REVIEW - PETER PAN & WENDY
Peter Pan & Wendy membuat saya berandai-andai, apa jadinya kalau David Lowery mengadaptasi cerita "si bocah yang menolak tua" secara lepas dan bukan di bawah naungan Disney. Misal sebagai drama coming-of-age alternatif, tanpa dibarengi tuntutan melahirkan aksi ala blockbuster.
Pengandaian tersebut muncul, karena di film Disney keduanya setelah Pete's Dragon (2016) ini, Lowery nampak kurang cakap merumuskan petualangan seru yang jadi menu wajib produk Disney. Tapi di sisi lain, ia punya sensitivitas yang menunjang kekuatan dramatik sebuah cerita.
Alurnya tidak jauh beda dengan Peter Pan versi animasi (1953). Di tengah keraguan meninggalkan rumah untuk tinggal di sekolah asrama yang menandai babak pendewasaan dalam hidupnya, Wendy (Ever Anderson), puteri sulung Keluarga Darling, didatangi oleh Peter Pan (Alexander Molony) dan Tinker Bell (Yara Shahidi), yang selama ini cuma ia kenal dari cerita dongeng. Bersama dua adiknya, Michael (Jacobi Jupe) dan John (Joshua Pickering), Wendy dibawa mengunjungi Neverland tempat anak-anak tidak bertambah dewasa.
Pertama kali menginjakkan kaki di Neverland untuk bertemu para Lost Boys, ada rasa berbeda dibanding saat mengunjunginya di versi animasi. Neverland bukan dunia antah berantah yang asing. Lowery seperti mengajak kita berjalan sebentar mengunjungi bentangan alam di belakang rumah yang biasa jadi lahan bermain anak-anak.
Kostum eksentrik Lost Boys dan tata artistik penghias latarnya masih memunculkan kesan out-of-this-world, namun CGI dipakai seperlunya, melahirkan dunia yang tidak sebegitu berbeda dengan realita. Lowery membangun nuansa yang lebih dekat ke ranah magical realism daripada fantasi biasa. Nuansa yang senada dengan perspektif penceritaan dalam naskah buatan Lowery dan Toby Halbrooks.
Terdapat beberapa penyesuaian di alur, termasuk menghilangkan stereotip rasial bagi Indian. Karakter Tiger Lily (Alyssa Wapanatâhk) pun naik kelas menjadi prajurit tangguh yang menonjol di klimaks alih-alih sebatas damsel in distress. Tapi secara keseluruhan, jalur yang kisahnya tempuh masih serupa dengan versi animasi. Perbedaan terletak di perspektif.
Ambil contoh Captain Hook (Jude Law). Latar belakang sosoknya dimodifikasi agar selaras dengan sudut pandang naskahnya. Di mata Lowery dan Halbrooks, tumbuh dewasa bukan pertanda hilangnya kebahagiaan, melainkan awal petualangan baru yang mesti kita lewati, dengan satu syarat: tumbuhlah dengan baik dan benar.
Selain kemiripan fisik, Alexander Molony memunculkan kepercayaan diri (atau arogansi?) yang membuatnya sempurna memerankan si bocah ajaib. Sebagaimana Law menambah kompleksitas karakter Hook, akting Molony menguatkan perspektif naskahnya terkait Peter Pan. Apakah Peter Pan penyelamat bagi bocah-bocah yang menginginkan kebahagiaan, atau figur manipulatif yang menghalangi perkembangan mereka?
Di departemen penyutradaraan, Lowery makin menegaskan perspektif bahwa pendewasaan juga sebuah petualangan magis. Melalui sekuen flashforward yang singkat tetapi menyentuh, Wendy (dan penonton) digiring untuk tak lagi menyimpan ketakutan pada proses tumbuh kembang, tapi menyambutnya, menyadarinya sebagai babak baru kehidupan yang menyimpan keindahan-keindahan lain.
Poin-poin di atas membuktikan bahwa Peter Pan & Wendy adalah suguhan magical realism yang mumpuni. Sayangnya bukan itu saja tujuan yang ingin dicapai. Film ini juga berusaha menjadi petualangan fantasi penuh aksi khas Disney, dan di situlah ia menemui kegagalan.
Tiap kali menampilkan aksi, khususnya pertarungan Peter Pan melawan Hook, filmnya begitu canggung. Lowery keteteran menangani elemen swashbuckler. Pilihan shot-nya gagal mendukung koreografi adu pedang yang pada dasarnya sudah lemah, penyuntingannya pun menambah kecanggungan yang makin mematikan intensitas. Peter Pan & Wendy berhasil menyalurkan percikan emosi, tapi tampak menyedihkan saat mesti berurusan dengan aksi.
(Disney+ Hotstar)
REVIEW - JIN & JUN
Agar bisa menikmati Jin & Jun, sadarilah bahwa ini merupakan karya Anggy Umbara. Sebagaimana di dua film Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss (2016-2017) dan Si Manis Jembatan Ancol (2019), modernisasi ekstrim tak terhindarkan. Sadari itu, hindari antipati, coba terima berbagai perubahannya dengan pikiran terbuka.
Pondasi ceritanya masih serupa dengan versi sinetron yang tayang dari 1996 sampai 2002, meski kali ini Jun (Rey Bong) berasal dari keluarga miskin sekaligus korban perundungan di sekolahnya. Jun menyukai Sarah (Davina Karamoy), namun hanya bisa memendamnya, sambil berbagi keluh kesah pada dua sahabatnya, Irdan (Alif Rivelino) dan Fachri (Clay Gribble). Hidupnya mengalami titik balik selepas membebaskan sesosok jin sakti (Dwi Sasono) dari dalam kendi.
Di sinilah terletak filter pertama. Kalau bisa menerima tampilan baru Om Jin, besar kemungkinan perubahan-perubahan lain takkan seberapa mengganggu. Wujud asli Om Jin bak modifikasi sosok Ryuk dari Death Note, sedangkan wujud manusianya mengingatkan ke Deatghasm (2015). Karena Anggy sendiri adalah musisi metal, takkan mengejutkan bila film Selandia Baru itu menginspirasinya, termasuk di adegan makan es krim berlatarkan taman.
Di bawah penanganan Dwi Sasono, Om Jin versi baru ini punya tabiat serupa Genie di Aladdin. Eksentrik, menggelitik, doyan pamer, pula imajinatif dalam memanfaatkan kekuatannya. Di beberapa tahun terakhir kita menyaksikan Dwi Sasono coba keluar dari typecast, tapi biar bagaimanapun aset terbesarnya memang kebolehan mengocok perut lewat polah-polah absurd. Om Jin ibarat peran yang ditakdirkan untuk ia bawakan.
Singkat cerita, Jun mulai mengutarakan satu demi satu permintaan untuk memperbaiki hidupnya, dan perlahan naskah buatan Anggy dan Rayhan Dharmawan mengembangkan kisah ke arah yang lebih kompleks dibanding materi aslinya. Pilihan yang akan memecah reaksi penonton. Banyak yang bakal mengaitkannya dengan tendensi "sok asyik" dan "sok nge-twist" seorang Anggy Umbara, tapi mari kembali ke poin di paragraf pembuka mengenai "membuka pikiran".
Ya, kompleksitas tersebut melucuti pesona sarat kesederhanaan ala Jin & Jun (yang juga jadi kekhasan sinetron komedi fantasi 90-an lain). Tidak salah juga bila menganggap humornya hit-and-miss. Klimaks penuh CGI berisi pertarungan monster yang turut jadi cara menyalurkan kecintaan pembuatnya terhadap Dragon Ball pun mungkin bukan bentuk hiburan bagi semua kalangan (walau anggapan kalau pilihan itu berlebihan jelas kurang tepat karena sinetronnya sendiri sudah serba over-the-top).
