REVIEW - ANT-MAN AND THE WASP: QUANTUMANIA

33 komentar

Ketika Eternals mendapat ulasan buruk, saya memujinya habis-habisan. Bahkan saat Thor: Love and Thunder banyak dihujani olok-olok, saya tetap menganggapnya hiburan menyenangkan, meski sebuah penurunan drastis dibanding judul sebelumnya. Judul-judul MCU selalu tahu ingin menjadi apa. Entah suguhan superhero epik, fan service banjir cameo, atau sebatas tontonan ringan. Ant-Man and the Wasp: Quantumania sayangnya tidak demikian, dan setelah 31 film, dengan berat hati saya mesti berkata, "Marvel Studios melahirkan film buruk". 

Di bawah komando Kevin Feige, franchise tiap jagoan di bawah bendera MCU memiliki desain masing-masing. Kalian suka karakter eksentrik? Silahkan berpetualang bersama Guardians of the Galaxy. Ingin sesuatu yang lebih serius? Ada Captain America. Jenuh dengan realita monoton? Doctor Strange siap melenyapkan batasan ruang dan waktu. Sesekali muncul eksplorasi, namun tak pernah melenceng dari desain. Tapi jika sebuah desain dianggap gagal, pintu untuk perubahan selalu terbuka. Thor misalnya. 

Sejak film perdananya sewindu lalu, Ant-Man identik dengan gaya ringan berskala kecil. Ketimbang keselamatan dunia, ikatan keluarga lebih diutamakan. Feige paham betul bahwa "kekuatan semut" sang jagoan takkan cocok dibawakan secara serius. Dia pun sadar Ant-Man bukan tandingan para penjahat penguasa semesta. Makanya bertebaran meme tentang "Ant-Man vs Thanos". Quantumania berusaha merombak desain paten tersebut, dan itulah penyebab keruntuhannya.

Gagasan utamanya adalah mengeksplorasi Quantum Realm, di mana Scott (Paul Rudd), Hope (Evangeline Lilly), Cassie (Kathryn Newton), Hank (Michael Douglas), dan Janet (Michelle Pfeiffer), terjebak di sana, lalu terlibat konflik dengan Kang the Conqueror (Jonathan Majors). Kang akan meneruskan tongkat estafet dari Thanos sebagai musuh besar MCU. 

Di situlah pangkal masalahnya. Bisakah membuat Kang si penjelajah waktu dari abad 31, sekaligus penebar ancaman bagi multiverse dengan citra intimidatifnya, sesuai dalam kisah Ant-Man yang biasanya berskala kecil? Jawabannya tidak, namun Quantumania memaksakan dirinya, itu pun secara setengah-setengah.

Naskah buatan Jeff Loveness mempertahankan humor yang cukup menggelitik di beberapa titik, meski belum seefektif komedi ala MCU sebelum fase 4 yang selalu bisa membuat seisi studio bergemuruh oleh tawa penonton. Bahkan Bill Murray seperti setengah hati mengisi kemunculan singkatnya yang gagal meninggalkan kesan. 

Kemudian, seolah sadar bahwa Kang bukan karakter komedik, tone-nya mendadak banting setir tiap sang supervillain mengisi layar. Peleburan dua tone berbeda sejatinya dapat dilakukan. Tapi yang Quantumania lakukan bukan peleburan, melainkan menempelkan paksa. 

Secara konsep, sejatinya Kang punya penokohan menarik. Kemampuan menjelajah waktu membuat persepsinya akan hidup berbeda. Dia adalah sosok kesepian. Tidak satu orang pun bisa melihat apa yang ia lihat. Jonathan Majors sanggup menghidupkan kesedihan tersebut. Daripada murni jahat, Kang lebih dekat ke arah figur tragis sebagaimana karakter Shakespeare, dan Majors membawa intepretasi shakesperean ke dalam aktingnya. 

Sekali lagi, apakah itu cocok dengan cerita seorang Ant-Man? Tidak. Majors bermain baik, hanya saja tidak pada tempanya. Apalagi ditambah ketidakmampuan Peyton Reed mengolah intensitas di situasi serius yang tak melibatkan aksi warna-warni, Quantumania selalu jadi pengantar tidur setiap obrolan sarat eksposisi mengenai latar belakang si antagonis mengambil alih. Situasi tersebut sangat sering terjadi. 

Quantumania merampas apa yang jadi kekuatan terbesar seri Ant-Man, yakni drama keluarga. Padahal kisahnya menyimpan banyak potensi. Scott mendapati Cassie telah tumbuh sebagai remaja dengan kepekaan sosial tinggi (sosoknya mewakili tendensi aktivisme generasi sekarang), sedangkan Janet, dipaksa kembali ke Quantum Realm yang masih meninggalkan kenangan buruk baginya. Persatuan keluarga si tokoh utama mendapat ujian terberatnya. 

