REVIEW - V/H/S/99

4 komentar

Seri V/H/S semestinya merupakan lahan berkreasi, di mana kreativitas tidak dibatasi dan kegilaan lepas kendali. Satu orang paham memahami betul esensi tersebut: Timo Tjahjanto. V/H/S/2 (2013) dan V/H/S/94 (2021) dibawanya jadi installment terbaik berkat segmen buatannya (salah satunya bersama Gareth Evans). Kali ini, di film kelimanya, Timo absen. Begitu pula segala kesenangan menyaksikan keliaran horor.

"Konsep menarik, eksekusi generik". Kalimat itu bakal terus muncul di kepala selama kurang lebih 109 menit durasi V/H/S/99. Shredding karya Maggie Levin berusaha menangkap semangat teenage angst yang kental mengisi industri musik 90-an, mengenai empat anggota band punk rock. Apa yang mereka lakukan? Menyusup ke panggung musik bawah tanah (literally), yang terbengkalai pasca sebuah peristiwa kebakaran. 

Ya, bahkan setelah mencetuskan subteks serta penokohan unik, alurnya tetap terjebak dalam formula klise "remaja memasuki area terkutuk lalu berperilaku secara tidak hormat". Terornya berdarah, sadis, dilengkapi efek praktikal mumpuni (keunggulan yang rutin dimiliki segmen film ini), namun keputusan Levin menyelipkan efek glitch berlebihan, berujung melucuti kenikmatan menyaksikan segala kelebihan tadi. Termasuk ending komikal (in a good way) miliknya. To put it simply, this is that kind of mocku-horror where you can't see shit. 

Sedangkan Suicide Bid garapan Johannes Roberts, yang mengangkat soal obsesi mahasiswi baru bergabung dengan sorority paling prestisius, coba membangun nuansa klaustrofobik, hanya saja pilihan shot sang sutradara kurang mendukung. Sekali lagi practical effects tampil selaku penolong, tatkala konklusinya kekurangan daya untuk menciptakan cerita balas dendam yang memuaskan.  

Ozzy's Dungeon buatan Flying Lotus mungkin segmen yang paling mewakili semangat keliaran serinya. Serupa judulnya, sebuah game show berjudul Ozzy's Dungeon mengambil sentral penceritaan. Sebuah acara khas 90-an, dengan estetika serta musik 90-an, dan pembawa acara (Steven Ogg) yang menampilkan mannerism ala Jim Carrey, bahkan mengutip kalimat ikonik milik sang aktor. 

Seiring berlangsungnya acara, makin jelas kalau Ozzy's Dungeon, walau berisikan anak-anak, serta berjanji mengabulkan permintaan mereka bila berhasil menang, sama sekali tak memedulikan anak. Naskah yang ditulis oleh Flying Lotus bersama Zoe Cooper menyentil eksploitasi anak, baik di tangan industri maupun orang tua. 

Tapi kegilaan sesungguhnya terletak tatkala segmen ini beberapa kali "banting setir", terus membawa genrenya berevolusi, dari komedi hitam, revenge story, torture porn, hingga menebar aroma lovercraftian. Segmen yang paling berpotensi dikembangkan ke medium film panjang guna lebih mengeksplorasi mitologinya. 

Perbedaan mendasar V/H/S/99 dibanding seluruh installment sebelumnya adalah ketiadaan segmen yang bertindak selaku narasi penghubung. Sebagai gantinya, kita disuguhi animasi stop-motion mengenai mainan tentara yang melalui beragam situasi absurd, yang dibuat oleh karakter dari segmen keempat, The Gawkers. 

Sayangnya, animasi yang tak punya kaitan dengan cerita utama itu justru jadi poin terbaik The Gawkers, yang mengisahkan empat remaja horny, dalam upaya mereka mengintip seorang wanita yang tinggal di seberang jalan. Kemunculan figur mitologi tak terduga gagal dimanfaatkan oleh sang sutradara, Tyler Macintyre, guna melahirkan klimaks brutal. Menilik kisahnya, tatkala setup jauh lebih panjang daripada payoff, saya pun curiga. Jangan-jangan segmen ini malah luapan kemesuman terselubung pembuatnya?

Tendensi suatu antologi adalah menaruh segmen terbaik sebagai penutup, dan To Hell and Back lumayan berhasil menanggung tugas berat tersebut. Mengisahkan dua teman yang tengah merekam proses ritual pemanggilan iblis jelang pergantian tahun, segmen ini mengajak penonton berjalan-jalan ke neraka secara literal. 

Keterbatasan biaya mampu diakali oleh dua sutradaranya, Vanessa dan Joseph Winter. Langit merah tua, sambaran metir, padang tandus, serta kualitas practical effects dan kreativitas desain monster yang mencapai puncaknya, menyajikan penutup mengesankan. 

Tapi mana kecemasan yang melanda publik, saat kedatangan milenium baru dikabarkan bakal berujung akhir dunia (termasuk paranoia Y2K)? Beberapa kali hal-hal itu disinggung, namun tak satu segmen pun benar-benar berani memaparkan kekacauan dan ketakutan yang menggelayuti benak banyak orang jelang transisi dari tahun 1999 ke 2000. Karena begitulah V/H/S/99. Sebuah kotak mimpi buruk yang tak pernah dibuka seutuhnya. 

(Shudder)

4 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Bg coba buat artikel ttg prediksi pemenang piala citra 2022

Anonim mengatakan...

seremmmm ini film

aan mengatakan...

masih yg terbaik yg ke 2...epy kusnandar masih terbayang2...hahaha

Anonim mengatakan...

Oalah pantes ternyata bang Rasyid yang nulis. Narasinya mirip review cine crib wkwkwk