Tapi bagaimana naskahnya mengembangkan karakter Om Jin beserta tambahan "aturan" terkait permintaan Jun justru menguatkan narasinya. Pertama, Om Jin menjadi tokoh yang utuh. Kesetiaannya pada Jun kini memiliki alasan kuat sekaligus mengandung bobot emosi. Kedua, Jun dibawa melewati proses pendewasaan di mana ia menyadari betapa harta maupun popularitas memang penting, tapi bukan segalanya. Sekali lagi, kuncinya adalah menonton dengan pikiran terbuka, dan kepuasan bakal didapat. Khususnya bagi generasi 90-an sewaktu ending-nya menyiratkan petualangan yang jauh lebih besar.
REVIEW - KHANZAB
Di Makmum (2019) pembahasan mengenai khanzab sempat dimunculkan, sebelum akhirnya terlupakan di tengah kacaunya penceritaan. Saya kira Khanzab bakal memperdalam pembahasan tersebut, mengingat filmnya sengaja menjadikan nama jin yang bertugas mengganggu orang salat itu sebagai judul. Rupanya tidak.
Ditulis naskahnya oleh Anggy Umbara (juga selaku sutradara) dan Dirmawan Hatta (Mangkujiwo, Mumun) berdasarkan cerita buatan Vidya Talisa Ariestya (penulis naskah Makmum) dan Riza Pahlevi (kreator film pendek Makmum), film ini mengambil langkah serupa, di mana eksistensi jin khanzab bukan sesuatu yang substansial.
Berlatar tahun 2000, alias selang dua tahun sejak hebohnya pembantaian dukun santet, Rahayu (Yasamin Jasem) tinggal bersama ibu tirinya, Nuning (Tika Bravani), di ruko peninggalan mendiang ayahnya, Semedi (Rizky Hanggono). Semedi merupakan salah satu terduga dukun santet yang pada 1998 dipenggal di Banyuwangi oleh pria misterius berpenampilan bak ninja.
Status sebagai anak dukun membuat Rahayu kerap mendapat tatapan sinis dari masyarakat sekitar. Tapi bukan itu saja yang mengganggu pikiran Rahayu, karena belakangan ini ia selalu dihantui jin khanzab tiap salat di musala yang dahulu diwakafkan oleh sang ayah.
Sebagaimana Makmum, film ini menunjukkan ketidakmampuan para pembuatnya mengembangkan gagasan yang lebih pas dieksekusi sebagai film pendek menjadi film panjang. Karena khanzab merupakan jin pengganggu salat, maka teror yang dilempar pun sebatas berkutat di aktivitas tersebut. Alhasil tercipta pola repetitif: Rahayu salat, dihantui penampakan, ketakutan, kemudian mengulanginya di esok hari.
Selain repetitif juga bodoh. Kenapa Rahayu ngotot salat di musala itu? Rahayu tak digambarkan sebagai individu luar biasa religius yang mewajibkan diri salat di tempat ibadah. Naskahnya pun luput memberi motivasi lain untuk menjustifikasi tindakannya (misal membuktikan musala itu berhantu bukan akibat praktik perdukunan sang ayah).
Deretan jump scare buatan Anggy Umbara pun tidak membantu mengurangi kebosanan menyaksikan repetisi tadi. Desain serta tata rias mengerikan untuk wajah pocong yang nampak seperti monster disia-siakan oleh deretan trik generik. Meski dibanding horor lokal berkualitas rendah yang tengah membanjiri bioskop, Khanzab setidaknya tampil lebih bertenaga.
Begitulah Anggy. Gayanya selalu berapi-api, walau ada kalanya penyaluran tenaga itu terasa kurang pas. Saya menikmati kebrutalan film ini yang senada dengan tone kelam penuh tragedi miliknya, namun terganggu oleh pemakaian musik bombastis, yang seolah didasari ambisi agar Khanzab tersaji sedramatis dan seepik mungkin.
Sewaktu akhirnya muncul upaya menghilangkan repetisi, naskahnya justru tak lagi membahas tentang jin khanzab (bahkan terang-terangan menyebut bahwa gangguan utama bukan datang dari jin tersebut), lalu berubah bentuk jadi cerita supernatural ala Carrie, atau lebih tepatnya Mangkujiwo, mengingat keterlibatan penulis naskah dan aktris utama film tersebut.
Jajaran pemainnya tampil solid. Kemampuan olah rasa Tika Bravani belum berkurang meski absen sekitar enam tahun, Yasamin Jasem semakin matang menangani peran di film horor, sedangkan Arswendy Bening Swara adalah jaminan kualitas seperti biasa. Khanzab sendiri bukan sebuah bencana. Hanya saja para pembuatnya memilih jalan "curang" daripada mengeksplorasi mitologi, sehingga menontonnya terasa seperti terjebak clickbait.
REVIEW - SEWU DINO
Kimo Stamboel ibarat dokter film horor Indonesia. Beberapa franchise pesakitan telah ia sembuhkan. Ivanna mendongkrak Danur, sedangkan Sandekala membuktikan bahwa Jailangkung masih punya harapan. Di Sewu Dino, sang dokter merengkuh prestasi serupa, bahkan bisa dibilang secara lebih ekstrim.
Sewu Dino bukan sekuel KKN di Desa Penari, tapi ia juga membawa embel-embel "adaptasi utas horor populer buatan SimpleMan". Itulah magnet penarik terbesar bagi penonton awam. Mereka berharap disuguhi parade penampakan yang sama. Di atas kertas, pendekatan brutal ala Kimo bakal sempurna membungkus Sewu Dino.
Lalu muncul twist: Sewu Dino adalah horor slow burn. Tentu warna merah darah masih mewarnai, pun luka-luka khas sang sutradara tetap ditangkap dengan jelas oleh kamera, seolah memastikan penonton tak melewatkan detailnya yang menjijikkan. Tapi landasan utama Sewu Dino adalah atmosfer.
Berlatar tahun 2003, kita diajak berkenalan dengan Sri (Mikha Tambayong), yang demi membiayai pengobatan ayahnya, memutuskan melamar pekerjaan di kediaman Karsa Atmojo (Karina Suwandhi) yang misterius. Tanpa banyak informasi, Sri bersama dua pekerja lain, Erna (Givina Lukitha) dan Dini (Agla Artalidia), dibawa ke kabin tengah hutan. Di sanalah baru terungkap bahwa ketiganya bertugas melakukan ritual basuh sedo.
Ritual tersebut mengharuskan mereka memandikan tubuh Dela (Gisellma Firmansyah), cucu Karsa yang terkena santet, di mana tubuhnya dirasuki jin bernama Sengarturih. Konon santet itu bakal terangkat bila ritual basuh sedo terus dilakukan selama 1000 hari.
Tugas utama tiga protagonisnya adalah menjaga Dela tetap terikat di tempat tidurnya. Ada dua opsi yang bisa diambil. Pertama adalah cara mudah, yaitu membebaskan Dela di paruh awal untuk kemudian memusatkan filmnya pada aksi kucing-kucingan. Kedua adalah cara sulit, yaitu mengekang Dela di mayoritas durasi. Para pembuat Sewu Dino memilih cara kedua.
Agasyah Karim dan Khalid Kashogi selaku penulis naskah bersedia meluangkan waktu merangkai misteri. Isi kepala keduanya bukan dikuasai pertanyaan "Kapan harus memunculkan hantu?", melainkan "Bagaimana mengikat atensi penonton terhadap cerita?". Setiap teror tidak hanya bertujuan menakut-nakuti, pula memancing pertanyaan, mencuatkan rasa penasaran penonton akan kebenaran di balik fenomena mistis yang karakternya hadapi.