Setiap keluarga jadi sorotan, Quantumania mencapai level terbaiknya. Momen menyentuh tatkala kerumunan variant Scott dipersatukan oleh motivasi tunggal (anak), serta performa solid Pfeiffer, yang menilik kuantitas porsinya patut disebut "peran utama", mengingatkan akan bagaimana semestinya film Ant-Man disajikan. Semua itu tenggelam dalam keharusan menjembatani rencana-rencana masa depan MCU. 

Sebenarnya penyakit tersebut sudah berulang kali menjangkiti MCU, tapi selalu ada "obat penawar". Entah karena filmnya sendiri punya daya hibur tinggi, atau bangunan masa depan yang di-tease memancing antusiasme. Quantumania tidak memiliki keduanya. 

Aksinya generik. Tidak buruk, namun kehilangan energi yang senantiasa menyokong film-film sebelumnya. Visualisasi Quantum Realm dengan segala pernak-pernik aneh dan makhluk uniknya yang mengingatkan ke dunia Star Wars memang memanjakan mata, tapi sebatas itu saja tidak cukup. Sebatas menumpuk visual nyentrik sudah kehilangan kekuatannya, setelah MCU dipenuhi judul-judul seperti Doctor Strange, Thor: Ragnarok, Guardians of the Galaxy, dan tentunya Ant-Man sendiri, yang menampilkan pemandangan serupa. 

Menjadi bertambah fatal sewaktu tease perihal masa depannya justru berisiko mengurangi ketertarikan alih-alih menguatkan. Pembaca komik tentu familiar dengan apa yang Kang dapat lakukan. Bagaimana dengan penonton kasual? 

Konon Kang pernah berkali-kali membunuh Avengers di perjalanannya melintasi waktu dan multiverse, tapi kita tak pernah melihatnya secara langsung. Penonton harus percaya bahwa Kang lebih berbahaya dari Thanos, dan Quantumania gagal membangun kepercayaan tersebut. Dia adalah ilmuwan jenius dari abad 31, pemilik berbagai teknologi super canggih yang membuat Tony Stark nampak primitif, tapi di sini, ia bisa dikalahkan dengan cara sederhana yang cenderung konyol. Kang ibarat orang besar mulut yang tak mampu membuktikan kehebatan kata-katanya. 

Quantumania memiliki dua credits-scene. Adegan pertama berfungsi menyiratkan ancaman seperti apa yang bakal Kang hadirkan, tapi selepas apa yang kita saksikan sepanjang film, sulit untuk menghapus praduga, "Oh dia cuma bisa main keroyok". Adegan kedua menampilkan karakter favorit penonton. Satu studio bertepuk tangan melihatnya, namun sama sekali tak bereaksi pada kalimat "Kang will return". Kesan yang muncul bukan "menyongsong masa depan" melainkan "mengejar masa lalu". Untuk pertama kalinya prses menantikan masa depan MCU terasa hambar. 

33 komentar :

Comment Page:
agoesinema mengatakan...

Saya kehilangan minat sejak berakhirnya Avenger Endgame.
Dan memang sudah terasa penurunan MCU, hanya Black Panther yang masih memberi harapan.

Anonim mengatakan...

cukup sekali saja nonton tak akan memgulangi nonton kecuali yang 3D

Anonim mengatakan...

enjoy aja nonton di bioskop karena ini film children, relax sambil makan popcorn dan cemilan serta minuman yang jumlah penonton full mengisi jumlah kursi bioskop, nggak usah mikirin lainnya toh datang ke bioskop mencari sensasi kacamata 3D sebuah hiburan

Anonim mengatakan...

Sdh jenuh dan bosan sama Film Superhero...!

Anonim mengatakan...

Kalo pemikiran kita sbg penonton seperti ini, dunia perfilman tidak akan berkembang wkwk, dengan adanya kritik/review/ulasan pasti akan membawa dampak maupun itu positif/negatif.

Dewa mengatakan...

Superhero jenuh..horror jenuh...cerita remaja jenuh..hadeuh...hoyong nu kumaha atuh jang ?

Anonim mengatakan...

Luis ada gak?

Anonim mengatakan...

Untuk pembuka phase 5 udah lumayan kalo menurut saya, babak ketiganya berasa star wars dengan kearifan MCU, cuman gak areg di CGI muka modok aja, sama endingnya kalo Kang menang kayaknya lebih seru

Ahmad fachriza mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Ahmad fachriza mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Ahmad fachriza mengatakan...

