gang Dong-won) dan Sang-hyeon (Song Kang-ho) yang bekerja sebagai relawan di gereja tersebut tampak mengambil bayi So-young.

Kemudian filmnya secara bergantian menyoroti aktivitas masing-masing individu. Bagai kumpulan fragmen. Menariknya, berkat penulisan serta pengarahan Kore-eda (penuh kesabaran seperti biasa), fragmen-fragmen itu tak pernah berantakan walau (masih) berdiri sendiri-sendiri. Barulah secara rapi dan bertahap, fakta demi fakta diungkap, menyatukan keping-keping fragmennya menjadi kesatuan utuh yang kreatif.

Ya, kreatif. Dari luar, Broker nampak seperti drama soal chosen family biasa, tapi seperti halnya Shoplifters (2018), tema itu dikembangkan ke arah tak terduga. Dong-soo dan Sang-hyeon berkomplot menjual bayi, Soo-jin dan Lee merupakan detektif yang hendak menangkap basah mereka, sedangkan So-young memutuskan kembali pada anaknya. 

Kisahnya bergerak ke ranah road movie tatkala So-young setuju menjual bayinya, lalu ikut bersama Dong-soo dan Sang-hyeon untuk menemui si pembeli. Di situ Kore-eda mulai membawa karakternya dalam perjalanan mempertanyakan keputusan hidup mereka. 

Perdebatan yang rasanya bakal banyak mencuat adalah mengenai sudut pandang Kore-eda seputar isu pro-life dan pro-choice. Apakah wanita yang belum siap menjadi ibu seperti So-young sebaiknya memilih aborsi guna menghindari terlantarnya si buah hati? Ataukah lebih baik membiarkannya hidup lalu meninggalkannya di kotak bayi? 

Saya punya pandangan lain. Kore-eda bukan sedang mendiskusikan mana pilihan terbaik, tapi melihat masalah secara lebih mendasar. Manusia punya pengalaman berbeda, sehingga cara pandang serta keputusan yang diambil juga berbeda. Semua punya alasan. So-young punya alasan membuang bayinya. Demikian pula Dong-soo dan Soo-jin yang mengutuk tindakan tersebut. Broker tidak memilih benar/salah, tapi mengajak kita memahami sudut pandang tiap keputusan. 

Ada kalanya keputusan tersebut disesali, dan lagi-lagi Kore-eda enggan menghakimi. Itulah pondasi momen menyentuh berlatar gondola, yang memperlihatkan sensitivitas sekaligus kreativitas Kore-eda mengemas dramatisasi. Emosi bukan asal diledakkan, namun dipercantik lewat gestur sederhana, yang menjadikan gondola itu bak ruang katarsis intim tempat manusia "dimanusiakan". 

Membicarakan sensitivitas Hirokazu Kore-eda memang tiada habisnya. Tiga tahun lalu ia melahirkan The Truth, selaku karya Bahasa Inggris perdana. Broker sendiri jadi karya Bahasa Korea pertamanya. Tapi hasilnya selalu sama. Selalu kuat. Bukti bahwa humanisme itu universal. Tidak mengenal bahasa, hanya butuh kepekaan rasa. 

Satu-satunya bahasa yang penting bagi Kore-eda mungkin bahasa visual. Lihat betapa penggunaan reaction shot amat dibatasi di sini. Seolah Kore-eda membebaskan karakternya mencurahkan seluruh perasaan tanpa perlu memusingkan reaksi orang lain. Sekali lagi, ia menyediakan ruang katarsis. 

Tentu sebuah kisah kemanusiaan takkan berhasil tanpa kekuatan para manusia yang nampak di layar. Jajaran cast-nya tampil hebat, merangkai chemistry yang memperkuat tuturan soal chosen family. Termasuk si kecil Im Seung-soo sebagai Hae-jin, bocah yang ikut di tengah perjalanan. Semakin jauh jarak ditempuh bersama, para "penghuni" mobil bobrok kepunyaan Sang-hyeon menemukan ikatan kekeluargaan yang tak memedulikan hubungan darah. Prosesnya hangat, menyentuh, pun acap kali menggelitik berkat selipan humor realis.

Melalui aktingnya di sini, Song Kang-ho menjadi pelakon Korea Selatan pertama yang memenangkan penghargaan Best Actor di Festival Film Cannes. Kemenangan yang layak. Tetesan kecil air matanya di tengah kegelapan bakal terus saya kenang. 

Tapi Broker adalah kendaraan seorang Lee Ji-eun untuk memantapkan statusnya sebagai salah satu aktris muda terbaik Korea. Terkadang emosi sedikit diletupkan, tapi permainannya cenderung subtil, yang mana butuh kepekaan luar biasa agar berhasil. Sebenarnya bukan hal mengejutkan. Tidak perlu sampai membahas aktingnya di My Mister (2018), Kdrama yang jadi alasan Kore-eda memilihnya. Sejak mulai aktif menulis lagu pun kepekaan itu sudah nampak. Bagi saya, IU musisi spesial bukan (cuma) karena kapasitas vokalnya, tapi kepiawaiannya menangkap hal-hal kecil di sekitar, lalu menerjemahkannya dalam wujud estetika musik. 

IU si musisi maupun Lee Ji-eun si aktris sama-sama punya sensitivitas tersebut. Di Broker pun terlihat bagaimana kekaguman Kore-eda atas aktingnya, berkembang jadi kepercayaan terhadap kualitas sang aktris. Hampir seluruh momen yang menuntut kecermatan olah rasa tinggi diberikan padanya. Alhasil realisme Kore-eda dan kesubtilan akting Lee Ji-eun berpadu sempurna. 

Saat So-young tersenyum simpul, sementara wajahnya dibasuh hangatnya cahaya matahari, saya pun sadar apa yang ia (dan karakter lain) impikan. Seperti kita, mereka tidak mau sendirian melangkah. Tidak peduli kandung atau bukan, mereka merindukan keluarga. Keluarga yang berkata "You're doing great" tatkala roda kehidupan sedang berputar di bawah. Keluarga yang memandang eksistensi kita sebagai anugerah, kemudian berucap, "Thank you for being born". 

3 komentar :

Comment Page:
Rafika mengatakan...

Sama shoplifter bagusan mana bang ?

Anonim mengatakan...

A sensitive and insightful review. Thanks

Anonim mengatakan...

Masih nungguin review nya decision to Leave Park Chan Wook