REVIEW - POTRET MIMPI BURUK

8 komentar

Di tengah malam, Bayu (Cornelio Sunny) melihat gadis bernama Hujan (Salvita Decorte) menangis, duduk meringkuk di samping kandang ayam. Sebelum mendekat, Bayu perlahan menaruh rokok yang tengah ia hisap ke tanah. Tidak ada perokok yang membuang rokoknya dengan cara demikian. 

Sinema memiliki bahasanya sendiri. Logika boleh dikesampingkan demi pencapaian estetika, atau simbolisme bila ada. Cara Bayu menaruh rokok tidak menyuntikkan nilai apa pun. Tidak mempercantik adegan, tidak pula membawa pesan. Ismail Basbeth bak hanya ingin memperlambat tempo, sebagaimana yang ia lakukan selama 84 menit Potret Mimpi Buruk. Slow cinema yang berusaha terlalu keras menjadi slow cinema. 

Pasca sekuen pembuka creepy di mana Hujan, yang dalam kondisi hamil, dikejar oleh sosok wanita berpakaian hitam (namanya pun "Hitam") dengan tawa mengerikan (Annisa Hertami), kita diajak melihat rutinitas dua manusia. Bayu memberi Hujan tempat tinggal, menyediakan kasur, membelikan makanan juga pakaian. Sesekali Hujan mengalami mimpi buruk yang membawanya ke tengah hutan tempat ia sebelumnya dihantui oleh Hitam.

Basbeth termasuk salah satu sineas lokal yang paling piawai mengolah penuturan lambat. Another Trip to the Moon (2015) dan Mobil Bekas dan Kisah-Kisah dalam Putaran (2017) jadi bukti nyata. Tempo lambat ia pakai untuk merangkai keindahan, memfasilitasi proses observasi penonton, sekaligus membangun atmosfer. Tidak jarang kengerian muncul dalam judul-judul di atas, yang notabene bukanlah horor. Sehingga "post-horror karya Ismail Basbeth" terdengar bak skenario sempurna. 

Tapi ketimbang pameran kemampuan, di Potret Mimpi Buruk, Basbeth malah seperti menyajikan self-parody. Tempo lambat hanya sekadar lambat, sedangkan kekosongan tak melahirkan perenungan. Hanya rasa bosan. Seusai pemutaran, Basbeth bercanda tentang bagaimana proses pengambilan gambar di malam hari amat melelahkan sampai ia tertidur. Mungkin dia ingin menyalurkan perasaan tersebut dengan membuat penonton tertidur dalam studio. 

Sekitar 45 menit pertamanya adalah ujian kesabaran tingkat tinggi. Ketika karakternya makan mereka hanya makan, ketika tidur hanya tidur, ketika mandi hanya mandi, dan seterusnya. Tanpa intensitas, tanpa perenungan untuk direnungkan. Salvita Decorte tampil meyakinkan sebagai wanita dengan kekalutan psikis, namun Cornelio Sunny muncul dengan akting ala siswa SD yang sedang belajar membaca puisi. 

Lewat separuh perjalanan, naskah yang juga ditulis oleh Basbeth mulai coba membangun misteri. Mengapa Bayu punya banyak lukisan bergambar Hujan? Kenapa nantinya wajah di lukisan-lukisan itu berubah? Berbagai petunjuk tersebar secara subtil, tapi Potret Mimpi Buruk dengan gaya pretensius miliknya, gagal memancing ketertarikan agar penonton mau repot-repot memecahkan petunjuk tersebut. 

Di sesi tanya jawab, Basbeth sempat khawatir filmnya kental dengan male gaze kala menuturkan soal kisah karakter wanita. Pertemuan Bayu dan Hujan dengan Awan (Karina Salim) si peramal akhirnya mengungkap identitas Hitam, pula rahasia ketiga manusia tersebut. Rahasia yang seolah berkata bahwa wanita korban perkosaan pun tidak semestinya melakukan aborsi. Potret Mimpi Buruk bukan sekadar male gaze. Dia lebih parah dari itu. 

Third act-nya membawa sedikit perbaikan lewat beberapa momen yang cukup efektif menggedor jantung meski cuma sepersekian detik (shot kebakaran khas folk horror, penampakan tak terduga), juga penampilan kuat Karina Salim yang membuat konklusi nyaris tampil disturbing. Nyaris, sebab filmnya ditutup begitu mendadak. Pilihan ini sebenarnya dapat berhasil andai proses yang mendahuluinya tampil maksimal. Tidak ada mimpi yang lebih buruk dibanding menyaksikan salah satu sutradara paling berbakat di tanah air melahirkan karya seburuk ini.

(JAFF 2022)

8 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

hore dapat bintang satu, lumayan, daripada tidak mendapatkan bintang sama sekali...🥰

Anonim mengatakan...

kok saya merasa lama kelamaan festival film di indo hanya sebatas menghargai sineas yg ada ya mas... kaya paranoia masuk nominasi film terbaik ffi utk menghargai mas riri riza, pokoknya kalo dia bikin film pasti bagus dan layak masuk film terbaik. ini juga, potret mimpi buruk, yg kualitasnya sebenernya gk layak masuk kurasi jaff, tp menghargai mas ismail basbeth... menurut mas rasyid gimana ??

Rasyidharry mengatakan...

Konteksnya beda tapi mirip. FFI kan namanya aja festival. Tapi sebenernya "cuma" awards. Di situ emang jurinya aja yang ngaco (sering terjadi)

Kalo JAFF masukkin PMB ya buat varian. Walopun tetep ada faktor "temen sendiri", yang sebenernya selalu terjadi di festival mana pun. Cannes, Venice, Locarno, semua gitu

Anonim mengatakan...

Ini ordal yg pernah sakit hati sama para filmmakers senior spt nya wkwkwkwk. Kritik nya terlalu kebaca broo.

Anonim mengatakan...

Filmnya terlalu lambat... Kek nonton ROH dari Malaysia...

Anonim mengatakan...

COCOK JADI OBAT TIDUR

Anonim mengatakan...

Kritikus film 1 dekade lu bilang kurang nonton film, lu kali

Anonim mengatakan...

Film yg membosankan