REVIEW - SPIDER-MAN: ACROSS THE SPIDER-VERSE

21 komentar

Hampir tiap minggu film bagus bermunculan. Kemudian tiap beberapa bulan, rilis film yang disebut "spesial" dan menjadi calon unggulan di musim penghargaan. Tapi film seperti Spider-Man: Across the Spider-Verse hanya muncul beberapa tahun sekali. Film seperti apa? Masterpiece.

Into the Spider-Verse (2018) mengingatkan adanya potensi tanpa batas, baik dalam animasi sebagai medium, maupun multiverse sebagai pondasi cerita. Across the Spider-Verse mengeksplorasi kebebasan ruang gerak itu secara lebih jauh. Alhasil ia pun memiliki segalanya. Visual indah, cerita emosional, hingga fan service selaku pemanis yang tak mendistraksi.

Kali ini kita memulai perjalanan dari semesta Gwen Stacy (Hailee Steinfeld) untuk mempelajari luka si Spider-Woman, yang selepas kematian Peter Parker, justru jadi target buruan sang ayah dari pihak kepolisian. Sebagaimana disampaikan Peter B. Parker (Jake Johnson), hampir seluruh varian manusia laba-laba dikenal jenaka. Tapi benang merah di antara mereka malah berwujud duka. Selalu ada kehilangan. 

Biarpun masih dihiasi ragam visual warna-warni, tone milik Across the Spider-Verse memang cenderung melankolis, lebih kelam dibanding film pertama. Tidak banyak yang dapat memahami pergulatan batin para manusia laba-laba dengan identitas ganda mereka, apalagi saat kehilangan orang tercinta senantiasa mengikuti. 

Karena itulah hubungan Gwen dan Miles Morales (Shameik Moore) punya bobot emosi. Bukan pertemanan atau romantika biasa, melainkan proses menemukan sosok yang dapat mengangkat masing-masing individu dari kesepian. Keduanya bertemu lagi saat Gwen mengemban misi rahasia untuk memburu The Spot (Jason Schwartzman), supervillain dengan kemampuan membuka portal melalui noda hitam di tubuhnya, yang kebetulan juga tengah Miles hadapi. 

Miles dan Gwen berayun melintasi kota, kemudian duduk berdua di puncak gedung dalam posisi terbalik, sembari mengucapkan kata-kata hangat dari naskah buatan Phil Lord, Christopher Miller, dan David Callaham. Momen tersebut di-animasi-kan dengan cantik, namun "rasa" sesungguhnya berasal dari subteks yang tersimpan. Dua manusia yang menolak terikat gravitasi bumi, justru terikat kuat oleh hati masing-masing. 

Oh, tapi bagaimana Gwen bisa mengunjungi semesta Miles? Semua berkat grup bernama Spider-Society ciptaan Miguel O'Hara (Oscar Isaac) yang mengemban misi melindungi multiverse. O'Hara membuat gelang yang memungkinkan anggotanya melintas antar semesta dengan bebas. Tapi mengapa si penyandang nama Spider-Man 2099 nampak begitu membenci Miles? Jawabannya hadir dalam satu dari beberapa twist yang filmnya siapkan. 

Across the Spider-Verse memang menyimpan banyak kejutan di balik alur ambisiusnya. Seberapa ambisius? Meski bukan patokan utama, durasi 140 menit miliknya (animasi Hollywood terpanjang sampai saat ini) bisa memberi sedikit gambaran. Elemen multiverse bukan sekadar hiasan atau modus melempar easter eggs (walau tetap ada ruang bagi beberapa fan service yang ampuh memancing sorakan penonton), tapi dijadikan alat bercerita perihal berbagai hal, salah satunya takdir manusia. Akankah kita tunduk begitu saja pada "suratan", ataukah ada jalan yang bisa kita ciptakan? 

Bukan protagonisnya saja yang berproses. The Spot mengawali karir kriminalnya sebagai lelucon. Miles menganggapnya "villain of the week" yang dapat dikalahkan di kala senggang. Kekuatannya pun nampak konyol. Tapi seiring waktu, ia pantas disebut sebagai salah satu villain paling mengerikan dalam film Spider-Man, baik animasi atau live-action. 

Cantik luar-dalam. Demikianlah Across the Spider-Verse. Visualnya yang sarat variasi bahkan sampai ke hitungan frame (banyak pernak-pernik bersifat "blink-and-you'll-miss-it") turut membawa detail informasi. Misal terkait penokohan, yang salah satunya nampak dari bagaimana Spider-Punk (Daniel Kaluuya) dihidupkan memakai gaya ala visual art subkultur punk.

Begitu pula emosi. Visualnya ikut menyampaikan emosi. Sapuan cat air di semesta Gwen yang nuansanya mengikuti dinamika batin karakter adalah favorit saya. Trio sutradaranya, Joaquim Dos Santos, Kemp Powers, dan Justin K. Thompson, paham betul betapa goresan warna di medium animasi bukan sebatas pamer gaya, namun wujud ekspresi rasa. 

Lalu musik gubahan Daniel Pemberton datang untuk menyempurnakan Across the Spider-Verse sebagai sajian audiovisual yang lengkap. Ada momen di babak ketiganya yang tampil mencekam berkat ketepatan isian musik. Karena sama seperti rekan-rekannya di departemen visual, Pemberton menolak terpaku pada satu bentuk. Dibiarkannya nada-nada bergerak mengikuti ke mana rasa berjalan. 

Bisakah Beyond the Spider-Verse tahun depan menandingi pencapaian "kakaknya"? Butuh perjuangan ekstra serta hasil luar biasa agar bisa melakukannya. Tapi sekali lagi, seri Spider-Verse adalah soal ketiadaan batasan. Ketika rasa-rasa tadi kembali melebur, mungkin saja Miles bakal terbang lebih tinggi lagi.  

21 komentar :

Comment Page:

REVIEW - SCREAM VI

15 komentar

Tidak ada seri slasher dengan konsistensi sebaik Scream, di mana installment terlemahnya (Scream 3) pun masih menyuguhkan hidangan pembantaian solid. Semua berkat keseimbangan. Tatkala slasher lawas luput memperhatikan cerita, sedangkan judul-judul modern cenderung melupakan cara gila dalam mencabut nyawa, Scream menawarkan semuanya. 

Scream VI pun demikian. Body count serta variasinya ditingkatkan, sementara formula klasiknya coba diutak-atik. Jika di Scream (2022) Tara (Jenna Ortega) mendobrak pakem ketika berhasil selamat dari kejaran Ghostface di sekuen pembuka, kali ini Laura (Samara Weaving) tidak bernasib sama. Tapi kematiannya segera disusul oleh momen yang menegaskan bahwa film keenam ini bukan sekadar pengulangan, dan Scream senantiasa berinovasi.

Para penyintas film sebelumnya kembali dan menyebut diri mereka sebagai "core four". Tapi ketika Tara, Chad (Mason Gooding), dan Mindy (Jasmin Savoy Brown) nampak beranjak dari trauma mereka, tidak dengan Sam (Melissa Barrera). Selain masih melihat sosoknya, Sam khawatir sisi haus darah sang ayah menurun kepadanya. Apakah itu internalisasi dari tudingan publik bahwa ialah pelaku pembantaian di Woodsboro sesungguhnya, atau Sam memang menyimpan tendensi sebagai pembunuh?

