REVIEW - BABYLON

11 komentar

"A love letter to cinema". Sebutan tersebut bakal banyak disematkan ke Babylon. Tapi karya terbaru Damien Chazelle ini sejatinya lebih rumit. Surat yang Babylon persembahkan bernuansa "love/hate". Ada cinta untuk sinema, ada pula kebencian bagi wajah kelam industrinya. Kedua sisinya mustahil dipisahkan. Sebatas menyoroti sebelah sisi adalah wujud cinta yang terlalu naif. 

Apalagi filmnya mengambil latar 1920-an, tepatnya masa transisi film bisu menuju suara. Masa di mana rasisme, homofobia, kelalaian berbahaya di proses produksi, maupun hal-hal problematik lain masih amat mengakar di industri. Kita mengikuti perjalanan Manny Torres (Diego Calva), imigran asal Meksiko yang melakukan berbagai pekerjaan kasar bagi petinggi studio Hollywood. Membawa seekor gajah ke pesta misalnya. Di pesta tersebut Manny bertemu Nellie LaRoy (Margot Robbie), gadis yang percaya bahwa ia ditakdirkan menjadi bintang layar lebar. 

Malam itu Manny langsung jatuh cinta pada Nellie. Saat sang gadis menari di bawah pengaruh kokain, tatapan Manny dipenuhi kekaguman. Dia sadar Nellie memiliki pesona bintang. Kesan yang hanya dapat muncul karena Margot Robbie sendiri punya pesona serupa. Robbie ibarat pusat gravitasi yang otomatis menarik atensi semua orang ke arahnya. 

Malam itu pula yang menandai titik balik hidup dua karakternya. Sebuah tragedi justru membawa berkah bagi Nellie, yang mendapatkan peran perdananya. Sementara kebetulan lain menggiring Manny bersinggungan dengan Jack Conrad (Brad Pitt) si megabintang, yang membukakan pintu masuk ke industri untuknya. 

Kemudian secara simultan, Babylon menggambarkan pengalaman perdana keduanya di lokasi syuting. Di situlah Chazelle kembali memainkan simfoni khasnya, berupa pengadeganan bertenaga yang mencerminkan progresi berapi-api musik jazz kesukaannya. "Movie set is the most magical place in the world", kata Jack, dan sekuen di atas menggambarkan betul rasa magis tersebut. Ajaib, indah, menggugah. 

Ditemani lagi oleh dua kolaboratornya, Linus Sandgren sebagai penata kamera dan Justin Hurwitz selaku penggubah musik, Chazelle seperti menerapkan tiap ilmu yang didapat di La La Land, lalu menggandakannya. Semuanya lebih masif. Tracking shot dalam sekuen bacchanal yang menumpahkan keliaran pesta pora penuh seks dan kokain, berhasil menangkap pencapaian departemen artistiknya, dari kostum sampai kemeriahan desain produksi yang akan membuat Baz Luhrmann iri. 

Beberapa lagunya terdengar bagai modifikasi nomor-nomor ikonik milik La La Land, yang terasa tepat menemani alurnya. Jangan tertipu oleh materi promosinya (yang berakhir jadi bumerang menilik perolehan pendapatan film ini), sebab Babylon bukan cuma selebrasi liar. Sesungguhnya ia tersaji lebih sensitif. Lebih intim. Serupa La La Land, ini juga jalinan romansa dua individu, yang tidak peduli ke mana pun kisahnya bermuara kelak, sudah saling mengabadikan kenangan kebersamaan di memori masing-masing. 

Romansanya merangkum curahan cinta sekaligus benci terhadap industri yang Chazelle tuangkan dalam naskah. Industri memberi Manny dan Nellie kesuksesan, tapi industri juga mengubah mereka, pula menghancurkan kebahagiaan-kebahagiaan sederhana. 

Pengarahan dinamis membuat durasi yang melebihi tiga jam terasa jauh lebih singkat, walau harus diakui, efektivitas cerita akan meningkat bila Chazelle bersedia menekan ambisinya. Alurnya begitu luas. Selain tiga nama yang telah disebut sebelumnya, masih ada Sidney Palmer (Jovan Adepo), pemain trompet di grup musik jazz yang menembus Hollywood dan harus bersenggolan dengan rasisme, juga Lady Fay Zhu (Li Jun Li) si penyanyi kabaret lesbian. 

Ketika konflik yang dihadapi Sidney dan Lady Fay masih esensial, lain halnya dengan kemunculan James McKay (Tobey Maguire) si bos gangster eksentrik yang melandasi babak ketiganya. Di situ Babylon melangkah terlampau jauh dalam menyusuri ruang gelap Los Angeles, menyentuh area yang tak diperlukan terkait paparannya mengenai industri perfilman. 

Beruntung Babylon berhasil menemukan kembali pijakannya di fase konklusi. Fase yang menegaskan, sebesar apa pun kejengahan Chazelle pada wajah suram industri, takkan mengungguli cintanya. Dia, dan para pecinta sinema lain, akan terus setia duduk di ruang gelap, menatap khidmat ke arah layar perak tempat kenangan diabadikan. Sebab di sana, selain menonton para pelakon, seringkali kita pun melihat diri kita sendiri. Melihat wajah yang mungkin hanya kita seorang yang tahu. Sungguh magis bagaimana layar sinema dapat menjadi ruang publik sekaligus ruang intim secara bersamaan. 

11 komentar :

Comment Page:
lakinyaminami mengatakan...

nggak rugi nonton ini langsung di bioskop walau udah resmi di primevideo

Anonim mengatakan...

Bingung gimana caranya org2 yg ngejar itu lolos dari buaya...

LakinyaAyuTing2 mengatakan...

Di bioskop banyak disensor gak sih?

Anonim mengatakan...

Film tentang Industri Film yang paling Jujur, tapi sayangnya tak semua orang suka dengan Kejujuran. One of the Best Films 2022.

Anonim mengatakan...

gue sudah nonton...full di sensor abis di bioskop🤭🤭🤭

Kol Medan mengatakan...

Ending yang mengingatkan pd cinema paradiso

Kidaal mengatakan...

Udah kelar semua belom mas nontonin Film nominee best picture Oscar 2023?? Semoga bisa cepet ada artikel prediksi buat Oscar 2023

Anonim mengatakan...

Maybe buayanya ditembak kan pada punya pistol

Anonim mengatakan...

3 jam bayar tiket full eh di sensor film nya🤭

Anonim mengatakan...

Rasyid belum nonton WOMAN TALKING

Anonim mengatakan...

film jelek ditonton 3 jam di potong lagi scene terbaik