Trio Mikha-Givina-Agla juga tampil kompeten dalam menjaga dinamika sewaktu teror absen dari layar. Meski ada kalanya Bahasa Jawa yang mereka ucapkan bakal kurang nyaman di telinga native speaker, tapi keberhasilan mereka menghidupkan suasana melalui interaksi kasual telah membayar lunas kekurangan itu.
Lalu bagaimana dengan kualitas terornya sendiri? Ketimbang penampakan murahan, filmnya disusun berdasarkan satu fakta: Sri, Erna, dan Dini tidak boleh berbuat kesalahan. Satu saja syarat ritual gagal dipenuhi, maut telah menanti. Alhasil intensitas berhasil dibangun. Di satu titik timbul masalah ketika karakternya kehabisan air. Terkesan sepele, namun Sewu Dino mampu menciptakan urgensi dari situasi sederhana tersebut guna memacu jantung penonton.
Atmosfernya tidak kalah mencekam. Ada satu adegan ketika Sri mendapat giliran membasuh Dela. Cuma lewat satu suara lirih, "Mbak...", filmnya memancing teriakan seisi studio. Penonton digiring agar membayangkan berada di posisi Sri. Sendirian di kamar gelap bersama tubuh yang dikuasai kekuatan jahat. Tidak perlu iringan musik berisik atau penampakan muka rusak agar kondisi itu mencekam.
Sayang, tidak semua momen horornya berjalan mulus. Tatkala ia sukses menghantarkan kengerian atmosferik, Kimo justru beberapa kali kepayahan mengemas sekuen bertempo tinggi yang selalu jadi kekuatannya. Kadang pilihan shot-nya kurang mendukung, kadang akibat transisi antar adegan yang dijahit secara kasar sehingga mengganggu aliran intensitas. Babak ketiganya tampil lemah gara-gara dua kelemahan tersebut. Ditambah lagi konklusinya menyisakan rasa "tidak tuntas" karena beberapa poin cerita dibiarkan tak terjawab demi membuka ruang untuk sekuel (Rencananya jagat sinema berdasarkan cerita buatan SimpleMan bakal dikembangkan dari sini).
Tidak masalah. Anggaplah nilai minus di atas sebagai risiko eksplorasi dalam proses belajar. Artinya, selain mengobati kualitas franchise horor, Kimo sadar bahwa sebagai individu ia juga harus terus berbenah dan berkembang. Tapi untuk kali ini, Kimo kembali memantapkan status sebagai dokter film horor tanah air.
REVIEW - CLOSE
Close adalah suguhan unik. Perwakilan Belgia di Academy Awards 2023 ini adalah film queer. Tapi ia bukan membicarakan seksualitas. Bahkan sampai akhir, tidak pernah diungkap apakah hubungan dua karakternya sebatas pertemanan atau bersifat romantis. Status keduanya tidaklah penting.
Dua protagonisnya bernama Léo (Eden Dambrine) dan Rémi (Gustav De Waele). Musim panas jadi saksi keintiman mereka. Keduanya bermain, bahkan bermalam bersama. Kedekatan itu berlanjut saat sekolah dimulai, sampai muncul pertanyaan dari para siswa, "Apakah kalian pasangan?". Tanda tanya yang menjurus ke arah interogasi penuh prasangka serta aroma homofobia.
Rémi tidak ambil pusing, namun Léo merasa risih. Perlahan ia menjauh, berkumpul dengan teman baru, membicarakan sepak bola, pula bergabung di tim hoki es. Léo bagai ingin membuktikan kejantanannya. Lalu di pertengahan durasi, muncul kejutan bak sambaran petir di siang bolong. Sambaran yang menyakitkan sekaligus meremukkan.
Sekali lagi, orientasi seksual Léo dan Rémi tidak penting. Hanya ada satu fakta: Prasangka menghancurkan mereka. Prasangka yang sekilas terdengar seperti rasa penasaran biasa, tapi berujung menghadirkan luka yang luar biasa bagi banyak pihak.
Lukas Dhont selaku sutradara sekaligus penulis naskah (bersama Angelo Tijssens) mengemas filmnya dengan lirih. Kesunyian dipecahkan bukan oleh kebisingan, melainkan bisikan lembut dari mulut karakternya. Hasilnya menghipnotis. Prinsipnya serupa dengan proses komunikasi sehari-hari, di mana atensi lebih mudah didapat saat lawan bicara membisikkan kata-kata tepat di telinga kita.
Akting jajaran pemain mendukung pendekatan di atas. Eden Dambrine mewakili kegamangan individu yang terjebak di tengah kejujuran hati dan norma masyarakat. Émilie Dequenne sebagai Sophie, ibu Rémi, turut menjadi motor emosi melalui upaya si karakter beranjak dari duka. Léo dan Sophie kerap meluapkan jeritan. Lebih tepatnya jeritan hati yang cuma bisa didengar menggunakan empati.
Elemen queer dalam Close juga menyentil soal tuntutan bagi laki-laki untuk meredam luapan emosi. "Laki-laki tidak boleh cengeng" kalau kata orang-orang. Alhasil, sedari kecil laki-laki tak punya cukup ruang untuk berlatih menangani emosi. Dari situlah isu queer dan coming-of-age filmnya bersinggungan dengan mulus. Léo belajar membuka diri, membicarakan perasaannya, kemudian menghadapi duka. Itulah bentuk pendewasaan. Tidak hanya secara biologis, tapi juga psikologis.
Di satu titik lengan Léo patah di sebuah pertandingan hoki. Melihat Léo menangis ketika dipasangi gips, alih-alih memaksa si pasien agar "man up' dan menahan sakit, sang dokter justru berkata, "A broken arm does hurt right?". Memandang luka batin pun semestinya demikian. Kesedihan itu menyakitkan. Berpura-pura tak merasakannya bukan bukti kekuatan atau kejantanan, tapi sebuah tindakan yang menghancurkan.
(Klik Film)
REVIEW - BUYA HAMKA: VOL. 1
Berstatus pembuka dari tiga bagian Buya Hamka yang bakal dirilis bertahap sepanjang tahun 2023, film ini kemungkinan jadi installment paling berisiko, walau berskala terkecil. Jika volume kedua menyoroti konflik pasca kemerdekaan termasuk karir politik Hamka, sedangkan volume ketiga selaku prekuel mengetengahkan proses coming-of-age, maka volume pertama bertujuan membangun penokohan seorang Buya Hamka.
Kisahnya bermula di tahun 1933, ketika Hamka (Vino G. Bastian) dan sang istri, Siti Raham (Laudya Cynthia Bella), menetap di Makassar. Hamka berusaha memajukan Muhammadiyah di sana, sembari menulis beberapa roman, termasuk Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.
Kenapa seorang kiai menulis roman alih-alih buku tentang agama? Jawaban dari pertanyaan itu menjadi pondasi filmnya. Hamka (yang merupakan nama pena, sebuah akronim dari nama aslinya, "H. Abdul Malik Karim Amrullah") paham betapa roman digemari masyarakat luas, sehingga ia memilih berdakwah melalui jalur tersebut. Apa guna dakwah jika sukar diterima orang awam dan hanya bisa menggaet kalangan tertentu? "Hamka bukan ulama kolot", demikian kira-kira poin utama filmnya.
Hasilnya adalah karakter yang dapat memunculkan rasa hormat, bahkan oleh penonton yang belum mengenal sosok Hamka, atau golongan "kurang religius" seperti saya. "Tidak usah mengharamkan apa yang seharusnya tidak haram", ucap Hamka mengomentari perihal umat Islam memakai jas yang kerap dianggap "pakaian kafir".