Sampai kapan pun Sidney (Neve Campbell) adalah protagonis terbaik Scream, namun harus diakui, ambiguitas moral Sam membuatnya lebih sejalan dengan modernisasi yang franchise-nya tuju. Itulah pencapaian terbesar Scream VI. Sewaktu jajaran generasi barunya merupakan titik lemah di tengah penghormatan bagi heroisme Sidney-Gale-Dewey tahun lalu, kali ini mereka telah menjadi karakter yang utuh. 

Naskah buatan James Vanderbilt dan Guy Busick mengembalikan ikatan kuat antar penyintas, dalam kisah soal sekumpulan muda-mudi rapuh yang berbagi luka dan trauma. Kesan tersebut terakhir kali muncul di Scream 2 (1997), sebelum pelan-pelan lenyap karena tokoh-tokohnya semakin ahli dalam menangani teror Ghostface. Tentu akting kuat, terutama dari Melissa Barrera dan Jenna Ortega, juga berkontribusi. 

Di sinilah absennya Sidney mungkin patut disebut "blessing in disguise". Sekali lagi, Sidney adalah protagonis terbaik Scream, pun kembalinya si final girl legendaris di installment mendatang akan selalu disambut, namun sebagaimana telah nampak di film kelima, setumpuk pengalaman Sidney menghadapi Ghostface membuatnya terlampau hebat untuk ambil bagian. Sehingga pilihan membatasi porsi Gale (Courteney Cox), yang dalam kemunculan singkatnya bisa memojokkan sang pembunuh, jadi keputusan tepat.

Proses mengoper tongkat estafet turut terjadi di balik kamera. Duo Matt Bettinelli-Olpin dan Tyler Gillett yang kembali menduduki sutradara telah sepenuhnya lepas dari bayang-bayang Wes Craven. Disokong naskah yang menyediakan variasi sekuen pembunuhan kreatif, pula musik bombastis gubahan Brian Tyler dan Sven Faulconer, kedua sutradara terbukti piawai mengolah sekuel slasher yang meningkatkan skala para pendahulunya. 

Kesan "lebih besar" begitu terasa ketika tempat publik tidak lagi berstatus zona aman". Ghostface bisa menghabisi korban di mana pun, siapa pun, berapa pun jumlahnya. Sedangkan walau tetap dibarengi sentuhan humor gelap, pendekatannya lebih menekankan pada pembangunan intensitas (sekuen kejar-kejaran yang berpuncak di tangga jadi contoh terbaik). 

Bukannya Scream VI tanpa kelemahan. Durasi 122 menit (paling panjang di serinya) berujung menyisakan setumpuk ruang kosong yang mubazir, seiring durasi modifikasi formulanya agak mengendur sehingga alurnya kembali menjamah pola-pola familiar, pun penambahan body count agak percuma sewaktu filmnya terlalu bermain aman dalam hal membunuh tokoh utama (meski poin ini juga upaya mendobrak pakem). 

Tapi dengan keseimbangan antara penceritaan dengan serangkaian banjir darah brutal (termasuk klimaks memuaskan yang mewakili proses karakternya bangkit dari ketakutan), Scream VI memberi contoh bagaimana semestinya slasher beradaptasi di era modern tanpa melupakan akarnya.

(Catchplay+) 

15 komentar :

Comment Page:

REVIEW - JIN KHODAM

16 komentar

Menduetkan Dedy Mercy (Hagesu, Pelet Tali Pocong) dan Tema Patrosza (Tumbal: The Ritual, Sakral) di kursi sutradara, premis beraroma religi usang, ditambah deretan materi promosi medioker, aroma keburukan tercium kental dari Jin Khodam. Sampai muncul twist: filmnya solid. 

Saya takkan menyebutnya "keren". Tidak, Jin Khodam masih sangat jauh dari status tersebut. Tapi ia bukan horor asal jadi yang cuma peduli melempar penampakan dan terlalu malas merangkai cerita. Bahkan kalian takkan menemukan jumpscare konvensional di dalamnya. 

Bagas (Boy Hamzah) memutuskan pulang dari pesantren guna memenuhi permintaan sang ibu (Ayu Dyah Pasha), dan mendapati kampungnya sudah terjerumus terlalu jauh ke dalam jurang maksiat. Di bawah kekuasaan Wirya (Ray Sahetapy), aliran air wudu berganti air tuak, uang dihamburkan di meja judi ketimbang kotak infak, dan suara pesta menggantikan lantunan ayat suci. 

Wirya makin ditakuti karena semua pihak berada di belakangnya, baik pemerintah desa maupun dukun bernama Kliwon (Egy Fedly). Bagas yang berusaha menyadarkan warga justru berakhir kehilangan nyawa, dibunuh oleh Wirya beserta anak buahnya. Informasi ini bukan spoiler, sebab trailernya telah menjadikan itu sebagai jualan utama. 

Satu hal yang tidak muncul di trailer adalah fakta bahwa kematian Bagas baru terjadi tatkala durasi menginjak satu jam (dari total 96 menit). Sebelumnya, naskah buatan Imam Salimy (Kukira Kau Rumah) dan Ahmad Madani mengambil opsi yang seolah tabu bagi kebanyakan horor kita: bercerita.

Bagaimana upaya Bagas memperbaiki moral desa, tindakan Wirya untuk menghalangi itu, hingga rahasia sang protagonis yang pelan-pelan diraba oleh Kliwon, jadi elemen-elemen penyusun sejam pertama. Bukan cerita yang seberapa mengikat, pun selain identitas seorang pria berambut putih, naskahnya minim misteri untuk memancing rasa penasaran, namun penuturannya cukup nyaman diikuti karena mengalir dengan rapi. 

Penampilan beberapa pemainnya turut membantu menjaga atensi penonton. Boy Hamzah sebagai pemuda ahli agama karismatik yang tidak kaku, dan Ray Sahetapy dengan kegemarannya meneriakkan "Sundal!" jadi penggerak utama. 

Bukan hiperbola saat saya menyebut Jin Khodam tidak punya jumpscare konvensional, terutama di 60 menit pertama. Tetap ada segelintir penampakan, namun tujuannya bukanlah memancing rasa kaget atau mengulur durasi, melainkan menjaga agar penonton tidak lupa kalau sedang menyaksikan film horor (salah satu aturan tak tertulis bagi pembuat horor bergaya alternatif). 

Bisa dibayangkan, di banyak horor lokal medioker, momen-momen seperti penampakan genderuwo bermata merah bakal selalu dibarengi hentakan musik berisik. Di sini, Dedy dan Tema berhasil menahan diri, paham bahwa tak semua peristiwa aneh mesti dijadikan alat penggedor jantung. 

Pendekatan itu dipertahankan saat memasuki 30 menit terakhir, di mana kuantitas terornya berlipat ganda, meski kalau membicarakan kualitas, kengeriannya tidak pernah mencapai titik tertinggi. Belum maksimalnya penggunaan bel sepeda Bagas selaku media pembangun atmosfer, pula adegan kematian yang masih canggung jadi beberapa penyebab. Andai wujud si jin khodam lebih "grounded" alih-alih genderuwo CGI, bisa jadi hasilnya jauh lebih menyeramkan.

Babak ketiganya membawa penonton pada misteri terbesar, "Bagaimana Bagas dapat hidup kembali?". Presentasinya lumayan menyita perhatian, tapi sayang, naskahnya enggan memberi jawaban tuntas terkait kematian Bagas. Bukannya mengeluhkan ambiguitas, namun tanpa adanya penjelasan detail, kejadian tersebut terkesan bagai kecurangan yang dibuat guna mengecoh penonton. 

