REVIEW - ALL QUIET ON THE WESTERN FRONT

8 komentar

Hingga kini, novel All Quiet on the Western Front (1928) karya Erich Maria Remarque telah dua kali diadaptasi ke layar lebar. Versi pertama (1930), yang memenangkan Best Picture di gelaran Oscar ketiga, meski tetap menampilkan beberapa sekuen megah untuk masanya, bukan mengajak kita menyaksikan peperangan, melainkan transformasi manusia-manusia di dalamnya selaku dampak terjun ke medan perang. Kita melihat sebuah "akibat". 

Sebaliknya, versi terbarunya yang jadi perwakilan Jerman di Oscar 2022, walau masih menyoroti transformasi tersebut, lebih menitikberatkan pada horor peperangan yang karakternya saksikan. Kali ini kita melihat sebuah "sebab".  

Sehingga, saat versi 1930 dibuka dengan hegemoni menyambut pengiriman tentara Jerman menuju Perang Dunia I, versi 2022 langsung menyuguhkan tragedi. Kepulan asap menyelimuti alam yang hancur dan tumpukan tubuh tak bernyawa. Bukan soal mana yang lebih baik. Bisa dibilang, keduanya saling melengkapi guna memberikan gambaran utuh. 

Mayat-mayat tadi dikubur secara massal. Seragam mereka dilucuti, dijahit ulang, kemudian diberikan pada prajurit baru. Remaja-remaja yang masih memandang perang sebagai sarana melampiaskan letupan masa muda di balik sampul nasionalisme. Salah satunya Paul (Felix Kammerer).

Diterimanya seragam bekas seorang prajurit Jerman yang gugur. Andai kelak Paul gugur dan perang masih berlanjut, mungkin hal serupa bakal berlanjut. Seolah nyawa mereka sedemikian tak berharga, bisa begitu saja dibuang selama ada pemuda baru yang siap melanjutkan. Bukan melanjutkan perjuangan, tapi lingkaran kematian.

Lingkaran itu terus berputar. Di versi 1930, Paul sempat cuti beberapa hari, lalu mendapati proses cuci otak bertopeng bela negara yang dahulu ia terima, juga terjadi pada junior-juniornya agar mereka bersedia maju perang. Situasi itu dihapus di versi 2022, digantikan oleh pemandangan yang lebih menusuk.

Ditangani oleh Edward Berger, All Quiet on the Western Front memang meningkatkan kebrutalan dibanding pendahulunya. Didukung sumber daya yang jauh lebih mumpuni, Berger melukiskan tragedi yang tak ubahnya neraka dunia. Pertempuran prajurit Jerman melawan tank Prancis adalah salah satu sekuen (anti) perang paling meneror yang pernah saya tonton. Ditambah lagi, musik mencekam gubahan Volker Bertelmann senantiasa mengiringi. 

Di belakang kamera, James Friend selaku sinematografer menghadirkan komparasi ekstrim. Sewaktu baku tembak terjadi, langit kelam hingga tanah berlumpur yang kotor memenuhi layar. Tampaklah wajah kematian. Begitu baku tembak absen, kita disuguhi siraman hangat cahaya matahari dan bentangan rerumputan hijau. Di situlah kehidupan menampakkan diri. Bahkan sewaktu karakternya membicarakan kematian pun, yang kita rasakan malah harapan. Seperti saat Paul membacakan surat dari istri rekannya, Kat (Albrecht Schuch). Versi ini memberi karakter Kat tambahan latar belakang, yang dimanfaatkan oleh Schuch untuk menampilkan akting heartful. 

All Quiet on the Western Front membawa beberapa modifikasi lain, salah satunya penambahan intrik di luar garis depan (tidak ada di versi 1930 maupun novelnya), tatkala Matthias Erzberger (Daniel Brühl) mewakili Jerman untuk mendiskusikan gencatan senjata dengan pihak Prancis. Karakter Erzberger yang merupakan sosok politisi dunia nyata sayangnya memunculkan gangguan. Pertama, penokohannya bak figur penyelamat dari produk arus utama Hollywood, yang berlawanan dengan atmosfer sarat ketidakberdayaan milik filmnya. Kedua, Brühl merupakan nama yang terlampau besar, sehingga menghadirkan distraksi. 

Tap iadanya konflik "di balik layar" itu sendiri bukan kelemahan. Termasuk sorotan bagi Jenderal Friedrichs (David Striesow) yang terobsesi pada perang. "Apa artinya tentara tanpa perang?", ujarnya. Konflik-konflik itu menghapus netralitas sebagaimana versi 1930, yang di opening-nya merasa perlu menyertakan pernyataan bahwa filmnya tidak berniat membela atau menyalahkan pihak mana pun. Sebaliknya, All Quiet on the Western Front versi baru lantang meneriakkan siapa saja pendosa di peperangan ini. Sebuah sajian anti-perang yang efektif. Pada akhirnya, jutaan nyawa yang melayang di medan perang, entah akibat peluru, ledakan bom, tusukan bayonet, atau kecelakaan tragis, semuanya sia-sia. 

(Netflix)

8 komentar :

Comment Page:
Anjay mengatakan...

Aku pas nonton sakit hati banget, sesakit hati tertusuk bayonet! no spoiler!

Cinema Paradiso mengatakan...

Matthias Erzberger=Lord Luhut

Anonim mengatakan...

FILM HORROR BANGET INI FILM....

Anonim mengatakan...

Nonton yg versi 1930 dimana bang

Anonim mengatakan...

njirrrrr sadis banget....

Anonim mengatakan...

film bikin trauma seumur hidup nggak bisa tidur

Anonim mengatakan...

ngapain coba jalan jalan nggak jelas dan memencuri telur bikin gara-gara nggak jelas juga...jangan pipis sembarangan ya...ending film yang membagongkan blas banget...

Anonim mengatakan...

ending yg benar-benar menyayat hati, gak tega melihat aktor utamanya mati di akhir film, semua karena jenderal goblok itu