Hamka teguh dalam berprinsip, namun tidak kaku. Terlihat saat ia hendak dibayar seusai berdakwah. Awalnya Hamka menolak karena enggan menjadikan dakwah sebagai lahan memanen rupiah, sebelum akhirnya menerima (dengan balik memberikan buku) agar bisa menafkahi keluarga. Memegang idealisme bukan berarti egois.
Tapi seperti sempat saya singgung di paragraf pembuka, Buya Hamka: Vol. 1 lumayan berisiko. Pasalnya, Fajar Bustomi selaku sutradara, cenderung bertutur secara lirih. Bukannya tanpa maksud. Cara itu dipakai untuk membangun keintiman. Kita pun lebih sering diajak mengunjungi ruang kerja Hamka di rumah, melihatnya berinteraksi dengan Siti Raham, di mana keduanya saling berbagi pemikiran serta kegundahan.
Ada kalanya muncul kesan syahdu, tapi acap kali filmnya terasa melelahkan, karena pendekatan tersebut luput didukung oleh naskah yang jeli mengolah dinamika. Walau cerdik menyusun penokohan, naskah buatan Alim Sudio dan Cassandra Massardi nampak terbebani keharusan merangkum perjalanan hidup Hamka (penyakit khas biopic). Akibatnya beberapa titik seperti cuplikan sejarah singkat yang tampil sambil lalu tanpa eksplorasi.
Padahal eksplorasi itulah yang berpotensi jadi daya tarik alurnya. Bagaimana Hamka melancarkan ibadah para muslim melalui relasinya dengan Gubernur Nakashima (Ferry Salim)? Ilmu apa yang Hamka pelajari dari ayahnya, Haji Rasul (Donny Damara) sebelum menulis buku? Hal-hal menarik tersebut malah tidak disorot.
Sebaliknya, saya justru menikmati cara naskahnya membagi cerita ke dalam tiga film. Penulisannya kentara sudah didesain demikian sejak awal, termasuk urutan latar waktunya (volume 3-1-2). Kadang naskahnya sedikit membahas peristiwa yang sudah terjadi dalam hidup Hamka, namun baru akan kita saksikan di volume ketiga selaku prekuel. Misal tentang gadis bernama Kulsum (Mawar de Jongh) yang Hamka kenal di kapal. Alhasil, muncul kesan bahwa trilogi ini saling mengisi guna membentuk sebuah perjalanan yang utuh.
Di luar penceritaan, satu departemen yang paling ditunggu (sekaligus dijadikan materi promosi) tentu saja tata rias. Bukan cuma Vino, Laudya Cynthia Bella dan Donny Damara pun "dituakan". Secara tampilan hasilnya patut mendapat pujian, meski tanda tanya tentang apakah prostetik itu membatasi ekspresi aktor masih perlu menunggu hasil di volume kedua untuk memperoleh jawaban pasti. Jika tak memedulikan persoalan tata rias, akting pemainnya memuaskan. Ada kepuasan saat mengingat bahwa Buya Hamka, salah satu ulama terbesar Indonesia, diperankan dengan baik oleh aktor yang angkat nama sebagai pemuda pemberontak yang gemar bertelanjang dada di Realita, Cinta, dan Rock 'n Roll (2006).
REVIEW - RIDE ON
Jackie Chan baru saja menginjak 69 tahun pada 7 April lalu, bertepatan dengan perilisan Ride On di Cina. Fisiknya masih prima untuk ukuran pria setua itu, tapi jelas tak lagi selincah dan segila dulu dalam beraksi. Cepat atau lambat bakal ada film yang dibuat selaku penghormataan bagi perjalanan karirnya. Ride On adalah film tersebut.
Tapi karya terbaru sutradara Larry Yang ini bukan saja surat cinta untuk sang aktor laga. Sekali lagi, cepat atau lambat akan ada yang memberi penghormatan terhadap Jackie Chan, entah dari Larry Yang atau sineas lain. Sosoknya begitu melegenda sebagai bintang. Lalu bagaimana dengan mereka yang tak tersorot cahaya ketenaran?
Di sini Jackie Chan memerankan Lau Luo, seorang stuntperson yang era keemasannya telah lewat seiring pertambahan usia. Dia pun memelihara seekor stunt horse bernama Red Hare. Luo menganggap Red Hare bak anak, di saat hubungannya dengan sang puteri kandung, Xiao Bao (Liu Haocun), merenggang. Bao merasa ayahnya terlalu menenggelamkan diri dalam profesi sehingga lalai meluangkan waktu baginya.
Naskah yang turut ditulis oleh Yang masih melangkah di formula drama keluarga, juga cerita soal hubungan manusia-hewan. Jangan harap menemukan banyak modifikasi. Pengadeganan sang sutradara pun mengikuti pakem standar melodrama. Karakternya menangis di momen dramatis, diiringi musik mendayu-dayu, dan terkadang ditambah gerak lambat.
Klise? Ya. Buruk? Belum tentu. Sebuah gaya menjadi klise karena dirasa efektif sehingga terus-terusan diterapkan. Dramatisasi Ride On memang serba berlebihan, namun tak jarang pendekatan itu ampuh membangun rasa. Larry Yang pun cukup jeli menjembatani emosi penonton dengan Red Hare. Mustahil bagi orang awam memahami apa yang si kuda pikirkan dan rasakan, tapi melalui ketepatan pilihan shot, penonton bisa dibuat meyakini bahwa Red Mare merupakan karakter yang utuh, lengkap dengan emosi layaknya karakter manusia.
Jackie Chan dan Liou Haocun turut tampil apik. Terutama saat dua protagonisnya menonton rekaman aksi Luo sebagai stuntperson di masa jayanya, yang tersusun atas kompilasi adegan-adegan ikonik dari film-film Jackie Chan. Rasa haru yang dimunculkan Chan nampak nyata di situ. Mungkin ia sendiri ikut mengenang memori-memori dari karirnya yang telah berjalan lebih dari enam dekade.
Sebagai drama keluarga, Ride On memang formulaik. Penuturannya juga terbata-bata. Alur kerap melompat dengan kasar, begitu pula transisi rasa. Misal saat Luo dan Bao baru saja berbagi momen hangat di sebuah makan malam, lalu mendadak bertengkar. Sebuah pertengkaran besar tanpa gradasi emosi memadai. Amarah Bao tiba-tiba memuncak, Luo pun tiba-tiba menjadi sosok ayah yang berengsek.
Tapi sebagai surat cinta kepada stunt performer, baik manusia atau kuda, filmnya mampu menawarkan sudut pandang menarik. Luo adalah stuntperson dengan pola pikir konservatif. Baginya, semua aksi harus dilakukan secara sungguhan. Luka parah bahkan kelumpuhan adalah takdir yang mau tidak mau harus dihadapi. Sebuah risiko pekerjaan.
Ride On tidak menyalahkan perspektif di atas. Biar bagaimanapun, efek praktikal termasuk keterlibatan stuntperson memang membuat suatu film tampil imersif. Karir Jackie Chan adalah bukti nyata. Tapi di sisi lain, teknologi modern seperti CGI jangan pula dimusuhi. Ketergantungan terhadapnya memang membahayakan bagi kualitas film, namun bantuan komputer juga berguna mengurangi risiko yang bisa membahayakan keselamatan stuntperson (atau hewan).