Ya, kelemahan masih bertebaran di Jin Khodam, tapi siapa menduga ia bersedia meluangkan upaya lebih untuk bercerita? Apalagi jika menilik detailnya, film ini bersedia menjauh dari pakem. Tidak ada hantu wanita korban pembunuhan (terkadang ditambah pemerkosaan). Posisi itu diberikan pada pria, yang tewas di tangan seorang pria jahat yang "kejantanannya" dipertanyakan oleh sang istri. 

16 komentar :

Comment Page:

REVIEW - HATI SUHITA

16 komentar

Hati Suhita menawarkan keseimbangan sebagai sebuah drama religi. Ada napas modern dalam sudut pandangnya untuk bisa cukup diterima oleh kaum progresif, namun tak seberapa ekstrim sehingga para konservatif bakal tetap membanjiri bioskop. Agak terkesan main aman, tapi kalau ini jadi bare minimum bagi era baru genre religi tanah air, saya menerimanya dengan senang hati.

Mengadaptasi novel berjudul sama buatan Khilma Anis, alurnya memang masih berjalan di formula standar romantika islami. Suhita (Nadya Arina) dan Gus Birru (Omar Daniel) dinikahkan melalui perjodohan. Orang tua Birru (David Chalik dan Desy Ratnasari) berharap Suhita dapat meneruskan kepemimpinan di pondok pesantren mereka, di saat sang putera lebih tertarik menekuni bisnis kafe.

Masalahnya, pernikahan tersebut memecah hubungan Birru dengan kekasihnya, Rengganis (Anggika Bolsterli), yang masih ia cintai. Di malam pertama, Birru langsung menegaskan bahwa tidak ada rasa cinta darinya untuk sang istri. 

Hati Suhita bukan kisah penderitaan seorang istri yang cuma bisa menumpahkan air mata akibat jeratan cinta segitiga. Dia aktif mencoba beragam cara, misal mengenakan gaun tidur baru di sebuah adegan yang kehadirannya dalam film religi (yang cenderung ogah menelisik ruang intim karakter) terasa menarik. 

Di sinilah naskah buatan Alim Sudio menunjukkan keseimbangan. Suhita merasa perlu mempertahankan pernikahan yang dianggap sebagai amanah, namun ia tidak "buta". Terlihat dari bagaimana harapan Suhita menggaet hati sang suami tidak otomatis membuatnya mau memiliki anak. Bahkan saat masalah mencapai titik terberat di akhir babak kedua, Suhita berani mengambil langkah tegas.

Gejolak batin tersebut dibungkus oleh pengarahan Archie Hekagery (Wedding Agreement) yang enggan tampil meledak-ledak. Musik mendayu-dayu yang biasanya mendominasi tiap menit film religi Indonesia pun kali ini dosisnya dijaga betul. Satu yang disayangkan adalah cara Archie menuturkan paralel kehidupan Suhita dengan kisah-kisah sejarah Jawa. Naskahnya turut bertanggung jawab akibat bergantung pada eksposisi yang dipadatkan paksa, tapi pengadeganan sang sutradara juga luput memberi penonton kesempatan mencerna rentetan informasi tersebut. Sangat buru-buru.    

Nadya Arina tampil bermartabat dalam menghidupkan karakternya. Lembut tetapi sukar dihancurkan. Seperti air yang sekilas tidak kokoh namun selalu dapat bertahan di kondisi apa pun. Saya takkan menyebut Suhita "karakter progresif" mengingat beberapa elemen penokohannya masih bersinggungan dengan ranah konservatif, tapi penampilan Nadya dapat memunculkan kekaguman terhadap sosoknya. 

Di jajaran pemeran lainnya, Anggika Bolsterli masih solid mengolah momen dramatik, sedangkan Devina Aureel sebagai Aruna, sahabat Suhita, senantiasa berhasil memancing tawa. Gaya komedik Devina patut diberi sorotan lebih. Dia tidak asal "membodohkan diri" atau berusaha secara berlebihan untuk terlihat lucu, melainkan betul-betul memperhatikan teknik penghantaran verbal.

Omar Daniel mungkin kalah bersinar dibanding cast wanitanya, tapi ada poin menarik terkait karakter Gus Birru. Walau tidak diteriakkan secara gamblang, nampak bahwa Birru, biarpun putera tunggul pimpinan pesantren, bukanlah orang religius. Setidaknya bukan di tingkatan orang tuanya. Pakaiannya kasual, bangun saat matahari sudah tinggi, pula sempat lalai membaca doa sebelum makan. 

Filmnya tidak berusaha mengubah hal-hal di atas. Tidak ada ceramah menggurui supaya Birru makin religius. Satu yang harus Birru lakukan adalah menjadi suami yang lebih baik. Sewaktu di paruh akhir kita menyaksikan Birru menundukkan kepala sembari mencium tangan Suhita (bukannya mendekap bak laki-laki yang ingin memamerkan superioritas sebagai "pelindung"), saya dibuat yakin Hati Suhita mau memanusiakan karakternya lebih daripada kebanyakan film religi kita.  

16 komentar :

Comment Page:

REVIEW - THE LITTLE MERMAID

16 komentar

Menonton The Little Mermaid kerap memancing rasa frustrasi. Bukan karena buruk. Sebaliknya, ia salah satu adaptasi/remake live-action untuk animasi Disney yang paling solid dalam beberapa tahun terakhir. Masalah terletak pada konsistensi. Sepanjang 135 menit durasi, ada kalanya saya dibuat berujar "Wow! Luar biasa!", lalu tidak lama kemudian bergumam "Apa yang pembuatnya pikirkan?".

Secara pola, alurnya masih serupa. Pembukanya pun kembali diisi oleh aktivitas kru kapal Eric (Jonah Hauer-King) si pangeran. Tapi jika di versi animasi mereka menyanyikan puja-puji bagi Raja Triton (Javier Bardem), kali ini umat manusia juga memasang sikap bermusuhan pada makhluk laut. Di sisi lain, kita mengetahui bahwa istri si raja lautan tewas di tangan manusia. Sebuah poin yang sempat muncul di The Little Mermaid: Ariel's Beginning, prekuel direct-to-video dari film orisinalnya. 

Alhasil motivasi di balik larangan Raja Triton supaya si puteri bungsu, Ariel (Halle Bailey), tidak bersinggungan dengan "dunia atas" jadi lebih kokoh. Apakah itu membuat Ariel mengindahkan perintah sang ayah? Tentu tidak. Ditemani Flounder (Jacob Tremblay), Sebastian (Daveed Diggs), dan Scuttle (Awkwafina), ia tetap nekat mengoleksi barang-barang manusia.

Sisanya seperti yang sudah kita tahu bersama, Ariel jatuh cinta pada Eric, kemudian termakan bujuk rayu Ursula (Melissa McCarthy) si penyihir laut yang berjanji mengubahnya menjadi manusia. Sekali lagi, secara pola, naskah buatan David Magee (Finding Neverland, Life of Pi, Mary Poppins Returns) masih setia pada animasinya. 

Bukannya 100% sama. Modifikasi dilakukan di beberapa titik dengan hasil berlainan. Menambahkan karakter Ratu Selina (Norma Dumezweni) sebagai ibu angkat Eric membuat dunianya semakin utuh. Sebaliknya, menjadikan Ursula dan King Triton sebagai saudara, meski berpotensi menambah dinamika emosi, berujung percuma akibat nihil eksplorasi, alias sebatas pernak-pernik belaka.

Inkonsistensi macam itu yang saya maksud. Menambah durasi sekitar 50 menit menghilangkan kesan buru-buru yang muncul di animasinya, tapi di saat bersamaan menambah peluang hadirnya kebosanan. 

