REVIEW - ORPA

25 komentar

Orpa menggunakan formula road movie untuk membicarakan tentang proses belajar. Bagaimana individu mengunjungi tempat baru, bertemu orang baru, yang kemudian mengajarkannya berbagai pengetahuan baru, walau eksekusi filmnya sendiri tidaklah benar-benar baru. 

Theo Rumansara selaku sutradara sekaligus penulis naskah memenuhi kisahnya gesekan akibat kurangnya pemahaman terkait satu sama lain. Orpa (Orsila Murib) masih duduk di bangku SD, masih ingin menuntut ilmu, namun oleh sang ayah (Arnold Kobogau), ia dijodohkan dengan pria yang jauh lebih tua. Ayah Orpa enggan memahami mimpi sang puteri. Baginya, perempuan tidak perlu mengenyam pendidikan tinggi.

Ibu Orpa (Otiana Murib) sebenarnya memedulikan perasaan anaknya, namun ia sendiri tidak berdaya. Andai cuma harus menentang suami yang "ringan tangan", mungkin ia mampu bertahan. Tapi ada pula permasalahan ekonomi. Biaya sekolah Orpa tidaklah murah. Bahkan biaya pun harus dikeluarkan agar bisa mengambil ijazah. 

Kurang bersahabatnya sistem pendidikan bagi rakyat miskin sejatinya berpeluang menghadirkan kompleksitas. Sayang, poin ini akhirnya dikesampingkan. Pendekatan terhadap kisahnya tetap hitam putih, ayah Orpa tetap menjadi antagonis berpikiran sempit alih-alih representasi masyarakat kelas bawah yang tak punya pilihan. Kesan "bite off more than it can chew" memang muncul dari segudang ambisi penulis naskahnya untuk menyentil (terlalu) banyak isu. 

Akhirnya Orpa memilih minggat. Sebelum pergi, sang ibu mendatangi Orpa, memasukkan noken kecil miliknya ke dalam noken yang lebih besar berisi bermacam bekal. Begitulah semestinya orang tua berperan menurut film ini. Melengkapi bekal si buah hati, alih-alih merenggutnya.

Di tengah perjalanan menuju Wamena, Orpa bertemu Ryan (Michael Kho), musisi asal Jakarta yang sedang merekam suara alam untuk proyek lagu terbarunya. Ryan dikejar-kejar oleh warga setempat akibat sebuah kesalahpahaman, dan dua individu penuh perbedaan ini mau tidak mau harus melangkah bersama. 

Pada dasarnya inti road movie adalah proses belajar, sehingga keputusan Theo menerapkan genre ini untuk membungkus kisah karakternya sudah tepat. Ryan banyak belajar dari Orpa. Di awal perjalanan, ia hanyalah satu dari sekian banyak manusia perkotaan, yang dengan arogansi mereka. Daerah non-kota adalah wahana eksotis untuk dinikmati belaka. "Ilmu apa yang bisa dipetik dari tempa terbelakang itu di saat teknologi modern telah kita miliki?". 

Seiring waktu, arogansi Ryan memudar. Hal terpenting di Orpa bukan "apa yang dipelajari", namun kesediaan membuka mata akan sudut pandang baru, kemudian mengubah apa yang perlu diubah. Kegagalan berkembang dapat berakibat stagnasi fatal. Keluarga si protagonis misalnya. Sejak awal pernikahan, ayah dan ibu Orpa selalu bertengkar, bahkan tak jarang sampai ke ranah fisik. Alih-alih berubah, mereka memilih menerima dengan alasan "sudah terbiasa". 

Orpa jad simbol keengganan berkutat dalam stagnasi. Dia terus belajar, terus berjalan, dan terus berubah. Orsila Murib melakoni debut layar lebarnya dengan kenaturalan memikat. Begitu baik, sampai Michael Kho selaku partner pun tenggelam. Michael tidak buruk. Chemistry-nya bersama Orsila memuluskan visi sang sutradara yang ingin melahirkan road movie ringan yang diselingi beberapa tawa. Tapi jika Orsila tampil alami, Michael sebaliknya. Dia berusaha keras. Mungkin terlalu keras, hingga kepura-puraan kerap hadir (Ketika penonton sadar seorang aktor tengah berakting, artinya ia belum sepenuhnya berhasil). 

Orpa masih berjalan sesuai formula road movie. Familiar (kalau tidak mau disebut klise), tapi tiap poin genrenya mampu dieksekusi dengan solid. Walau ada simplifikasi yang melucuti realisme di fase konklusi, Orpa tetap tampil solid. Esensi road movie sebagai "perjalanan yang bergerak secara misterius" pun mampu diwakili. Misal sewaktu Orpa dan Ryan mendapatkan blessing in disguise sewaktu tersesat di tengah hutan, atau pertemuan dengan wanita misterius (Angelica Senggu) yang memberi sentuhan magical realism pada filmnya. 

25 komentar :

Comment Page:
Ashbar mengatakan...

Review film MAPPACCI dong, film buatan anak Makassar

Anonim mengatakan...

bang kok nggak review mappacci?

Anonim mengatakan...

film apakah ini

Anonim mengatakan...

Theo Rumansara KEREN

Anonim mengatakan...

Orpa (Orsila Murib) bocil pendatang baru terbaik 2023

Anonim mengatakan...

tayang terbatas, sangat di sayangkan

Anonim mengatakan...

film bagus pasti nggak ada yang nonton

Anonim mengatakan...

kisah yang khas komunal dari papua

Anonim mengatakan...

jarang film daerah di angkat ke layar bioskop

Anonim mengatakan...

Angelica Senggu who

Anonim mengatakan...

thanks mas rasyid

Anonim mengatakan...

bagus

Anonim mengatakan...

alam yang indah

Anonim mengatakan...

drama alternatif

Anonim mengatakan...

skor film : 7/10

Anonim mengatakan...

good road movie

Anonim mengatakan...

review yang luar biasa

Anonim mengatakan...

kapan lagi ada film sebagus ini

Anonim mengatakan...

good point, papua

Anonim mengatakan...

film indonesia tak akan habis sumber materi nya, kecuali MARVEL & DC blas kehabisan ide

Anonim mengatakan...

ketika hollywood kehilangan materi, tangkywood tetap maju

Anonim mengatakan...

bagus

Anonim mengatakan...

good film

Anonim mengatakan...

film asyik dan cerdas

Anonim mengatakan...

Bagus