Larry Yang menerapkan prinsip serupa saat mengarahkan film ini. Laga yang disuguhkan menggabungkan stunt tradisional dan CGI. Secara garis besar, baku hantamnya masih "sangat Jackie Chan", di mana segala benda dapat dijadikan senjata, sarat gerakan akrobatik, serta dibumbui komedi. Hasilnya tentu tidak semulus karya-karya terbaik Jackie Chan. Trik penyuntingan lebih banyak dipakai. Tapi ketimbang penurunan, saya lebih suka memandangnya sebagai penyesuaian yang perlu dilakukan. Kita tetap berkesempatan melihat Jackie Chan beraksi, sedangkan sang aktor yang mulai dimakan usia tak lagi harus bertaruh nyawa (senada dengan pesan filmnya).
Ride On meninggalkan setumpuk kekurangan, tapi minimal ia berhasil mengingatkan penonton akan eksistensi stuntperson yang kerap terlupakan. Mereka takkan kita temui di karya-karya "berkelas" buatan Tarkovsky, Ozu, atau Kiarostami, tapi mereka adalah bagian ekosistem sinema dengan peranan luar biasa.
REVIEW - MARUI VIDEO
Premis Marui Video mengangkat tentang penyelidikan atas sebuah video barang bukti kasus pembunuhan yang konon menyimpan misteri beraroma mistis. Filmnya berada di titik terbaik tiap memposisikan elemen mistis sebagai hal untuk diselidiki, alih-alih suatu bentuk ancaman sebagaimana kebanyakan horor found footage. Karena saat itulah ia sungguh-sungguh bercerita.
Penyelidikan itu dilakukan oleh seorang reporter bernama Kim (Seo Hyun-woo), yang mempunyai akses ke kantor kejaksaan tempat video itu disimpan. Kabarnya konten video tadi amat brutal sehingga eksistensinya dirahasiakan dari publik. Benarkah sebrutal itu? Sayangnya tidak. Isinya sebatas pasangan kekasih yang menginap di kamar losmen, sebelum si pria menusuk si wanita sampai mati. Berdarah, namun tak seekstrim yang dihebohkan sejak awal durasi.
Walau memang betul jika video tersebut menyimpan misteri. Si pelaku seperti kerasukan, dan di pantulan cermin nampak sesosok hantu pemuda. Kim pun melakukan investigasi dengan tujuan memproduksi dokumenter. Investigasi itu membawanya mengungkap tragedi kelam penuh kejutan yang menimpa sebuah keluarga.
Yoon Joon-hyeong selaku sutradara sekaligus penulis naskah murni mengemas separuh pertama filmnya sebagai investigasi. Hal mistis masih bersifat pertanyaan yang mesti dipecahkan, ketimbang ancaman bagi keselamatan karakternya. Penonton diarahkan untuk memahami bahwa figur hantu atau arwah gentayangan bukan entitas jahat, melainkan kebengisan manusia selaku makhluk jahat yang sebenarnya.
Temponya cepat. Pertanyaan dilempar, jawaban sarat kejutan didapat, pertanyaan baru mencuat. Butuh atensi tinggi dalam menonton agar tak melewatkan informasi penting, dan itu mudah dilakukan, sebab Marui Video cukup terampil mengikat perhatian dengan memancing rasa penasaran. Penonton yang mencari barisan penampakan pun, asal mau berpikiran terbuka dan memberi filmnya kesempatan, takkan mengeluh walau Marui Video sangat jarang melempar jump scare.
Sayang, seperti mulai kehabisan amunisi, paruh kedua Marui Video membawanya beralih ke tontonan horor found footage generik minim kengerian. Diawali upacara pengusiran setan yang berlangsung terlalu lama, sekaligus jadi cara yang terlampau gampang untuk mengungkap tabir misteri (berlawanan dengan teknik investigasi yang dipakai sepanjang durasi).
Begitulah sisi negatif elemen mistis di naskah film horor, yang kerap dipakai sebagai jalan keluar mudah saat si penulis kehabisan ide. Dari situ filmnya runtuh. Penuturan soal "kekejaman yang menyebar layaknya kutukan" berjalan lebih rumit dari seharusnya, sedangkan klimaksnya menggabungkan shaky cam dengan penyuntingan luar biasa kacau yang membuat filmnya makin memusingkan. Setidaknya di paruh awal Marui Video sempat tampil menjanjikan, bak versi Korea Selatan dari Noroi: The Curse.
REVIEW - KUTUKAN CAKAR MONYET
Kalian suka monyet? Kalian suka siluman monyet? Kalian suka melihat siluman monyet bernyanyi? Kalian suka siluman monyet bernyanyi sambil menari? Kalau jawabannya "tidak", berarti kalian harus pikir ulang untuk menonton Kutukan Cakar Monyet. Tapi kalau jawabannya "iya", kalian harus pikir ulang jawaban tersebut.
Filmnya diadaptasi dari The Monkey's Paw buatan W. W. Jacobs. Tidak ada adegan musikal siluman monyet di sana. Bahkan tidak ada penampakan siluman monyet, karena cerita pendek itu lebih kental elemen psikologis ketimbang horor mistis. Beginilah nasib sebuah karya yang masuk domain publik. Ada kalanya kebebasan mengadaptasi melahirkan karya baru dengan kreativitas tinggi, tapi tidak jarang yang hadir justru kengawuran tinggi seperti Kutukan Cakar Monyet.
Menurut jadwal, filmnya diputar pukul 17:15. Saya menunggu agak jauh dari pintu studio. Sampai pukul 17:20 tidak ada pemberitahuan. Karena penasaran, saya pun mendekat, dan ternyata pintu sudah dibuka. Seolah pihak bioskop sendiri tidak tega menyuruh orang menonton film buatan Ferry L. ini.
Film pun dimulai. Sosok yang pertama muncul adalah Arswendy Bening Swara, disusul Unique Priscilla. Keduanya berkelahi memperebutkan cakar monyet, menabrak kaca yang dibuat memakai CGI berkualitas monyet, lalu jatuh dari lantai atas sebuah rumah. Arswendy tewas, Unique nantinya bakal muncul lagi sebagai sesosok mumi. Semua terjadi dalam 30 detik, dan dalam 30 detik itu saya langsung tahu Kutukan Cakar Monyet bukan horor biasa.
Rumah pasutri tragis itu berpindah jadi milik Roy (Oka Antara) dan Amara (Aurelie Moeremans). Roy sedang mengejar proyek besar, sedangkan Amara tengah hamil. Amara adalah yatim piatu. Kini, setelah sukses menikahi pria sukses (kita tidak diberi tahu pekerjaan Amara), dia dipanggil untuk memberi motivasi pada anak-anak panti asuhan tempatnya tinggal dulu. Kejadian tersebut sama sekali tidak punya pengaruh apa pun pada ceritanya.
Intinya, Roy menemukan cakar monyet yang terselip di sofa, kemudian sadar bahwa cakar itu bisa mengabulkan tiga permintaan. Dari mana ia tahu? Suatu malam Roy menonton televisi, dan yang muncul di layar adalah video klip siluman monyet menari sambil menyanyikan lagu tentang kesaktian cakarnya.
Semakin banyak permintaan seseorang dikabulkan, hidupnya akan semakin hancur. Sebuah premis menarik yang W. W. Jacobs pakai untuk menghantarkan teror psikologis mengenai sisi kelam manusia. Kutukan Cakar Monyet menggantinya dengan rangkaian kemunculan siluman monyet berwajah mirip pantat hitam dengan dua mata merah yang bersinar.
Penampakan sang siluman seringkali terasa asal. Bahkan sebelum tahu apa kegunaan cakar itu, Roy sudah dihantui. Jika tujuan siluman monyet adalah mendorong korbannya agar mengucapkan permintaan, bukankah perbuatannya tadi bakal berujung sebaliknya? Mungkin siluman monyet satu ini kurang cerdas. Beruntung, Roy jauh lebih tidak cerdas dan tetap nekat ingin permintaannya dikabulkan.