Begitu pula di departemen lain. The Little Mermaid menampilkan banyak visual memukau. Lupakan sejenak persoalan desain hewan-hewan yang terlampau realistis hingga terkadang melucuti dampak emosi, semisal perkataan "You are hopeless, child" dari Sebastian yang kehilangan kehangatannya. Melihat jubah ikan Raja Triton, atau sapuan ekor Ariel, adalah keindahan lautan yang memenuhi harapan akan "live-action 200 juta dollar buatan Disney". 

Sebaliknya, di nomor Under the Sea yang diniati jadi kemeriahan musikal warna-warni ketika seluruh hewan laut bernyanyi malah nampak bak video klip murahan. Selain disebabkan CGI buruk, pengarahan Rob Marshall (Chicago, Memoirs of Geisha, Mary Poppins Returns) seolah kehilangan kepekaan visual yang ia tunjukkan di sekuen Kiss the Girl yang manis (penambahan ucapan "written in the stars" oleh Magee mampu menguatkan romantisme). 

Membicarakan lagu, judul-judul baru gubahan Lin-Manuel Miranda pun terjangkit permasalahan serupa. Sewaktu The Scuttlebutt adalah nomor rap yang menggelitik sekaligus unik, maka Wild Uncharted Waters menawarkan keklisean membosankan, di mana pengadeganan miskin kreativitas dari Marshall sama sekali tidak membantu. 

Adakah departemen di The Little Mermaid yang lolos dari inkonsistensi? Akting. Melissa McCarthy melahirkan villain yang cukup intimidatif, Awkwafina mencuri perhatian melalui isian suaranya, sedangkan tanpa penghantaran penuh rasa dari Javier Bardem, babak konklusi yang menekankan pentingnya mendengarkan "suara" milik mereka yang terbungkam takkan semenyentuh itu.  

Tapi The Little Mermaid merupakan panggungnya Halle Bailey. Kita tahu dia bisa bernyanyi (ingat, Bailey punya lima nominasi Grammy). Tapi musikal tidak hanya tentang kemerduan suara. Tanpa penyaluran emosi yang baik, pula gestur serta ekspresi yang hidup, sebuah musikal bakal mati. Bailey memenuhi segalanya. Dihadirkannya realisme, tanpa lupa kalau sedang menjadi sentral suatu dongeng fantasi. Momen terbaiknya adalah di penutup lagu Part of Your World. Getaran emosi sang aktris memancarkan sinar terang yang menghapus kabut kelam bernama "inkonsistensi" tadi. 

16 komentar :

Comment Page:

REVIEW - PESANTREN

16 komentar

Entah berapa kali saya meneteskan air mata saat menonton Pesantren. Bukan semata karena adegan mengharukan, tapi dokumenter buatan Shalahuddin Siregar (Negeri di Bawah Kabut, Lima) ini merupakan satu dari segelintir film yang mampu menyadarkan betapa kerdilnya saya sebagai manusia. 

Tanpa sadar saya kerap menggeneralisasi pesantren beserta para santri. Kolot, konservatif, menolak terpapar modernisasi, dan deretan stigma negatif lain, khususnya perihal cara mereka menyikapi isu gender. Lalu dibawalah saya mengunjungi pondok pesantren Kebon Jambu yang diisi oleh santri laki-laki dan perempuan. 

Di suatu malam para santri berkumpul guna membicarakan rencana sebuah acara yang hendak digelar di Kebon Jambu. Konon acara itu merupakan kongres ulama perempuan pertama di dunia. Saat itulah untuk pertama kali kita berkenalan dengan Nyai Hj. Masriyah Amva selaku pemilik pondok. Dia berdiri sejenak, kemudian melangkah masuk melewati santri laki-laki. Seketika saf berisi laki-laki itu terbelah, memberi jalan pada seorang perempuan. 

Pemandangan yang sejatinya normal dan sangat sederhana, tapi di saat bersamaan menekankan pokok bahasan utama Pesantren. Benarkah menegakkan ajaran Islam berarti mengamini bahwa derajat laki-laki ada di atas perempuan? Banyak "orang beragama" meyakini hal itu dengan dalih ayat suci. Akibatnya banyak pihak memandang kealiman, dalam hal ini di kalangan Islam, berbanding lurus dengan menjunjung patriarki.

Pesantren membantah anggapan tersebut. Bukan lewat amarah atau protes berapi-api, melainkan ajakan untuk berpikir cerdas. Misal ketika salah satu kiai mengulik ayat yang sering dijadikan "bukti" kalau laki-laki lebih berakal dibanding perempuan. Dibantahnya interpretasi itu melalui perspektif yang memperhatikan konteks sosial suatu masa. 

Kaca mata humanis memang selalu film ini kenakan, baik dalam memandang perihal gender, atau saat memotret kehidupan para santri. Mereka tak hanya digambarkan sebagai "pelajar ilmu agama". Sisi manusiawi mereka, yang tiada beda dengan masyarakat awam pun ditampilkan, dan acap kali memunculkan kehangatan. Nampak sewaktu para santri menelepon keluarga di awal durasi, di mana salah satu dari mereka bertanya pada sang ibu, "Kangene uwis?".  

Shalahuddin Siregar yang turut merangkap sebagai sinematografer piawai menangkap peristiwa-peristiwa semacam itu. Peristiwa yang apabila disaksikan tanpa konteks mungkin terkesan kurang penting, namun berperan besar membangun emosi tatkala disatukan sebagai narasi yang utuh. 

Tapi bukankah keberhasilan itu hanya karena subjek yang dasarnya sudah kuat? Mungkin benar, tapi mengapa tiada sineas lain yang pernah mengangkat kisah ini? Apakah mereka tidak berani? Tidak tahu? Atau menganggapnya tidak penting? Bagi saya, keberanian, kelengkapan informasi melalui riset, serta kesadaran atas isu penting juga wujud kekuatan seniman. Shalahuddin mempunyai poin-poin tersebut. 

Satu-satunya celah Pesantren adalah tidak seluruh protagonis mendapat eksplorasi seimbang. Ada beberapa figur yang diberi sorotan lebih. Bibah si pengajar kesenian, Diding si guru agama, Dika yang mengepalai salah satu kamar di pondok, dan seorang santri yang juga juara kompetisi stand-up comedy bernama Dul Yani. 

Dika hanya muncul sekilas, sedangkan Diding, walau porsinya cukup banyak, luput ditelusuri ruang personalnya. Dul Yani pun sayangnya baru muncul di paruh akhir. Padahal "santri komika" adalah identitas karakter yang menarik. Latar belakangnya juga menyimpan potensi dramatik tinggi, yang mulai kita pelajari sewaktu Dul Yani melontarkan humor gelap tentang sang ibu, yang amat bahagia dan mencintai pekerjaannya di Arab sampai tak pernah pulang menemui puteranya. 

Bibah lain cerita. Dialah karakter paling matang di film ini. Kita tahu impiannya, pula memahami berbagai pergolakan batinnya: anak keluarga miskin yang ingin kuliah, perasaan rendah diri sebagai pengajar kesenian di pesantren yang kurang jago menghafal kitab, dan tentunya, perempuan yang menolak tunduk pada diskriminasi. Bibah mewakili jiwa film ini. Sebuah kisah mengenai individu-individu yang mendambakan kehidupan lebih baik, baik bagi dirinya maupun dunia. 

