REVIEW - LAYAR

5 komentar

Layar memperkenalkan kita pada bioskop bernama Merapi. Sebuah bioskop dengan harga tiket 12 ribu rupiah, masih belum beralih ke proyektor digital, dindingnya pun berhiaskan poster film-film lawas. Apakah film ini membicarakan masa lalu? Rupanya tidak. Latarnya adalah masa kini, tepatnya di tengah pandemi. 

Begitulah konstruksi dunia ciptaan oleh Ifa Isfansyah, yang menulis naskahnya bersama Ahmad Aditya, sekaligus menduduki kursi sutradara. Tidak sepenuhnya antah berantah. Eksistensi Piala Citra mengonfirmasi bahwa kita sedang menyaksikan Indonesia. Lebih tepatnya Indonesia versi fiktif, atau kalau mau lebih spesifik, Yogyakarta, mengingat pemilihan "Merapi" sebagai nama bioskop. Bentuk dunia tersebut membebaskan Ifa mempertemukan realita masa kini, kenangan masa lalu, serta harapan masa depan. 

Protagonisnya adalah Ani (Siti Fauziah), seorang pegawai bioskop Merapi. Ayahnya seorang pecinta film, dan bisa ditebak nama Ani terinspirasi dari karakter peranan Yatie Octavia dalam film-film Rhoma Irama. Kecintaan sang ayah pun menurun kepada Ani, sehingga ia memilih mencari nafkah di bioskop. 

Sampai hantaman pandemi memaksa Merapi tutup. Tidak hanya itu, Pak Bimo (Pritt Timothy) selaku pemilik berencana menjual bioskop, yang telah merugi selama bertahun-tahun bahkan sebelum pandemi. Bersama pegawai lain, Ani mulai mencari cara guna menyelamatkan Merapi. 

Begitu realita masa kini. Bioskop independen di luar lingkaran jaringan raksasa sukar bertahan hidup, sekalipun tanpa terjangan pandemi. Sedangkan eksibitor yang menguasai industri, membangun bioskop mereka dalam pusat perbelanjaan mewah, pula dengan harga yang makin sukar dijangkau kalangan bawah. 

Bioskop Merapi dengan harga belasan ribu, lokasi dekat area pemukiman warga, serta tata ruang sederhana (penggunaan gedung Societet di Taman Budaya Yogyakarta adalah keputusan sempurna) ibarat mesin waktu yang Ifa lahirkan untuk mengunjungi kenangan masa lalunya, kala kecintaan terhadap film tumbuh kala bioskop di tengah rakyat. Layar merupakan satu lagi surat cinta bagi sinema, tapi bukan sinema elitis. 

Kita melihat tukang becak hingga penjual jajanan pasar menggantungkan penghidupan mereka dari Merapi. Dari situlah terpampang gambaran masa depan ideal yang Ifa dambakan, di mana bioskop dan film jadi kepunyaan bersama. Mungkin bisa disebut "sinema kerakyatan". Poin ini ditekankan di babak ketiga, dalam bentuk curahan hati pecinta sekaligus pelaku industri film, yang sayangnya lalai "dipercantik" sehingga tampil bak iklan layanan masyarakat. 

Layar memang surat cinta yang masih memiliki cela. Progresi konfliknya terasa buru-buru. Alhasil masalah beserta solusi sering terasa datang dan pergi secara tiba-tiba tanpa dibarengi proses memadai. Pun beberapa subplot hanya menjadi sempilan minim signifikansi. Kelemahan itu sesungguhnya bisa dipahami, mengingat Layar adalah "produk OTT" yang serba terbatas, termasuk soal durasi (tidak genap 70 menit). Filmnya memang didesain sebagai suguhan ringan, singkat, yang dapat dinikmati di waktu senggang.

Gangguan lain muncul dalam hal bahasa. Naskah Layar menggabungkan Bahasa Indonesia dan Jawa dengan hasil yang timpang. Ketika Bahasa Jawa menghadirkan nuansa "gayeng" khas obrolan santai Yogyakarta, deretan kalimat Bahasa Indonesia terdengar seperti terjemahan kaku. Nampaknya ini upaya menciptakan kesan universal yang kurang sukses. 

Interaksi jajaran pemainnya pun lebih nyaman disimak sewaktu mereka menggunakan Bahasa Jawa. Siti Fauziah yang akhirnya lepas dari bayang-bayang karakter Bu Tejo, Tuminten sebagai Mbok Giyem si penjual makanan, hingga Tri Sudarsono sebagai Pak Purnomo, adalah bagian ekosistem sinema yang acap kali dikesampingkan, dan Layar menuliskan surat cinta hangat untuk mereka semua. 

(Klik Film)

5 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

ada Bu Tejo 🤗🤗🤗

dududu mengatakan...

MANTEPP IKII

Anonim mengatakan...

Lagi2 ada penggunaan istilah "surat cinta" bagi sinema...

Entah kenapa, jadi bosen denger (atau baca) istilah itu... Dipake banyak kritikus buat komenin THE FABELMANS dari Amrik atau LAST FILM SHOW dari India...

Anonim mengatakan...

kangen bu tejo terbayar tuntas nonton film ini

Anonim mengatakan...

Satu lagi film dg judul yg tidak menjual dan akan jadi flop karenanya