REVIEW - PALM TREES AND POWER LINES

2 komentar

Palm Trees and Power Lines adalah sebuah cautionary tale. Bagi remaja, bagi orang tua, bagi kita semua. Jamie Dack mengadaptasi film pendek berjudul sama buatannya sendiri, untuk memberi peringatan akan risiko menelantarkan remaja bawah umur secara emosional, melalui drama coming-of-age yang mengalun pelan namun menusuk dengan tajam. 

Lea (Lily McInerny), seorang remaja 17 tahun, tengah menjalani sisa liburan musim panasnya. Di rumah, ia tinggal berdua bersama sang ibu, Sandra (Gretchen Mol), yang cuma memedulikan Lea tiap sedang patah hati dan tak memiliki kekasih. Hubungan keduanya renggang, sehingga Lea lebih sering menghabiskan waktu bersama teman-temannya. 

Tapi itu pun tidak mendatangkan kebahagiaan. Lea menjalin hubungan tanpa status dengan Jared (Timothy Taratchila) yang hanya mengincar seks. Semua orang di sekitar Lea mendatanginya cuma saat ingin memenuhi kebutuhan masing-masing. 

Secara fisik, Lea tak ditelantarkan. Segala keperluannya terpenuhi. Tapi soal psikis lain cerita. Hatinya kosong. Sampai terjadilah pertemuan dengan pria berusia 34 tahun bernama Tom (Jonathan Tucker). Tom menyediakan sandaran emosional yang selama ini Lea cari. Bersama Tom, Lea bisa menjalin komunikasi. Sebuah kebutuhan dasar manusia sebagai makhluk sosial. Lea pun jatuh cinta.

Lily McInerny menampilkan debut akting gemilang, memunculkan kepolosan sekaligus kerapuhan remaja pencari kasih sayang, yang membuat kita memahami mengapa dia terjerumus dalam cinta terlarang ini. Mungkin ada juga faktor daddy issue. Lea merasa dibuang oleh sang ayah yang memilih pergi guna tinggal bersama istri barunya. Tom dengan tutur katanya yang mengayomi hadir mengisi kekosongan tersebut. 

Kemudian alihkan perhatian ke Tom, dan kita, sebagai penonton yang tentu bisa berpikir lebih netral ketimbang si protagonis, juga orang dewasa yang lebih waspada, bakal menemukan sederet tanda bahaya dari sosoknya. Di balik tutur kata bijaknya, Tom selalu menyelipkan kalimat-kalimat bernada manipulatif, yang ia samarkan sebagai ekspresi cinta. 

Jonathan Tucker piawai memainkan "monster bertopeng" semacam itu. Ucapan-ucapan bernada posesif dipalsukan melalui gaya bicara lembut, gestur intimidatif dipalsukan sebagai bentuk afeksi. Tengok saat Tom menyentuh wajah Lea di pantai sembari berkata "I don't want you seeing other guys". Penampilan Tucker memungkinkan penonton mengobservasi wajah asli karakternya secara bertahap, sebelum intensi sesungguhnya (yang seharusnya dapat dibaca oleh penonton dewasa dari kejauhan) terungkap.

Jamie Dack, baik sebagai sutradara maupun penulis naskah (bersama Audrey Findlay) menunjukkan kematangan bercerita walaupun ini merupakan film panjang perdananya. Naskahnya luar biasa rapi, pacing tiap adegan pun mengalir begitu mulus. Rasanya seperti sedang diseret secara sukarela oleh sebuah arus. 

Palm Trees and Power Lines bukan suguhan eksploitasi. Lily McInerny sudah berada di usia legal, pun beberapa adegan seksual (termasuk titik balik disturbing di penghujung babak kedua) dijaga agar tidak terlampau vulgar. Bukan berarti filmnya tidak bertaring. Konklusinya menegaskan itu, tatkala dampak dari penelantaran psikis remaja mencapai titik paling berbahaya. 

(iTunes US)

2 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

alur cerita yang bagus, namun sayang...PASTI nggak menarik minat untuk di tonton, kecuali horor, sejelek apapun tetap di produksi...

Nugroho Suhartanto mengatakan...

Wah, mantap! Masuk watch list nih! Thanks reviewnya, bang Rasyid!