(Bioskop Online)

16 komentar :

Comment Page:

REVIEW - FAST X

8 komentar

F9 dua tahun lalu seperti pertanda Fast & Furious mulai kehabisan akal. Semua gara-gara tuntutan untuk selalu tampil lebih besar di tiap sekuel. Mau tidak mau, perjalanan ke luar angkasa yang selama ini sebatas jadi lawakan di internet pun diwujudkan, meski dengan hasil serba tanggung. Seperti pembalap yang menganggap gelar juara dapat diraih hanya dengan melaju sekencang mungkin, tanpa menguasai teknik berbelok. 

Untunglah para pembuatnya menyadari kekeliruan pola pikir tersebut di Fast X. Walau sempat diganggu permasalahan tatkala Justin Lin mundur dari kursi sutradara seminggu setelah produksi dimulai (digantikan Louis Leterrier), film kesepuluh sekaligus bagian pertama dari trilogi penutup serinya ini mengembalikan daya hibur yang sempat memudar, meski tidak menawarkan formula baru.

Kali ini Dominic Toretto (Vin Diesel) bersama keluarganya menghadapi ancaman Dante Reyes (Jason Momoa), putera Herman Reyes (Joaquim de Almeida) si raja narkoba dari Fast Five (2011). Klimaks epik film kelimanya, ketika Dom dan kawan-kawan.....maksud saya keluarga, kebut-kebutan di jalanan Rio de Janeiro sambil membawa brankas, dijadikan sekuen pembuka oleh Fast X. 

Keputusan di atas memunculkan kesan "kembali ke awal" yang (untuk ukuran franchise sebodoh Fast & Furious) terasa puitis. Bukankah cara terbaik untuk mengakhiri sebuah perjalanan adalah dengan menengok lagi awal dari segalanya? 

Seluruh anggota keluarga kembali. Tentu tidak semuanya mendapat porsi besar, tapi naskah buatan Dan Mazeau dan Justin Lin memastikan, sesingkat apa pun kemunculan mereka bakal meninggalkan kesan. Roman (Tyrese Gibson) dan Tej (Ludacris) masih saling melempar banter menggelitik biarpun ada kalanya meleset, sementara Deckard Shaw (Jason Statham) tetap berkesempatan memamerkan ketangguhannya di satu sekuen. 

Melanjutkan pola "lawan jadi kawan", Jakob (John Cena) pun kini berada di kubu sang kakak. Penokohannya berubah. Bukan lagi pembunuh berdarah dingin, melainkan action hero penuh kelakar yang mewadahi talenta Cena. Lucu, ramah, hangat, namun tetap badass. Dia bakal jadi karakter favorit fan yang baru. Demikian pula Cipher (Charlize Theron dalam penampilan paling memorable di franchise ini) yang membawa kado luar biasa indah bagi penggemar seri ini. 

Deretan wajah barunya tak kalah memikat. Brie Larson sebagai Tess, puteri Mr. Nobody (this franchise is all about family in case you forgot), menginjeksi tambahan amunisi bagi jajaran wanita yang dahulu amat minim dalam franchise-nya, tapi Momoa adalah bintang terbesar Fast X.

Dante merupakan musuh paling berbahaya bagi Dom sekeluarga. Otot, otak, teknologi, ia punya segalanya. Dante ibarat Thanos bagi para Avengers. Tetapi, alih-alih menginterpretasikan Dante sebagai iblis pembunuh yang serius, Momoa memilih gaya over-the-top penuh warna. Sang aktor paham betul sedang terlibat di film macam apa. Kemunculan Dante di layar senantiasa menghibur, bahkan di adegan non-aksi yang biasanya membosankan (makin sering Vin Diesel bicara dalam tempo lambat, makin besar rasa kantuk saya). 

Cukup sampai di sini membicarakan penokohan dan akting. Bagi Fast & Furious, pencapaian di hal-hal tersebut sebatas bonus. Gelaran aksi tetap nomor satu, dan di tataran konsep, naskahnya patut diberi apresiasi. Masih konyol, masih menantang logika atau hukum alam apa pun, namun pola pikir "asal memperbesar" dikesampingkan, digantikan oleh upaya memeras kreativitas. 

Memang belum benar-benar berhasil. Reaksi "Bagaimana mereka bisa memikirkan itu?!" tidak selalu bisa dimunculkan. Beberapa aksi masih berkutat di rutinitas standar Fast & Furious, tapi ide-ide seperti menggelindingkan bom berbentuk bola raksasa di jalanan Roma (kombinasi klimaks Fast Five dan sekuen pembuka Raiders of the Lost Ark) seolah mengingatkan bahwa seri ini masih menyimpan cara untuk berkembang. 

Memberikan 100% pujian kepada Leterrier mungkin agak kurang adil, mengingat ia mendapat "bantuan" berupa daftar shot dan storyboard peninggalan Lin, pun terdapat adegan aksi yang diambil ketika filmnya belum menunjuk sutradara baru (baku hantam antara Letty dan Cipher misal). 

Tapi bukan berarti Leterrier minim kontribusi. Tanpa sentuhan sineas yang tahu cara membungkus tontonan over-the-top, niscaya Fast X bakal berakhir hambar. Tengok dahsyatnya momen berlatar bendungan yang membuat visual filmnya nampak bak suguhan superhero. Leterrier mewarisi tenaga yang dibutuhkan guna membuat film Fast & Furious melaju kencang. Sepanjang 141 menit durasinya, saya berharap Fast X tak kunjung usai. Itulah wujud kesuksesan terbesar sebuah blockbuster. 

8 komentar :

Comment Page:

REVIEW - KAJIMAN

15 komentar

Entah sudah berapa sutradara Indonesia yang gemilang dalam mengolah drama, kualitasnya terjun bebas saat menggarap horor. Ada yang terpaksa berubah memakai pendekatan yang kurang dikuasai, dan sebaliknya, ada yang memaksakan gaya miliknya meskipun kurang sesuai. 

Adriyanto Dewo (dalam debut horor panjang, setelah sebelumnya menggarap salah satu segmen Hi5teria) mengambil jalan tengah. Walau tetap menyesuaikan minat pasar lewat sajian hantu-hantuan, Kajiman tak mengubahnya. Justru ia manfaatkan kelamnya genre horor untuk mendukung pokok bahasan favoritnya, yakni soal duka dan kehilangan. 

Selepas kematian ibunya, Asha (Aghniny Haque) memilih bekerja sebagai perawat di kediaman Ismail (Tyo Pakusadewo), seorang lansia yang lumpuh akibat penyakit misterius. Di sanalah Asha menemui berbagai kejadian mistis, yang coba ia selidiki kebenarannya dengan bantuan si sahabat, Rama (Jourdy Pranata).

Tapi karakter paling menarik justru Rum (Mian Tiara), paranormal yang sempat membantu Asha berkomunikasi dengan arwah sang ibu. Rum tidak nampak seperti "dukun layar lebar" kebanyakan. Baik pakaian maupun tutur katanya normal, seperti wanita desa pada umumnya. Ditunjang akting Mian Tiara, sosoknya makin believable. 

Di kutub berlawanan, Rukman Rosadi memerankan figur yang sesuai dengan stereotip "dukun layar lebar" dengan segala aksesoris khasnya. Penampilan si aktor senior-lah yang menjadikannya menonjol. Di satu adegan, sang dukun berhadapan dengan makhluk halus penunggu rumah. Alih-alih membuat gestur bak pendekar hendak melempar jurus, Rukman hanya membuka telapak tangannya secara perlahan. Penuh karisma serta kepercayaan diri. 