Anda jangan lupakan karakter modok yg wadidaw itu, pas nonton gua langsung tau tujuan sutradara dan penulis naskah masukin tokoh ini tuh buat nambah konflik dan pergolakan batin scoot, karena di samping gimana caranya keluar dari sana dan menghadapi kang, dia juga harus menghadapi musuh lama. Namun sayang nya gua gk ngerasain feel nya dan yah modok malah jadi konyol dan mati dengan cara yg paling konyol juga selama nonton mcu

Anonim mengatakan...

lebih asyik nonton film horror made in Indonesia daripada film antman Part 3, gue udah nonton

Andrew mengatakan...

Jonathan Majors & Michelle Pfeifer benar2 menyelamatkan film ini dari kualitas yg lebih buruk.

Brekele mengatakan...

Lebih baik nonton Spongebob ama Shaun the sheep

Ilham Qodri mengatakan...

Sebuah pengantar yg hambar dan tidak menjanjikan

Alvi mengatakan...

Ya ga salah juga si. Selain MCU, ada DC. Belum lagi, MCU sekarang main quantity over quality, jelas aja kejenuhan akan ada.

Alvi mengatakan...

Menjadikan villain utama layaknya Thanos tanpa melibatkan The Avengers memang keputusan yg aneh. Kenapa ga ikutin aja cara gimana mereka ngetease Thanos di beberapa film MCU, sebelum akhirnya melakukan grand entrance di Infinity War. Repetitif? Mungkin. Tapi selagi berhasil, ya ga masalah

Anonim mengatakan...

ini film khusus untuk fans mcu🤭

Anonim mengatakan...

Terlalu maksa comic accurate malah jadi cringe. Udah oke MCU era awal2 phase 1-2 itu lebih realistic, ngga terlalu comic accurate.

Anonim mengatakan...

abis nonton di bioskop tadi sore, terlalu keren ini film untuk di tonton di analisa di review & di komentari sampai bingung ini film mau di bawa kemana karena begitu totally ugly 🤭 kalah sama kualitas film Para Betina Pencari Iblis yang teknik drama nya lebih bagus

Anonim mengatakan...

Setelah karakter favorit saya pensiun (captain america)..jadi kurang bergairah nnton film" mcu selanjutnya.

Anonim mengatakan...

Bukannya Avengers Juga Main Keroyokan Waktu Ngalahin Thanos??.

Anonim mengatakan...

film buruk bulukan begini banyak di tonton oleh penonton di bioskop dan merajai seluruh layar bioskop

Anonim mengatakan...

sejelek jeleknya film kalau penonton suka ya pasti menyerbu bioskop sehingga semua layar bioskop menyajikan menu utama film ini, yang ternyata...lagi lagi, hanya bisa di tandingi oleh film horror indonesia...keren dong film horror indonesia bisa melawan film ini di bioskop

Anonim mengatakan...

Nggak

Anonim mengatakan...

film ant-man and the Wasp quantumania & waktu maghrib film pertama yang tembus sejuta penonton di indonesia

Quantumania film import pertama di Indonesia tembus 1 juta penonton di tahun 2023

film waktu maghrib jadi film Indonesia pertama tembus 1 juta penonton di tahun 2023

film jelek tembus 1 juta penonton itu keren banget cuy

Anonim mengatakan...

Dibelain nonton di bioskop kota sebelah biar lebih sip nontonnya, tapi ended up malah ngerasa sia-sia karena filmnya sangat "jomplang" dengan trailer. Sedih karena trailer bisa menawarkan alur cerita yang sangat jauh berbeda dengan plot cerita asli.

Tahu sih trailer tidak bisa diandalkan untuk tau jalan cerita, tapi kalo cuma 10% kata-kata di trailer yang muncul di film aslinya?? Sedih anjir 😭 Trailer memberi kesan kalau si Ant- Man bakal nurutin Kang biar bisa dapet waktu buat "ngegantiin" fase blip dan bisa ngikutin pertumbuhan Cassie, jadi keliatan urgensi Ant Man as "film bonding keluarga" ehhh ternyata motivasi di filmnya basic sekali. Berasa tertipu hiks

Anonim mengatakan...

Kocak sih.
Kang kalah masih ada Kang lainnya.
dan Kang lainnya dan lainnya.

sampai akhir zaman logikanya ya bakal ada next Kang dan next Kang.

Anonim mengatakan...

film yang keren banget

Anonim mengatakan...

anjir, dikira jelek....ternyata setelah di tonton : BAGUS BANGET ‼‼‼

Anonim mengatakan...

20 thumbs up untuk film part 3 alur cerita yang mengalir sederhana, skor : 8.5/10

Anonim mengatakan...

ester eggs prolog awal ada African America Spider-Man: Into the Spider-Verse versi Miles Morales duduk di kursi dekat jalan raya...mantap, multiverse di mulai dengan ending alternatif ternyata yang selamat dari dunia kuantum masuk kembali ke dunia realita adalah kloning dari antman dan the wasp

Anonim mengatakan...

ayo nonton film keren ini sebelum cek out dari layar bioskop