Kenapa Roy sempat menyuruh sang mantan (Fergie Brittany) meminta ke cakar, padahal dia masih punya jatah dua permintaan? Kenapa seperti ada beberapa menit adegan yang hilang di tengah teror yang terjadi saat Roy menggelar pesta di rumahnya? Kenapa Oka Antara dan Aurelie Moeremans mau menerima tawaran bermain di sini? Apakah bayaran yang diterima sepadan dengan keharusan melakoni adegan-adegan konyol seperti saat Amara diperkosa siluman monyet? W. W. Jacobs mungkin sedang menangis di dalam kuburnya.
REVIEW - AIR
Belakangan ada sebuah tren baru. Daripada biopic konvensional kenapa tidak buat saja cerita mengenai produk yang mendefinisikan sosok itu? Orang bukan tertarik pada Henk Rogers, melainkan permainan Tetris yang ia pasarkan. Air pun sama. Ketika film nama Sonny Vaccaro takkan membuat orang awam menoleh, sedangkan biografi soal Michael Jordan bakal menyulitkan si aktor meniru permainan sang legenda, angkat saja kisah di balik layar tentang merek sepatunya. Pecinta basket atau bukan pasti mengenal Air Jordan.
Berlatar tahun 1984 kala Nike tertinggal jauh di belakang Converse dan Adidas yang mendominasi bisnis sepatu berkat keberhasilan merekrut nama-nama besar di NBA, Sonny Vaccaro (Matt Damon) diberi beban mencari jalan keluar. Masalahnya, Phil Knight (Ben Affleck) selaku CEO enggan menambah suntikan dana. Sampai Vaccaro menggagas ide gila untuk membangun citra Nike berdasarkan satu nama: Michael Jordan.
Masalahnya Jordan merupakan salah satu bakat muda paling diminati, dengan harga kontrak yang sulit dipenuhi Nike. Apalagi sang atlet secara tegas menyatakan kesukaannya pada Adidas. Vaccaro pun menempuh berbagai jalan berisiko guna mendapatkan tanda tangan Michael Jordan, termasuk mengunjungi sang ibu, Deloris (Viola Davis), yang berperan besar dalam pengambilan keputusan puteranya.
Kita semua tahu bagaimana kisahnya berakhir, dan Air tidak memaksa penonton berpura-pura tidak tahu siapa pemenang perlombaan tiga merek sepatu tadi. Walapun wajah Michael Jordan sama sekali tidak diperlihatkan (keputusan sebaliknya dapat mendistraksi cerita, di luar alasan non-teknis lain yang perlu diurus), tapi filmnya menampilkan rekaman nyata aksi Michael Jordan di atas lapangan, hingga tragedi dan berbagai skandal, yang seluruhnya terjadi di masa depan. Bukannya menutupi, Air justru membangun dinamika emosinya dari pemahaman penonton soal perjalanan Michael Jordan. Seolah filmnya berkata, "Lihat, inilah awal dari karir luar biasa itu".
Air memang soal proses menemukan berbagai hal luar biasa. Naskah buatan Alex Convery pun menyertakan banyak momen "eureka!" yang menggugah. Misal saat Vaccaro menjelaskan alasan ia yakin Michael Jordan bakal menjadi atlet basket terbaik pada si bos, atau ketika tim Nike akhirnya mendapatkan jalan keluar nekat terkait aturan ketat NBA soal warna sepatu.
Momen-momen di atas tampil menggugah malah bukan karena adanya dramatisasi menggelora. Ben Affleck yang menduduki kursi sutradara jeli menentukan kuantitas dramatisasi, agar tetap memiliki dampak emosi tanpa harus terasa memanipulasi. Subtil tapi efektif. Air adalah penanda "return to form' Affleck setelah Live by Night (2016). Seperti di tiga karya perdananya, Affleck tidak berupaya tampil stylish. Metodenya mengarahkan jadi contoh nyata "old school filmmaking". Substansi suatu adegan dikedepankan, potensi naskah ditarik keluar, akting pemain dibawa ke titik terbaik.
Jason Bateman menghadirkan penampilan terbaik sepanjang karirnya sebagai Rob Strasser si direktur pemasaran, melalui sebuah momen yang menegaskan bahwa mereka yang menaruh keraguan terhadap langkah nekat Vaccaro memiliki motivasi kuat. Viola Davis lewat kematangan aktingnya menjembatani transisi mulus kisahnya ke arah narasi tentang kesetaraan dunia olahraga. Sementara Matt Damon berperan menghantarkan monolog indah yang jadi klimaks emosi filmnya. Semua berhasil menyentuh hati tanpa dibarengi teriakan atau banjir air mata.
Tentu pada akhirnya Air juga sebuah "film iklan". Bagi produk yang mustahil dijual dengan cara seperti Lego di The Lego Movie, film seperti Air memberi solusi. Sewaktu penonton dibuat meyakini bahwa "do" yang dimaksud dalam jargon "Just do it" adalah "Do the right thing", Air telah mencontohkan bagaimana soft selling mestinya dilakukan.
REVIEW - THE SUPER MARIO BROS. MOVIE
The Super Mario Bros. Movie bakal jadi mangsa empuk untuk diolok-olok. Alih-alih cerita solid, alurnya diisi kompilasi fan service yang bertujuan membangkitkan nostalgia. "Film lebih dari sekadar media hiburan tanpa bobot", mungkin begitu ujar para penentangnya. Tapi film sendiri bukan cuma karya seni berkelas yang mengalienasi orang awam atau anak-anak. Keduanya sama-sama harus eksis demi terciptanya keseimbangan ekosistem. Di situlah The Super Mario Bros. Movie berperan.
Ceritanya sudah kita hafal bersama. Bowser (Jack Black) berambisi menaklukkan seluruh kerajaan. Semua tidak berdaya di hadapannya. Berkat isian suara Black, Bowser nampak intimidatif, tapi masih tetap punya sisi komedik supaya tak terlalu mengerikan bagi penonton anak. Sudah pasti di sini Black turut memamerkan kemampuannya bernyanyi.
Target Bowser berikutnya adalah Kerajaan Jamur. Bukan sebatas untuk dihancurkan, karena si Raja Koopa berambisi menjadikan ratu kerajaan tersebut, Peach (Anya Taylor-Joy), sebagai istrinya. Tapi Peach bukan lagi damsel in distress yang pasif dan cuma menunggu diselamatkan. Dia adalah pemimpin sekaligus petarung tangguh. Secara cerdik, naskah buatan Matthew Fogel memodifikasi (bukan mengganti) formula cerita gim Super Mario. Simak third act-nya sebagai contoh terbaik.
Jika Peach tak perlu diselamatkan, bagaimana dengan tukang pipa jagoan kita? Mario (Chris Pratt) punya hal lain untuk diselamatkan, yaitu dirinya sendiri. Dia selalu diremehkan, bahkan oleh keluarganya. Hanya sang adik, Luigi (Charlie Day), yang setia memberi dukungan. Sampai sebuah kecelakaan membuat Luigi jatuh ke tangan Bowser, dan Mario pun terseret ke tengah konflik antar kerajaan di sebuah dunia asing.
Memang betul bahwa cerita The Super Mario Bos. Movie amat tipis. Mario berlatih di bawah bimbingan Peach, meminta bantuan Kerajaan Kong, sebelum terlibat konfrontasi final melawan Bowser. Tipisnya cerita membuatnya kurang bisa mengikat atensi, terutama di paruh awal. Pun walau tersimpan setumpuk potensi, naskahnya luput mengeksplorasi mitologi dunianya.