Walau punya dua dukun, jangan mengira Kajiman bergulir layaknya horor lokal arus utama. Temponya cenderung lambat. Sedangkan soal teror, sekali lagi Adriyanto Dewo berusaha mencapai keseimbangan. Hasilnya tidak selalu maksimal. 

Mengurangi kandungan musik berisik terbukti ampuh membangun atmosfer, termasuk dalam sebuah penampakan creepy di tengah kamar gelap yang hadir tanpa bantuan tata suara menggebrak. Tapi tidak jarang keputusan yang diambil sang sutradara meleset. Ada kalanya ia menambahkan musik sewaktu kesunyian lebih ampuh membangun kengerian, namun sebaliknya, di beberapa jumpscare yang perlu hentakan, volume suara malah ragu-ragu untuk ditingkatkan. Serupa banyak sineas yang terbiasa menyusun drama, kesan canggung juga masih nampak pada adegan dengan intensitas tinggi (saya sempat tertawa saat salah satu karakter jatuh dari jendela).

Mengenai temponya, Kajiman bukan asal lambat. Naskah buatan Adriyanto Dewo dan Daud Sumolang (Susi Susanti: Love All, Dear David) melahirkan horor Indonesia dengan cerita paling memikat sepanjang 2023, setidaknya hingga saat ini. Misterinya menarik sekaligus rumit, dan penonton dibiarkan menyusun sendiri keping teka-tekinya. Bukan perkara mudah, apalagi sesekali Kajiman bertutur secara non-linear, tapi di situlah tempo tadi berguna. Kita jadi punya cukup kesempatan untuk merangkai petunjuk yang ditebarkan. 

Terpenting, tidak seperti banyak horor lokal belakangan ini, mistisisme Kajiman bukan tempelan semata. Tidak hanya karena kentalnya praktik ilmu gaib di tiap sudut alur, juga bagaimana naskahnya mempertemukan perihal gaib dengan duka di hati manusia. Tengok penutupnya, yang bukan cuma berbasis mistis, tapi juga psikis. Sewaktu manusia terluka, putus asa, hingga akhirnya terjatuh ke titik tergelapnya, saat itulah "dunia gelap" melambaikan godaannya.

15 komentar :

Comment Page:

REVIEW - HELLO GHOST

15 komentar

Hello Ghost (2010) berhasil menyuguhkan tontonan penguras air mata. Tapi di antara kehangatan drama keluarganya, terdapat romansa yang dijejalkan secara paksa. Bagaimana bisa si gadis jatuh hati saat di salah satu interaksi panjang mereka, si pria bertingkah seperti orang dewasa kekanak-kanakan yang memalak permen keponakannya, kemudian bertindak tanduk bak penguntit? 

Masih banyak lubang penceritaan lain di karya Kim Young-tak tersebut (bahkan di luar elemen percintaan), yang dalam versi Indonesia dipermak oleh naskah buatan Alim Sudio. Di sini Alim bukan sebatas mengadaptasi, tapi juga memperbaiki. 

Gagasan dasarnya masih sama. Kresna (Onadio Leonardo) berkali-kali coba bunuh diri karena tak kuat lagi menahan penderitaan, namun semua usahanya berujung kegagalan. Lalu terjadilah pertemuan antara Kresna dengan empat hantu yang meminta bantuannya menuntaskan keinginan terakhir mereka. Ada Kuatno (Indro Warkop) si hantu genit, Bima (Tora Sudiro) si hantu perokok, Lita (Hesti Purwadinata) si hantu wanita yang selalu menangis, dan Chika (Ciara Nadine Brosnan) si hantu bocah. 

Sama seperti film orisinalnya, secara "kebetulan" tiap permintaan pun berujung mendekatkan Kresna dengan Suster Linda (Enzy Storia) yang sempat merawatnya. Bedanya, kali ini keduanya telah bertemu sebelum di rumah sakit, karena Linda adalah orang yang menolong Kresna di upaya bunuh diri terakhirnya. Impresi pertama Linda pada Kresna bukan orang aneh (karena bertingkah di bawah pengaruh para hantu). 

Berbekal pondasi yang lebih kokoh itulah romansa Hello Ghost mengalir alami. Tumbuhnya simpati Linda, yang kemudian berkembang jadi cinta, dapat dengan mudah dipercaya. Onadio memang tak punya sensitivitas sekuat Cha Tae-hyun dalam hal membangun karakter likeable, tapi Enzy memuluskan jalannya sisi percintaan film ini. Percintaan dua sejoli yang saling jatuh hati murni karena interaksi rasa, bukan campur tangan absurd para hantu. 

Selain urusan asmara, naskahnya turut mengolah misi yang Kresna emban untuk membantu keempat hantu jadi lebih padat. Tidak ada lagi subplot yang mendistraksi narasi utama (termasuk iklan layanan masyarakat tentang rokok) maupun sempilan adegan-adegan nihil substansi, alhasil perhatian kita tertuju sepenuhnya pada hubungan Kresna dan para hantu. 

Tapi bagi penonton yang sudah familiar dengan materi asalnya, apakah Hello Ghost tetap efektif memancing haru? Nyatanya iya. Bahkan bisa jadi rasa haru itu menguat karena kita sudah tahu makna yang dibawa oleh tiap peristiwa. Misal tatkala Bima membawa Kresna ke pantai. Penonton film aslinya paham bahwa itu bukan tamasya biasa. 

Twist yang membuat Hello Ghost senantiasa dikenang pun tidak kehilangan dampak emosi. Di jajaran cast, Tora dan Hesti paling berjasa di sini, tapi akting mereka takkan tersampaikan ke penonton tanpa pengarahan sang sutradara, Indra Gunawan, yang mampu menangkap dramatisasi khas Korea Selatan. Musik mengharu biru dikerahkan, namun sorotan utamanya tetaplah manusia-manusia yang mewakili indahnya wajah sebuah keluarga.  

15 komentar :

Comment Page:

REVIEW - SMOKING CAUSES COUGHING

10 komentar

Smoking Causes Coughing adalah salah satu film paling kreatif, aneh, sekaligus mengejutkan sepanjang tahun. Pertanyaan "Filmnya tentang apa?" bakal susah dijawab, tapi coba bayangkan skenario ini: Gabungkan tim Power Rangers dan Ninja Turtles, bawa mereka bertamasya ke pinggir danau, lalu nantikan cerita-cerita seram yang dituturkan tiap anggota di tengah api unggun. 

Timnya bernama "Tobacco Force". Masing-masing anggota punya nama sesuai senjata mereka: Benzène (Gilles Lellouche), Methanol (Vincent Lacoste), Nicotine (Anaïs Demoustier), Mercure (Jean-Pascal Zad), dan Ammoniaque (Oulaya Amamra). Ketika bersatu bukan Megazord yang muncul, melainkan kepulan asap rokok untuk membunuh monster dengan memberinya kanker. 

Aneh? Wajar saja mengingat film ini disutradarai sekaligus ditulis oleh Quentin Dupieux, yang sebelumnya melahirkan judul-judul absurd seperti Rubber (2010), Deerskin (2019), hingga Mandibles (2020). Tapi keanehan belum berhenti sampai di situ. 

Demi merekatkan persatuan tim, Tobacco Force dikirim berlibur selama seminggu sebelum menghadapi ancaman Lézardin (Benoît Poelvoorde) yang berniat menghancurkan bumi. Di malam hari saat api unggun dinyalakan, mereka saling berbagi cerita horor yang mendadak mengubah bentuk filmnya dari cerita pahlawan super menjadi horor antologi. 

