REVIEW - JENDELA SERIBU SUNGAI

22 komentar

Jendela Seribu Sungai yang mengadaptasi novel berjudul sama karya Miranda Seftiana dan Avesina Soebli memang jauh dari sempurna. Adanya cameo dari Ibnu Sina (Wali Kota Banjarmasin) dan Ian Kasela juga bisa membuatnya dipandang sebelah mata oleh banyak penonton. Tapi ia mampu membuktikan satu hal, bahwa cerita seklise apa pun dapat tampil lebih segar dengan balutan elemen kultural. 

Berlatar "Kota Seribu Sungai" Banjarmasin, kita dipertemukan dengan tiga murid SD: Arian (Bima Sena) yang ingin melanjutkan jejak ayahnya (Ariyo Wahab) sebagai pemain kuriding, Kejora (Halisa Naura) yang bercita-cita menjadi dokter meski mendapat tentangan dari sang ayah (Ibrahim "Baim" Imran) selaku balian yang membenci praktik medis modern, dan Bunga (Sheryl Drisanna Kuntadi) yang enggan membuang impiannya menari meski menderita cerebral palsy. 

Tidak perlu menjadi "ahli sinema" untuk meraba ke mana naskah buatan Swastika Nohara (Hari Ini Pasti Menang, 3 Srikandi) bakal mengarahkan alurnya. Tapi seperti telah disinggung di awal tulisan, aspek budaya berjasa mengangkat Jendela Seribu Sungai naik kelas.

Memang tidak secara signifikan. Apalagi penceritaannya tampil bak keping-keping fragmen yang dipaksa melebur berisikan sederet konflik pendek episodik, alih-alih satu kesatuan kisah besar yang bergerak runtut. Tapi ketika banyak film-film formulaik bertema "melawan dunia demi mimpi" sudah mengundang kantuk sebelum menginjak separuh perjalanan, Jendela Seribu Sungai tidak demikian.

Kalimat-kalimat inspiratif nan menggurui kerap dipercantik dengan cara mengaitkannya ke perenungan filosofis berbasis kultural. Selalu ada sentuhan budaya yang menarik untuk diamati di tiap sudutnya, termasuk gesekan antara adat dan modernisasi. Naskahnya membawa perspektif berimbang dalam mengangkat persoalan tersebut. 

Ambil contoh konflik Kejora dengan ayahnya. Ketimbang memojokkan salah satu pihak, Jendela Seribu Sungai menyandingkan keduanya. Ilmu medis kekinian diperlukan, namun kemampuan balian menyembuhkan warga tidak dikerdilkan. Mereka bisa eksis bersama, bahkan saling melengkapi. 

Barisan pemainnya pun cukup solid. Bima Sena kembali membuktikan diri sebagai salah satu bintang muda paling potensial, Ariyo Wahab menghadirkan kehangatan, sedangkan Agla Artalidia tidak ketinggalan memamerkan talenta dramatik memadai sebagai Bu Guru Sheila yang rela memperjuangkan mimpi murid-muridnya.

Kelemahan paling mengganggu di film ini justru berasal dari sesuatu yang tidak terduga: CGI. Entah apa alasan Jay Sukmo (Catatan Akhir Kuliah, Love Reborn) selaku sutradara memakai CGI di berbagai titik yang sejatinya tak memerlukan polesan efek komputer. Apalagi kualitasnya buruk (lihatlah bayi-bayi yang tampak bak monster mengerikan di paruh awal). Rasanya bukan ini keseimbangan "tradisi/modernisasi" yang coba dicapai filmnya. 

22 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

sayang banget, film bagus, sepi penonton

Anonim mengatakan...

hilang sudah di layar bioskop, nggak tayang entah kemana dimana

Anonim mengatakan...

saya belum nonton, sudah tidak ada jadual tayang di layar bioskop

Anonim mengatakan...

film bagus, nggak di tonton, bikin drop layar bioskop

Anonim mengatakan...

penonton suka film horror

Anonim mengatakan...

Review Oppenheimer mana nih takut diserang fans Nolan ya karena filmnya jelek?

Anonim mengatakan...

film bagus, nggak di tonton

film jelek, di tonton

Anonim mengatakan...

nggak bagus ini film

Anonim mengatakan...

netflix menanti

Anonim mengatakan...

lumayan 1200 penonton daripada film nya joko anwar superhero cinematic universe

Anonim mengatakan...

good film

Anonim mengatakan...

indahnya masa anak anak, baik

Anonim mengatakan...

thanks mas rasyid

Anonim mengatakan...

makasih

Anonim mengatakan...

Mas terimakasih

Anonim mengatakan...

ada film yang lebih bagus nggak

Anonim mengatakan...

romantisme perkampungan sungai

Anonim mengatakan...

mendidik menghibur

Anonim mengatakan...

film bagus anak anak

Anonim mengatakan...

komikal film absurd

Anonim mengatakan...

bagus

Anonim mengatakan...

film bagus dimanaya alur nya aja bingung ntah kemana,terus banyak yang di edit apalagi di sungainya