REVIEW - GALANG

5 komentar

Masih teringat di memori saya peristiwa "Sabtu Kelabu" 9 Februari 2008, kala perilisan album perdana grup metal Beside di gedung AACC (Asia Africa Cultural Center) berujung tragedi yang menewaskan 11 orang. Media arus utama beramai-ramai menumpahkan kesalahan pada skena musik bawah tanah, yang sebelumnya memang kerap mendapat stigma negatif dari publik awam. "Tidak kenal" adalah penyebabnya.

Galang merupakan proses mengenal yang disusun berdasarkan tragedi tersebut. Galang (Elang El Gibran) kerap diajak kakaknya, Maryam (Laras Sardi), mendatangi konser musik cadas yang sebenarnya tak ia gemari. Ajakan itu kembali datang tatkala grup favorit Maryam, Axfiksia, akan menggelar konser perilisan album mereka. Kali ini Galang menolak. Suasana hatinya sedang buruk setelah penggojlokan yang ia terima sehari penuh dalam rangka ospek kampus. 

Terjadilah tragedi. Konser berujung kepanikan massal yang menewaskan banyak penonton termasuk Maryam. Kedua orang tuanya (Jenny Zhang dan Kiki Narendra) terkejut. Di mata mereka, Maryam dengan kerudung serta pekerjaan kantorannya mustahil menggemari musik "penyembahan setan" macam itu. Mereka tidak mengenali sang puteri. 

Galang yang dihantui rasa bersalah (secara tidak langsung juga disalahkan oleh orang tuanya) mengambil langkah ekstrim. Ada sisi dalam dirinya yang mengikuti opini publik, bahwa kesalahan patut dilimpahkan pada genre musiknya. Tapi di sisi lain yang mungkin tak sepenuhnya disadari, ia ingin mengenal kakaknya. Mengenal apa yang Maryam sedemikian cintai, dan alasan di balik kecintaan tersebut. Galang memutuskan bergabung dengan Axfiksia sebagai kru tanpa mengungkap statusnya sebagai adik salah satu korban. 

Penulisan Tumpal Tampubolon menghasilkan naskah yang informatif, membantah miskonsepsi awam terkait skena musik bawah tanah, tanpa perlu jatuh ke arah iklan layanan masyarakat. Galang adalah proses mengenal yang melatari upaya karakternya menangani duka. 

Pertemuan dengan Asmara (Asmara Abigail), manajer Axfiksia, mengajari Galang betapa musik bisa jadi penyelamat. Galang pun mulai mengenal Irfan (Agra Piliang), vokalis Axfiksia yang dari luar nampak bermasalah, kerap membuat onar di internal grup, gonta-ganti pasangan, dan erat dengan narkoba. Tapi ada sisi lain dari Irfan yang jauh lebih rapuh, sebagaimana Maryam juga menyimpan wajah lain.

Galang mengerti bahwa kegemaran Maryam akan lantunan nada keras bukan anomali, melainkan sebatas metode menghadapi pahitnya realita. Maryam mungkin menyimpan luka yang adiknya tak ketahui. Karena sekali lagi, Galang belum benar-benar mengenal sang kakak. 

Dibantu Tri Adi Prasetyo selaku sinematografer dalam pengarahannya, Adriyanto Dewo (Tabula Rasa, Mudik, One Night Stand) nyaris tak pernah melepaskan pandangan kamera dari si tokoh utama, memosisikan kita di belakang Galang dalam tiap langkahnya (mengingatkan ke gaya Son of Saul). Sedangkan rasio 4:3, ditambah banyaknya pencahayaan redup, jadi cerminan intim bagi kegelapan hati Galang, yang dibawakan dengan kompleksitas emosi minim tuturan verbal dari Elang El Gibran, yang makin konsisten menapaki jejak sang ayah, Rukman Rosadi, sebagai salah satu aktor paling "berbahaya" negeri ini. 

Walaupun diiringi keliaran distorsi dalam barisan lagunya (Black Amplifier milik The S.I.G.I.T dan Aku Lupa Aku Luka dari Koil membuat telinga penonton non-metalhead takkan teralienasi), dalam hal bercerita, Galang tampil rapi. Selain kesolidan naskah buatan Tumpal Tampubolon, serupa karya-karya sebelumnya, Adriyanto Dewo kembali unjuk kebolehan terkait cara memainkan tempo medium yang menghanyutkan.

Sayangnya kerapian narasi Galang agak mengendur di babak ketiga. Timbul beberapa pilihan yang patut dipertanyakan, seolah naskah yang tadinya solid, kebingungan menentukan jalan untuk menutup beberapa konflik. Kebingungan serupa juga dialami departemen penyuntingan, yang kurang rapi menyusun aliran narasi memasuki paruh akhir durasi. 

Tapi sebagaimana protagonisnya, Galang terlampau kokoh untuk dapat dirobohkan oleh kekurangan-kekurangan di atas. Dia membuka mata, telinga, dan hati, mengajak penonton melihat, mendengar, kemudian merasakan realita yang berlawanan dengan stigma. Sewaktu para pelaku musik bawah tanah yang sering dianggap bejat justru lebih memanusiakan manusia dibanding jajaran mahasiswa cendekia dalam masa orientasi mereka, seharusnya kita sadar bahwa ada pola pikir yang harus dipugar. 

(JAFF 2022)

5 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Saya jadi tertarik menonton film ini setelah membaca ulasan sampeyan mas. Tapi emang betul mas. Musik cadas sering dianggap nggak jelas oleh beberapa orang, pendengar musik cadas banyak yang mengalah untuk mematikan (mengecilkan) soundnya saat ada orang lain. Namun kebalikannya mereka yang lebih suka musik umumnya orang haha, sak udele dewe saat memutar potensio volume. Ok makasih reviewnya. Maaf malah curhat.

Anonim mengatakan...

layak untuk di tonton film ini

Anonim mengatakan...

Penggemar musik metal juga kerap memandang cengeng aliran musik alus, merasa dirinya eksklusif. Gak jauh beda dengan fanatisme terhadap generasi tertentu.

Ya memang, harus ada pola pikir terhadap stigma yg harus dirubah.

Anonim mengatakan...

kembali alternatif film Indonesia datang ke penonton Indonesia

Anonim mengatakan...

emang ga jelas cuk