Baik di kisah Tobacco Force maupun visualisasi cerita api unggun, Dupieux menawarkan berbagai macam keabsurdan. Supermarket di dalam kulkas, barakuda yang bisa bicara, dan masih banyak lagi. Keabsurdannya memunculkan kekagetan, lalu kekagetan itu membangun kelucuan. Semakin aneh, semakin tidak terduga, semakin lucu. Bahkan sentuhan gore pun Dupieux jadikan sebagai amunisi komedi hitam. 

Tapi apa kaitan perjuangan Tobacco Force melindungi bumi dengan horornya? Cerita api unggun bagi karakternya, sebagaimana film horor bagi kita, adalah wadah eskapisme. Film horor memang mengerikan, tapi tak mendatangkan ancaman. Kita pun memegang kontrol penuh. Merasa filmnya terlalu mengerikan? Cukup keluar dari bioskop. Sesuatu yang tak bisa dilakukan kala menghadapi horor dunia nyata (kerusakan lingkungan, penyakit, tuntutan finansial, dll.). Mungkin sama seperti rokok yang dapat membuat batuk atau bahkan kanker, tapi tetap kita isap untuk sejenak melupakan kepenatan hidup.  

Mari kita lihat juga sosok pemimpin Tobacco Force. Namanya Didier (Alain Chabat). Seekor tikus yang bisa bicara layaknya Master Splinter, namun lebih mesum (gemar menggoda anggota wanita Tobacco Force) dan lebih menjijikkan (lendir hijau selalu keluar dari mulutnya). 

Didier mengingatkan saya pada anekdot tentang Zordon. Apakah ia pelindung atau figur manipulatif yang memaksa remaja bertaruh nyawa? Pola "sosok tak bertanggung jawab" ini terus diulang sepanjang film, termasuk di barisan kisah horornya. Ada bos yang tak memperhatikan keselamatan pekerja, hingga dokter yang melempar diagnosis melalui telepon. 

Smoking Causes Coughing adalah cerita mengenai "ancaman", apa pun serta dari mana pun sumbernya. Tapi tidak perlu memusingkan perihal interpretasi. Dupieux tak pernah menuntut itu dari penontonnya. Cukup duduk santai dan nikmati keabsurdan tanpa henti film ini.....mungkin sambil mengisap beberapa batang rokok. 

(iTunes US)

10 komentar :

Comment Page:

REVIEW - EVIL DEAD RISE

15 komentar

Seri Evil Dead merupakan anomali. Ketika di franchise lain repetisi jadi penyakit yang mesti dihindari kala membuat sekuel, Evil Dead sebaliknya, justru memanfaatkan repetisi. Selain Army of Darkness (1992), pola penceritaan di tiap sekuelnya merupakan reka ulang dari The Evil Dead (1981). 

Evil Dead II (1987) kerap disebut "re-quel" karena membiaskan batasan remake dan sekuel. Evil Dead (2013) tak ubahnya versi lebih kelam dan serius dari film orisinalnya, dengan templat alur nyaris sama. Sedangkan Evil Dead Rise memodifikasi poin-poin cerita film pertama, namun menerapkan nuansa playful sarat komedi gelap ala karya Sam Raimi tersebut. Alih-alih penurunan kualitas, repetisi itu justru memberi kesan segar yang tetap familiar. 

Selepas kemunculan salah satu title card paling keren sepanjang sejarah sinema, filmnya mengajak kita memasuki apartemen kumuh tempat tinggal protagonisnya. Ellie (Alyssa Sutherland), seorang ibu tunggal, menetap di sana bersama tiga anaknya, Danny (Morgan Davies), Bridget (Gabrielle Echols), dan Kassie (Nell Fisher). Malam itu penghuni bertambah ketika Beth (Lily Sullivan), adik Ellie, datang berkunjung. 

Lalu terjadi gempa yang membuka ruangan tersembunyi, karakternya menemukan Necronomicon di sana, kemudian mantra pembangkit Deadite terucap sehingga iblis itu merasuki tubuh Ellie. Formulanya amat familiar, tapi naskah buatan sang sutradara, Lee Cronin, dengan cerdik menerapkan modifikasi terhadap pakem khas Evil Dead. 

Akar-akar "nakal" digantikan kabel lift, pintu basemen selaku pemisah antara manusia dan Deadite berubah jadi pintu apartemen yang terkunci, dan lain-lain. Bukan perihal besar bagi penonton awam, tapi untuk para penggemar, ada kepuasan tersendiri dalam proses mencari hal mana saja dari film Raimi yang dimodifikasi oleh Cronin. 

Akhirnya di kepala mereka yang mengenal Evil Dead, tercipta antisipasi yang terasa mengasyikkan akan datangnya momen-momen "wajib" franchise-nya: gergaji mesin, tangan buntung, hingga hujan dan banjir darah (termasuk sebuah penghormatan untuk The Shining). Tidak cuma soal "Kapan momen itu datang?", tapi juga "Bagaimana interpretasi Cronin terhadap momen itu?".

Termasuk yang kecewa karena versi 2013 garapan Fede Alvarez tampil serius? Jangan khawatir, sebab di sini Cronin meneruskan semangat Raimi lewat sempilan berbagai komedi gelap (adegan "bola mata" adalah reference menggelitik untuk Evil Dead II), tanpa pernah lupa kalau ia sedang membuat film horor. 

Sebagai horor, Evil Dead Rise mungkin salah satu yang terlengkap dalam beberapa waktu terakhir. Gore-nya bakal paling banyak dibicarakan. Unsur kekerasan miliknya menyenangkan, nampak menyakitkan, dan variatif.

Tapi Cronin turut menawarkan suguhan lain, dari atmosfer mencekam berbekal olahan suara ciamik, jumpscare yang efektif, creepy imageries hasil perpaduan tata rias mumpuni dengan kebolehan Alyssa Sutherland berekspresi, hingga intensitas tinggi berkat tata kamera dinamis yang mewakili histeria di dalam apartemen yang bak neraka. 

Klimaksnya melahirkan dua figur penting. Pertama, monster baru bernama Marauder, yang menyokong desain sinting nan kreatif miliknya lewat peleburan seimbang antara efek praktikal dan komputer. Kedua, figur final girl tangguh yang merupakan antitesis sang monster. Apabila Marauder menghancurkan keluarga dengan cara menyatukan (secara literal), maka si final girl sebaliknya, aksinya menghancurkan bertujuan menyatukan keluarga.  

15 komentar :

Comment Page:

REVIEW - GUARDIANS OF THE GALAXY VOL. 3

15 komentar

"Sekuel". Sebuah kata yang kerap punya konotasi negatif. Beberapa menganggapnya sebagai wujud kemiskinan kreativitas. Cara malas untuk mengeruk pundi-pundi uang. Tapi benarkah sekuel tak membawa dampak positif perihal kualitas karya? Jawabannya "ada", dan melalui trilogi Guardians of the Galaxy, James Gunn membuktikan itu. 

Keberadaan sekuel memungkinkan pembuat film menghantarkan proses panjang nan berkelanjutan. Karakter dapat tumbuh dan berkembang, sementara penonton dibuat mengenal kemudian memedulikan mereka. Guardians of the Galaxy Vol. 3 adalah fase di mana suatu proses mencapai ujungnya, kemudian membuahkan hasil. 