Filmnya sadar betul kalau ia tidak dibarengi cerita kokoh. Durasi yang hanya 92 menit tak memberi ruang bagi rasa bosan untuk mengakar terlalu lama. Kelemahan penceritaan dibayar lunas oleh kejeliannya menyatukan elemen-elemen dari berbagai judul seri Super Mario. Hal-hal kecil seperti pemakaian musik-musik ikonik yang mengembalikan kenangan masa kecil, maupun humor referensial ("Our princess is in another castle" jadi favorit saya) jelas banyak bertebaran.
Tapi pencapaian terbaik filmnya adalah keberhasilan melempar fan service bagi pemain gimnya dari tiap generasi, khususnya dalam bentuk desain set piece aksi. Mana pun judul yang kalian mainkan, entah seri utama Super Mario Bros. segala era, Mario Kart, Luigi's Mansion, atau bahkan Donkey Kong, bakal diwakili.
Dihiasi visual yang tak cuma kaya warna tapi juga bisa nampak megah kala dibutuhkan seperti di sekuen pembukanya yang epik, duo sutradara Aaron Horvath (Teen Titans Go! To the Movies) dan Michael Jelenic mampu membuat filmnya bertenaga. Menonton The Super Mario Bros. Movie terasa seperti mengikuti upaya memecahkan rekor speedrunning yang berlangsung cepat dan seru. Caranya menyelipkan beberapa lagu populer mungkin kurang mulus, namun siapa bisa menolak pesona Take On Me (entah kenapa selalu memunculkan rasa haru di film apa pun) dan Battle Without Honor or Humanity?
Kebut-kebutan khas Mario Kart disulap jadi semacam versi kartun ringan dari Mad Max: Fury Road, di mana padang gurun digantikan lintasan pelangi, sedangkan kombinasi antara Mario dengan Donkey Kong (Seth Rogen) bakal memancing senyum lebar para penggemar. Terpenting, aksinya tidak melupakan hati, sebagaimana diperlihatkan di pertarungan penutupnya. The Super Mario Bros. Movie adalah hiburan menyenangkan yang hanya bakal dibenci para pembenci kesenangan.
REVIEW - THE QUIET GIRL
The Quiet Girl bukan cuma bercerita tentang kasih sayang, perwakilan Irlandia di Oscar 2023 ini (berhasil meraih nominasi) juga terlihat, terdengar, dan terasa seperti sebuah ungkapan kasih sayang. Mengadaptasi cerita pendek Foster buatan Claire Keegan, Colm Bairéad selaku sutradara sekaligus penulis naskah telah melahirkan karya spesial yang mampu menerjemahkan perihal abstrak tersebut.
Cáit (Catherine Clinch) adalah si gadis pendiam yang dimaksud judul filmnya. Sang ayah (Michael Patric) menyebutnya "the wanderer" karena Cáit kerap pergi menyendiri entah ke mana, entah pula melakukan apa. Sebutan yang menunjukkan bagaimana sebagai orang tua, ia gagal mengenali si buah hati.
Orang tua Cáit memang cenderung menelantarkan anak-anak mereka. Cáit selalu diam karena tak ada upaya menjalin komunikasi. Bahkan di awal film kita melihat saudara-saudara Cáit yang biasanya ribut mendadak diam sewaktu ayah mereka muncul. Bukan karena takut, tapi inilah gambaran keluarga disfungsional yang tak tahu mesti bersikap seperti apa di hadapan satu sama lain.
Ibu Cáit (Kate Nic Chonaonaigh) tengah mengandung lagi, walau kondisi finansial keluarga sedang terjepit. Apa jalan keluar yang diambil? Menitipkan Cáit ke sepupunya, Eibhlín (Carrie Crowley), dan si suami, Seán (Andrew Bennett), selama musim panas. "Dia akan membebani kalian", ucap ayah Cáit pada pasutri paruh baya yang tidak mempunyai anak tersebut.
Orang tua membuat anak, membuatnya menghirup udara dunia, menganggapnya beban, lalu membuangnya. Babak pertama The Quiet Girl terasa menyakitkan karena membawa penontonnya menyaksikan si karakter utama melalui semua itu. Rasa sakit tersebut berubah ketika Cáit mulai menetap di kediaman bibinya.
Eibhlín menaruh perhatian begitu besar pada keponakannya. Bagi Cáit itu adalah pemandangan asing. Bagaimana mungkin saling menyayangi dan tak menyimpan rahasia? Bagaimana mungkin sebuah rumah terasa hangat? Cáit menemukan dunia baru. Sebuah dunia yang tersusun atas kasih sayang.
Rasio 1.37 : 1 membingkai cantik gambar-gambar hasil tangkapan kamera Kate McCullough yang mendefinisikan "memori musim panas". Serupa cahaya matahari terik yang tidak pernah terlalu menyengat karena terhalang pepohonan rimbun, Cáit merasakan kehangatan yang akhirnya memunculkan senyum di bibirnya. Kata-kata dari mulut Eibhlín yang penuh cinta terdengar sama merdunya dengan musik garapan Stephen Rennicks.
Pengarahan Bairéad merangkum hal-hal di atas. Sang sutradara tidak hanya memaparkan kehidupan protagonisnya. Seolah, ia menjadikan Eibhlín (dan nantinya Seán) sebagai perpanjangan tangan untuknya menyampaikan kasih sayang kepada Cáit. Bairéad memedulikan Cáit, sehingga filmnya sendiri bak sebuah ungkapan kasih sayang.
Naskahnya tidak kalah solid. Bairéad menjadikan dinamika Cáit dengan kedua "orang tua barunya" sebagai metode eksplorasi yang efektif. Menonton The Quiet Girl ibarat proses menyusun puzzle. Secara perlahan, gambaran utuh mengenai tiap karakternya, baik Cáit maupun Eibhlín dan Seán mulai nampak. Apa saja bentuk penelantaran yang dilakukan orang tua Cáit; mengapa Seán awalnya bersikap dingin sedangkan Eibhlín sebaliknya, sangat protektif; dan lain-lain.
Konklusinya menyentuh. Luar biasa menyentuh. Sewaktu air mata jatuh, itu bukan disebabkan dramatisasi berlebihan, namun karena sudah sewajarnya muncul dampak emosional besar, saat cinta yang selama ini tertahan akhirnya bisa diluapkan. Ada yang mendapatkannya untuk pertama kali, ada pula yang menemukannya kembali.
(Klik Film)
REVIEW - TETRIS
Bagaimana bisa menyusun keping-keping geometri terasa adiktif bahkan menegangkan saat dimainkan? Begitulah Tetris, dan film garapan Jon S. Baird (Filth, Stan & Ollie) yang menyoroti perebutan lisensi permainan ciptaan Alexey Pajitnov tersebut dibuat dengan prinsip serupa. Bagaimana bisa sebuah film biografi bergerak seseru suguhan thriller?
Tetris bukan biopic atau film historis pertama yang mendobrak pakem konvensional. Jauh dari itu. Tapi ia bukan Argo (2012) yang basis ceritanya memang kental unsur spionase. Tetris adalah intrik bisnis. serta legalitas. Sama seperti permainannya, kisah film ini "semestinya" membosankan.
Alkisah, pengembang gim bernama Henk Rogers (Taron Egerton) menemukan Tetris buatan Alexey Pajitnov (Nikita Efremov). Seketika ia yakin Tetris bakal sukses besar dan menyelamatkan bisnisnya yang di ujung tanduk. Henk yang tinggal di Jepang bersama sang istri, Akemi (Ayane Nagabuchi), yang juga CFO perusahaannya, coba mengamankan lisensi permainan itu, baik untuk arcade, konsol, dan nantinya handheld.
Alurnya dibagi ke dalam babak-babak yang dinamai "Level 1", "Level 2", dan seterusnya. Seolah khawatir penonton akan lupa kalau filmnya membicarakan tentang gim. Beberapa level awal mempertemukan Henk dengan banyak pihak, dari perwakilan Nintendo, sampai Mirrorsoft yang dipunyai Robert Maxwell (Roger Allam) dan puteranya, Kevin (Anthony Boyle). Ada pula Robert Stein (Toby Jones) yang memegang lisensi Tetris.
Sampai di sini, garis besar kisahnya masih berpijak pada realita, namun kemasan naskah buatan Noah Pink, juga pengarahan Baird, menekankan pada daya hibur. Temponya cepat, mungkin sedikit terlalu cepat sampai terkadang penonton tak diberi cukup ruang meresapi rasa maupun informasi yang kisahnya tawarkan. Tapi itu bukan masalah besar, sebab alih-alih biopic konvensional yang merangkum detail riwayat hidup tokohnya bak buku sejarah, Tetris ingin menjadi hiburan ringan.
Memasuki pertengahan durasi, Henk menginjakkan kaki di Uni Soviet yang tengah memanas (Pernyataan "communism is dying" bakal sering terdengar) guna mendapatkan lisensi handheld bagi Tetris. Kedatangan Henk tidak disambut baik oleh pemerintah setempat, termasuk Valentin Trifonov (Igor Grabuzov) selaku menteri luar negeri.
Henk juga menemui Alexey, bahkan akhirnya berteman akrab. Esensi permainan Tetris adalah soal "menghancurkan", dan itu pula yang karakternya lakukan. Henk dengan tembok-tembok kecurangan yang menghalangi bisnisnya, Alexey dengan ketidakadilan para pemegang kekuasaan yang mencekik rakyat. Apabila pemain Tetris meruntuhkan tumpukan tetromino, maka protagonis film ini meruntuhkan korupsi.
Dari situ Tetris melaju bak thriller spionase, dengan cara menambahkan bumbu berupa sentuhan fiksi. Pada kenyataannya tidak ada ancaman dari Trifonov (Walau pemerintahan Mikhail Gorbachev memang benar-benar melakukan pengawasan), dan tentu saja tidak ada kejar-kejaran mobil di klimaks. Bumbu-bumbu itu efektif menyulap negosiasi bisnis yang di atas kertas terdengar membosankan jadi suatu tontonan menegangkan.
Ringan, kental selipan humor, pun semakin menyenangkan berkat iringan musiknya. Lorne Balfe mampu mengadaptasi Korobeiniki alias lagu tema Tetris jadi musik yang dapat menemani aneka situasi, sedangkan penggunaan lagi The Final Countdown makin menegaskan tone seperti apa yang para pembuat filmnya ingin munculkan.
Upaya membuat filmnya tampil menyenangkan tidak selalu berhasil. Pemakaian estetika ala video game memang menambah variasi visual, tapi ada kalanya Tetris berusaha terlalu keras. Efek suara yang sempat terdengar saat Henk berjalan, hingga gaya piksel yang menghiasi sekuen kejar-kejaran mobilnya, terasa dipaksakan. Setidaknya kekurangan itu dipicu oleh usaha untuk menjauh dari formula biografi Hollywood yang semakin usang.
(Apple TV+)
REVIEW - KILL BOKSOON
Sekuen pembuka Kill Boksoon menampilkan yakuza bernama Shinichiro Oda (Hwang Jung-min) terbaring dalam kondisi nyaris telanjang di tengah jalan. Dia jadi target Gil Bok-soon (Jeon Do-yeon) si pembunuh bayaran nomor satu. Shinichiro mempersenjatai diri dengan katana legendaris, sedangkan Bok-soon memakai kapak murah dari Walmart. Sebelum saling bunuh, mereka mengobrol santai sambil merokok. Saya pun menghisap sebatang rokok sambil berujar, "Begini seharusnya sebuah film dibuka".
Banyak film luput menggaet atensi penonton sejak menit pertama, tapi Kill Boksoon berbeda. Semua keunggulannya dituangkan di situ, mulai dari status sebagai tontonan penuh bintang, hingga aksi keren nan brutal. Tidak kalah penting, kita langsung tahu akan menghabiskan 137 menit durasinya bersama orang seperti apa.
Bok-soon adalah pembunuh hebat, dan ia menyadari itu. Walau tak lagi muda, kepercayaan dirinya soal merenggut nyawa target masih belum surut. "Puteriku cantik, sama sepertiku", katanya sebelum kemudian menawarkan pedang yang lebih tajam untuk dipakai sang lawan. What a woman!
Sebagai pembunuh berpengalaman, Bok-soon mampu membayangkan langkah apa yang mesti diambil dalam pertarungan beserta segala risikonya (Dimanfaatkan oleh Byun Sung-hyun selaku sutradara guna melahirkan banyak momen imajiner brutal). Tapi kemampuan itu tidak berguna di hadapan puteri remajanya, Gil Jae-young (Kim Si-a). Apa pun tindakan yang diambil selalu berujung kegagalan. Hubungan keduanya renggang, membuat Bok-soon kesulitan menciptakan work-life balance.
Byun Sung-hyun yang turut menulis naskahnya, membangun dunia di mana pembunuh bayaran bekerja di bawah perusahaan. Perusahaan tempat Bok-soon bekerja yang dipimpin oleh Cha Min-kyu (Sol Kyung-gu) dan Cha Min-hee (Esom) memegang kuasa tertinggi. Merekalah yang menetapkan berbagai aturan untuk dipatuhi para pembunuh.
Bangunan dunia tersebut kentara mengambil inspirasi dari John Wick, sedangkan dinamika si protagonis dengan orang-orang di sekitarnya bakal mengingatkan ke Kill Bill (Judulnya pun mirip). Hasilnya adalah film aksi yang punya gaya serta identitas yang menjauhkannya dari kesan monoton.
Sesekali daya pikatnya memang memudar ketika merambah elemen drama yang bicara soal jati diri sembari mempertanyakan, "Seperti apa ibu yang baik?". Meski bermuara di konklusi yang cukup berani lewat caranya memandang self-love (Tokoh utamanya adalah pembunuh, pun sang puteri memiliki tendensi ke arah sana), Byun Sung-hyun nampak belum terlalu piawai menyulut dampak emosional.
Bukan berarti seluruh momen dramatiknya hambar. Jeon Do-yeon dengan dualitas aktingnya masih sanggup memantik rasa. Selain tampil badass memerankan pembunuh ulung, ia pun jago mengambil hati penonton sebagai sosok ibu yang mengalami benturan dalam upayanya membahagiakan anak. Pencapaian serupa belum lama ini juga ia hadirkan di drama Crash Course in Romance.
Tapi tentu saja gelaran aksi jadi keunggulan utama filmnya. Banyak baku hantam memukau, tapi pertarungan di bar jadi yang paling menonjol. Bar itu merupakan tempat berkumpul para pembunuh, termasuk Han Hee-sung (the "always great' Koo Kyo-hwan), junior Bok-soon di perusahaan.
Di satu titik, bar yang biasanya jadi tempat beramah-tamah itu dipakai sebagai panggung pertumpahan darah. Penyutradaraan Byun Sung-hyun sangat dinamis, penuh gaya, khususnya ketika kamera berputar 360 derajat guna menangkap dua pertarungan yang berlangsung di satu waktu. Seru, brutal, bahkan masih sempat menyelipkan humor, andai ditayangkan di layar lebar, sekuen ini bakal disambut meriah oleh penonton.
(Netflix)
2 komentar :
Comment Page:Posting Komentar