Secara garis besar, Guardians of the Galaxy Vol. 3 adalah filmnya Rocket (Bradley Cooper). Melalui beberapa flashback, Gunn mengajak penonton menyambangi masa lalu traumatik Rocket saat ia dijadikan kelinci percobaan oleh High Evolutionary (Chukwudi iwuji). Flashback-nya bukan sekadar numpang lewat. Guardians of the Galaxy Vol. 3 merupakan film MCU yang paling banyak memanfaatkan flashback guna menyusun penceritaan. Hasilnya efektif. Kecintaan pada Rocket mampu dibangun, demikian pula kebencian terhadap High Evolutionary.  

High Revolutionary bukan tipikal villain seperti Loki, Thanos, Killmonger, atau Baron Zemo yang membawa ambiguitas moral dalam motivasi mereka. Dia murni sosok bengis yang hadir untuk dibenci, dan itu membuatnya lebih memorable dibanding jajaran villain generik dengan ambisi menguasai dunia. 

Rocket memang jantung film ini, namun bukan berarti Guardians lain dikesampingkan. Peter Quill (Chris Pratt) masih kesulitan melupakan cintanya pada Gamora (Zoe Saldana). Pun pikirannya terus dihantui fakta bahwa orang-orang terdekatnya selalu berujung kehilangan nyawa. Nebula (Karen Gillan) ada di kutub berlawanan. Kegelapannya memudar. Puteri Thanos yang jahat telah digantikan oleh figur pelindung yang dapat diandalkan dan menyimpan kepedulian besar kepada orang lain. Ada kehangatan melihat "Nebula yang baru" karena kita mengikuti transformasinya secara bertahap. Sekali lagi, semua berkat proses. 

Nama-nama lain seperti Drax (Dave Bautista), Mantis (Pom Klementieff), Groot (Vin Diesel), bahkan Kraglin (Sean Gunn) dan Cosmo (Maria Bakalova) pun mampu mengisi hati penonton. Seluruh anggota Guardians diberi kesempatan bersinar, yang senada dengan pesan filmnya mengenai kesetaraan. Istilah "higher life form" tidak berlaku. Semua setara dan seimbang. 

Keseimbangan terkait tone juga berhasil Gunn capai. Guardians of the Galaxy Vol. 3 tetap efektif memancing tawa, namun lebih kelam (ditegaskan sejak lagu Creep terdengar di sekuen pembuka) sekaligus lebih dramatis bila dibanding dua pendahulunya. Kita dibuat tersentuh sewaktu ada karakter yang membuka sisi personalnya, lalu bersorak saat mereka memamerkan aksi kepahlawanan. Selain karena eksekusi mumpuni, dampak emosi muncul karena ikatan emosi antara penonton dengan karakter yang telah terbangun sedari dulu. Sekali lagi, semua berkat proses. 

Gunn juga mendorong batasan rating PG-13 sejauh mungkin (untuk standar MCU), yang nampak dari bertambahnya tingkat kekerasan di beberapa aksi. Tapi tanpa kekerasan pun kualitas aksinya sudah ada di atas rata-rata film MCU. Baku hantam pembuka yang jadi perkenalan bagi Adam Warlock (Will Poulter), hingga sekuen (semacam) one take tatkala masing-masing Guardians secara bergantian diberi sorotan, jadi bukti upaya Gunn menyuguhkan aksi dinamis yang tak cuma bergantung pada gelontoran CGI. 

Seperti telah disinggung sebelumnya, banyolan khas Gunn masih memancing tawa. Tapi apa yang membedakan film-film Guardians of the Galaxy dengan judul-judul macam Thor: Love and Thunder dan Ant-Man and the Wasp: Quantumania yang dikritik akibat komedinya? Sederhana saja. Gunn membangun komedi tanpa melupakan penokohan. Kita takkan mendengar Drax melempar komentar sarkas layaknya Rocket. Semua memiliki kekhasan yang membentuk karakter masing-masing. Tidak kalah penting, komedi dalam trilogi Guardians of the Galaxy turut berfungsi menggambarkan kedekatan antar protagonis. Semakin dekat ikatan batinnya, semakin sering pula mereka berkelakar. Sekali lagi, semua berkat proses.

15 komentar :

Comment Page:

REVIEW - PROJECT WOLF HUNTING

2 komentar

Kebanyakan film Korea Selatan yang diberi label "disturbing" menjadikan kekerasan sebagai alat pendukung penceritaan. Poinnya bukan "seberapa sadis", melainkan dampak (biasanya psikis) yang dibawa oleh kekerasan tersebut. Project Wolf Hunting sebaliknya. Alur dikesampingkan guna memberi sorotan terhadap 2,5 ton galon darah yang konon ditumpahkan oleh suguhan over-the-top ini.

Dikisahkan, proses ekstradisi para kriminal dari Filipina menuju Korea Selatan melalui jalur udara digagalkan oleh teror bom bunuh diri di bandara. Alhasil, perjalanan via laut yang memakan waktu tiga hari pun dipilih. 

Sepasukan polisi termasuk Lee Seok-woo (Park Ho-san) dan Lee Da-yeon (Jung So-min) dikerahkan untuk mengamankan kapal yang diisi banyak penjahat kelas kakap. Beberapa di antaranya adalah Park Jong-du (Seo In-guk), Lee Do-il (Jang Dong-yoon), Go Kun-bae (Ko Chang-seok), dan Choi Myeong-ju (Jang Young-nam). Di luar kapal, Interpol yang dipimpin Oh Dae-woong (Sung Dong-il) memonitor perjalanan. Singkatnya, ini adalah Con Air versi laut dengan ensemble cast.

Ketika polisi yang tak ragu memakai kekerasan disatukan dengan para penjahat keji di tengah laut, kekacauan pun tinggal menunggu waktu. Selama kurang lebih satu jam pertama, dinamika kedua pihak jadi fokus utama. Polisi memamerkan kuasa mereka, sedangkan para tahanan diam-diam menyusun rencana. Di fase ini Seo In-guk paling mencuri perhatian, memerankan pembunuh sinting yang berlawanan dengan citranya di layar televisi. 

Tapi teror sesungguhnya justru datang dari sumber tak terduga, yang dipicu oleh sebuah peristiwa penuh unsur kebetulan. Dipaksakan? Ya, tapi sekali lagi, kualitas penceritaan memang bukan senjata Project Wolf Hunting. Kim Song-hun selaku sutradara sekaligus penulis naskah bukan pencerita ulung. Terlihat dari caranya menerapkan flashback, yang alih-alih menyediakan jawaban, malah kerap menjadikan hal-hal sederhana tampil lebih rumit dari seharusnya. 

Lain cerita kala ia dihadapkan pada tugas menghadirkan kekerasan. Project Wolf Hunting dibawanya bergeser ke ranah aksi beraroma slasher kental, yang bak gabungan Predator dan seri Friday the 13th, khususnya Jason X. Darah muncrat, kepala pecah, wajah remuk, tangan dan kaki putus, semua dapat ditemukan di sini. 

Tubuh manusia di Project Wolf Hunting bagaikan roti yang sebegitu mudah dihancurkan, dan sang sutradara tidak menahan diri dalam memperlihatkannya. Tanpa sensor pribadi, tanpa satu pun kematian off-screen. 

Sayang, klimaks yang dinanti-nanti justru meninggalkan kekecewaan. Sadisme tingkat tinggi digantikan oleh gelaran aksi generik, sementara salah satu protagonis "dilenyapkan" tanpa alasan kuat, pun dengan cara yang miskin kreativitas. Walau begitu, melihat pencapaian filmnya sebelum memasuki third act, tiada alasan bagi pecinta film gore untuk tak menantikan sekuel yang kemungkinan bakal mengeksplorasi mitologi dunianya. 

(Viu, Vidio, Catchplay+)

2 komentar :

Comment Page: