REVIEW - MONSTER
Kalau dilihat memakai perspektif yang lebih positif, maka Monster adalah sebuah eksperimen. Ajang latihan para pembuatnya untuk menerapkan prinsip "show, don't tell" dengan mengedepankan penceritaan visual. Tapi jika ingin berprasangka buruk, ia sebatas penggunaan gimmick, yang tidak lebih dari style over substance meskipun berhasil tampil beda dibanding judul-judul dalam negeri kebanyakan.
Di tengah perjalanan pulang sekolah, dua bocah SD, Alana (Anantya Kirana) dan Zara (Sultan Hamonangan), diculik oleh seorang pria (Alex Abbad), lalu dibawa ke sebuah rumah di lokasi terpencil. Alana berhasil lolos dan berusaha mencari cara untuk membebaskan sahabatnya, sebelum partner si pria (Marsha Timothy) tiba di lokasi.
Memang terdengar sederhana, sebab jualan utama Monster bukanlah pada alur yang ditulis oleh Alim Sudio, melainkan keputusan meniadakan dialog. Bentuk komunikasi verbal hanyalah berupa teriakan memanggil nama yang cuma terdengar sesekali. Di mayoritas situasi, pilihan itu memang masuk akal karena Alana dituntut diam supaya keberadaannya tak diketahui para penculik.
Tapi ada kalanya, saat peniadaan kata tak memberi dampak pada bangunan intensitas atau terkesan memaksakan diri (membuat dua bocah terus membisu menciptakan pemandangan yang kurang natural), muncul tanda tanya perihal substansi. Begitu film usai, sukar menampik asumsi bahwa Monster hanyalah aplikasi gimmick. Film ini pun sering memasukkan paksa beberapa unsur (sepatu, sepeda, dll.) yang seolah ada hanya untuk mengulur waktu
Bukan berarti ia tidak bisa diapresiasi, terutama terkait cara bercerita naskahnya. Alim Sudio berhasil menanam beberapa petunjuk terkait motivasi para penculik. Petunjuk itu ditebar secara tersirat di beberapa sudut, di mana penonton dibiarkan mengaitkan benang merahnya sendiri. Alhasil dunia tempat film ini berlatar mampu dibangun, tanpa menghadirkan distraksi bagi fokus utamanya, yakni cerita sederhana mengenai upaya dua bocah kabur dari sekapan penculik.
Di kursi sutradara, Rako Prijanto turut mendapat ujian, dengan dituntut menjauhkan kesan monoton biarpun alurnya cuma berpusat di satu tempat sempit. Pengadeganan canggung yang melemahkan intensitas memang masih nampak, entah karena pilihan shot yang kurang tepat, atau susunan penyuntingan yang seolah tidak utuh.
Tapi Rako sanggup menutupi kelemahan di atas lewat beberapa momen dengan efek kejut tinggi, yang tercipta berkat kesempurnaan timing. Monster selalu mencapai titik terbaik saat dalam menyusun ketegangan, ia bersedia memanfaatkan denah rumah (misal membuat karakter mendadak muncul dari balik dinding), membiarkan adegan bergulir tanpa jeda alih-alih memotongnya di ruang penyuntingan.
Jajaran pemainnya pun berjasa besar. Menyaksikan Marsha Timothy dan Alex Abbad menebar teror non-verbal adalah sesuatu yang bisa diduga, tapi lain halnya dengan Anantya Kirana. Dialah penampil favorit saya di film ini, berkat kebolehannya mengolah beragam emosi, kemudian membawa karakternya berproses dari bocah yang dikuasai ketakutan, menjadi gadis cilik tangguh yang dipaksa mengalami pendewasaan secara instan.
Alana adalah karakter bocah paling badass di film Indonesia dalam beberapa waktu terakhir, sehingga sewaktu konklusi Monster enggan memberinya peran selaku "penyelesai masalah", ada perasaan kecewa yang tertinggal. Tapi mana pun sudut pandang yang kalian pakai, entah memandangnya sebagai eksperimen berani atau gimmick semata, di saat banyak film kita cenderung terlampau cerewet, Monster adalah bentuk penyegaran yang layak diberi kesempatan.
(JAFF 2023)
REVIEW - SARA
Pasca dua karya komersil yang tak maksimal di Arini (2018) dan Keluarga Cemara 2 (2022), lalu eksperimen melelahkan lewat Potret Mimpi Buruk (2022), melalui Sara, Ismail Basbeth bukan saja kembali ke titik terbaik, pula menghantarkan keseimbangan yang hanya bisa dicapai oleh sedikit sineas kita. Sebuah tuturan sederhana sekaligus kompleks, mengenai persoalan spesifik yang terasa universal.
Judulnya diambil dari nama si protagonis, Sara (Asha Smara Darra), seorang transgender yang pulang ke kampungnya setelah sekian lama untuk menghadiri pemakaman ayahnya. Sang ibu, Muryem (Christine Hakim), begitu terpukul atas kematian suaminya sampai mengalami amnesia, dan mengira Sara hanya wanita asing yang ditugaskan untuk merawatnya.
Permasalahan yang Sara hadapi adalah hal-hal kompleks yang khusus mendera para transgender (terpaksa menyembunyikan identitas dari sang ibu, diminta memberi waktu sampai para warga bisa menerima kehadirannya di musala), tapi naskah buatan Basbeth mengatur supaya kisahnya berjalan di ruang yang universal.
Sara bukan membicarakan persekusi yang dialami transgender. Bukannya Basbeth menutup mata, karena Sara pun tetap mendapat beberapa penolakan. Hanya saja penolakan itu tak pernah kita lihat secara langsung. Seperti si tokoh utama, kita sebatas mendengarnya dari cerita orang-orang di sekitarnya, entah Ustaz Said (Landung Simatupang), maupun Ayu (Mian Tiara) yang dahulu pernah menyukai Sara saat ia masih seorang laki-laki bernama Panca.
Akhirnya film ini dapat dipandang sebagai kisah sederhana tentang bakti anak kepada orang tua. Berangkat dari situ, secara halus Basbeth menampik stigma negatif yang kerap dialamatkan pada transgender. Mengikuti kata hati dengan mengubah gender tidak menjadikan Sara individu egois yang tak memedulikan orang tua. Dia ingin merawat sang ibu, bahkan di satu titik bersedia mengesampingkan jati dirinya supaya Muryem bahagia. Religiusitas juga tidak serta merta Sara tampik. Dia bersedia ikut salat berjamaah di musala, walau tujuan utamanya adalah menjaga Muryem.
Penceritaannya agak terbata-bata di awal, tatkala tempo lambat khas Basbeth melahirkan stagnasi kala dipertemukan dengan naskah yang terlalu lama berlarut-larut di satu fase. Tapi begitu konflik demi konflik mulai muncul, dan penelusurannya semakin mendalam, laju Sara pun makin tak terbendung.
Babak akhirnya tampil emosional, terutama saat kombinasi Asha Smara Darra yang meledak-ledak dan Christine Hakim yang lebih lembut membangun dinamika unik di sebuah adegan berlatar rumah sakit. Jajaran pendukungnya tidak kalah memikat. Landung Simatupang mencuri perhatian sebagai ustaz berpikiran terbuka, sedangkan Mian Tiara mencabik-cabik perasaan melalui luapan emosinya, ketika Ayu mengutarakan kerinduan kepada Panca yang selama ini harus ia tahan.
Sewaktu Basbeth menutup film memakai shot yang sederhana secara teknis namun indah secara makna, saya pun menyadari kepingan apa yang selama ini Sara cari. Dia berharap bisa menyebut kedatangannya ke kampung itu sebagai "kepulangan". Sara hanya ingin menemukan rumahnya lagi.
(JAFF 2023)
REVIEW - 24 JAM BERSAMA GASPAR
Menggantikan drama arthouse bertempo lambat khasnya dengan suguhan noir berbalut aksi, 24 Jam Bersama Gaspar memang sebuah langkah baru bagi Yosep Anggi Noen. Langkah berani yang sayangnya cukup tertatih-tatih dan meninggalkan setumpuk kekecewaan.
Mengadaptasi novel berjudul sama karya Sabda Armandio, 24 Jam Bersama Gaspar juga jadi kali pertama sang sutradara mengarahkan naskah orang lain (ditulis oleh M. Irfan Ramly). Apakah dua kepala ini belum selaras? Bisa jadi. Seperti ada benturan visi, antara presentasi berupa kontemplasi mengenai eksistensi, dengan kisah detektif yang ditujukan sebagai hiburan.
Sejatinya 24 Jam Bersama Gaspar memunculkan kesan pertama yang sangat positif. Sinematografi yang ditangani Gay Hian Teoh, tata artistik arahan Ahmad Zulkarnaen, juga musik gubahan Ricky Lionardi berpadu menciptakan atmosfer meyakinkan sebuah dunia distopia. Melihat siluet Gaspar (Reza Rahadian) menembus sudut kota gelap penuh kepulan asap, melahirkan pemandangan ala film noir yang menghipnotis.
Masalah mulai terdeteksi begitu alurnya bergulir. Alkisah, penyelidikan Gaspar si detektif tentang suatu pembantaian massal malah memberinya petunjuk mengenai kasus lain. Kasus yang terasa personal, karena melibatkan hilangnya teman masa kecil Gaspar. Petunjuk itu bermuara pada Wan Ali (Landung Simatupang), seorang pemilik toko emas.
Keruwetan dalam kisah noir merupakan perkara biasa. Tapi ada perbedaan besar antara konflik sarat konspirasi pelik, dengan memperumit persoalan yang sesungguhnya sederhana. 24 Jam Bersama Gaspar masuk golongan kedua. Lika-liku yang protagonisnya mesti lewati cenderung sederhana, tapi keengganan naskahnya menyediakan informasi menghasilkan keruwetan yang dipaksakan.
Apa yang Gaspar cari? Apa alasannya mengunjungi orang atau tempat tertentu? Petunjuk apa yang ia dapat? Semuanya samar. Ditambah ngebutnya tempo bercerita (yang lebih terkesan kacau daripada dinamis), butuh waktu untuk bisa menyusun keping-keping puzzle-nya.
Selepas puzzle tadi mulai tersusun, muncul masalah baru: karakternya dangkal. Di satu titik, Gaspar mengumpulkan beberapa orang guna membantu penyelidikannya. Ada Agnes (Shenina Cinnamon), Kik (Laura Basuki), Njet (Kristo Immanuel), Yadi (Sal Priadi), dan Bu Tati (Dewi Irawan). Kecuali Bu Tati, jangankan penokohan mendalam, tak satu pun dari mereka punya kekhasan untuk diingat. Kik misalnya. Kalau bukan karena kehebatan Laura Basuki menyulap materi kurang matang yang diterimanya, Kik hanya akan jadi "mantan Gaspar" yang bisa seketika lenyap dari ingatan.
Tentunya keberadaan Reza Rahadian adalah anugerah terbesar, saat ia kembali mempersembahkan performa kelas satu. Film ini membawa paham nihilisme. Diceritakan, Gaspar yang jantungnya berada di sebelah kanan tinggal punya sisa umur 24 jam, akibat alat bantu di tubuhnya mengalami kerusakan. Melalui penyelidikannya, Gaspar mencari makna hidup, tapi yang ia temukan cuma kesemuan. Kematian sebatas akhir yang tak bisa diromantisasi, sementara eksistensi manusia hanyalah perjalanan singkat menuju ke sana. Reza mampu mencurahkan keputusasaan karakternya dalam proses memahami fakta tersebut.
Di kursi penyutradaraan, pengalaman perdana Anggi Noen mengarahkan aksi membawa hasil yang solid walau belum bisa disebut "spesial". Setidaknya ia mampu menginjeksi intensitas melalui beberapa baku tembak dan kejar-kejaran, tatkala sebagai film tentang protagonis yang berpacu dengan waktu, 24 Jam Bersama Gaspar terkesan kekurangan urgensi. Angka hitung mundur yang sesekali mengisi layar jadi terasa percuma, saat karakternya sendiri bak tak terlecut untuk mengejar sisa waktu tersebut.
Kesegaran genre yang dibawa 24 Jam Bersama Gaspar jelas perlu diapresiasi, pun ia tetap menawarkan beberapa poin plus, tapi mengingat besarnya potensi yang tersimpan, harus diakui ia adalah salah satu kekecewaaan terbesar tahun ini.
(JAFF 2023)
REVIEW - SETAN ALAS!
Setan Alas! memberi pengalaman sinematik yang cukup menyenangkan. Selain karena alurnya secara liar mengutak-atik sembari mengkritik (lebih tepatnya "mengejek") pakem horor lokal, ia pun membawa semangat yang belakangan makin jarang saya temui. Semangat sekelompok individu, yang walau dihadang keterbatasan kemampuan dan sumber daya, tetap bisa bersenang-senang melahirkan karya. Semangat yang bak menggaungkan teriakan "Ini indie bung!".
"Lupakan semua yang kau tahu tentang film horor", ucap tagline-nya. Percaya diri? Sangat. Tapi mengingat Setan Alas! lahir dari kepala Yusron Fuadi yang sebelumnya menelurkan Tengkorak (2018), kepercayaan diri tersebut tidaklah mengejutkan. Yusron memang menggandrungi horor. Ketika film ini dibuka memakai aerial shot pemandangan hutan diiringi lagu sendu, saya pun curiga ia tengah mengutarakan cinta kepada Cannibal Holocaust (1980).
Alkisah lima mahasiswa (Anastasia Herzigova, Winner Wijaya, Adhin Abdul Hakim, Putri Anggie, Ibrahim Allami) berlibur ke sebuah villa terpencil di tengah hutan. Di sepanjang perjalanan, mereka meributkan potensi pertemuan dengan makhluk halus sebagaimana jamak terjadi dalam film horor. Bisa ditebak, kekhawatiran itu akhirnya jadi kenyataan.
Tentu keklisean yang terpancar dari sinopsis di atas bakal segrera diobrak-abrik oleh naskah hasil tulisan Yusron bersama Anindita Suryarasmi (B.W. Purba Negara dan Richard James Halstead turut diberi kredit "co-writer"). Jika sebelumnya Jatuh Cinta Seperti di Film-Film menghadirkan tontonan meta yang menyindir seluk-beluk industri film Indonesia secara general, maka ke-meta-an Setan Alas! mengkhususkan diri di genre horor.
Berangkat dari kejengahan sang kreator, Setan Alas! meluapkan amarah terhadap kemalasan para penulis horor tanah air, kadang secara terang-terangan melalui sumpah serapah. Memanfaatkan elemen meta-nya, film ini membebaskan diri dari belenggu formula, bergerak semaunya sendiri menuju arah-arah tak terduga yang efektif memancing rasa penasaran.
Sekali lagi, kental "semangat indie". Yusron dan tim ingin bergembira tanpa memedulikan tuntutan apa pun. Sebuah semangat yang membuat saya bersedia memaafkan setumpuk kekurangan Setan Alas!. Pertama terkait penampilan cast. Mereka telah berjuang semaksimal mungkin, namun pada akhirnya ada batasan kualitas yang belum mampu ditembus.
Padahal gaya penuturan Yusron yang berorientasi pada dialog amat bergantung pada kekuatan pelakon (itulah mengapa film pendeknya, Bambang, yang dimotori Seteng A. Yuniawan dan Ernanta Kusuma tampil memikat). Akting yang tak cukup lepas, ditambah penyuntingan kacau terutama di paruh pertama (sebuah upaya memberi kesan dinamis yang tak berjalan mulus), membuat obrolan karakternya makin melelahkan untuk diikuti, kemudian mengurangi daya hibur film.
Masalah kedua terletak pada rules. Timbul pertanyaan besar yang luput naskahnya olah terkait tokoh-tokohnya (tepatnya "penggerak" di balik segala keputusan yang mereka ambil), sehingga pembangunan dunia Setan Alas! terasa kurang utuh dan solid.
Tapi semangat dan intensi film ini tetaplah mengagumkan. Di ranah penulisan, Yusron mulai bersedia menekan tendensi "asyik sendiri" yang membuat banyak adegan bergulir terlalu lama. Pun sebagaimana Tengkorak, Setan Alas! kembali menyuguhkan pertunjukan efek spesial memukau, baik CGI yang pemakaiannya efektif, maupun efek praktikal yang memungkinkan Yusron menghadirkan "reka ulang" untuk salah satu momen paling ikonik dalam Inception.
(JAFF 2023)
REVIEW - JATUH CINTA SEPERTI DI FILM-FILM
Sejak The Raid 12 tahun lalu, saya tidak pernah mendapati audiens JAFF bereaksi seheboh para penonton yang mengisi studio tempat diputarnya Jatuh Cinta Seperti di Film-Film. Tawa dan tepuk tangan silih berganti terdengar. Mungkin karena karya terbaru Yandy Laurens ini menyentil banyak lapisan industri film Indonesia yang kerap dijadikan bahan gosip (persepsi negatif publik terhadap film hitam putih, lip service tamu gala premier, polah pelaku industri di balik layar, dll.).
Di mata para penikmat film, Jatuh Cinta Seperti di Film-Film memang akan terasa dekat. Apalagi Yandy mendesain filmnya sebagai tontonan meta, di mana Ringgo Agus Rahman dan Nirina Zubir masing-masing memerankan karakter yang juga punya nama panggilan "Gus" dan "Na", sedangkan Dion Wiyoko dan Julie Estelle memainkan diri mereka sendiri.
Alurnya membicarakan "film dalam film". Bagus (Ringgo Agus Rahman) adalah penulis naskah yang tengah mengusulkan ide terbaru pada sang produser, Yoram (Alex Abbad), yakni sebuah film hitam putih mengenai penulis naskah yang ingin menuangkan rasa cintanya terhadap si pujaan hati melalui karyanya. Pada kenyataannya memang itulah yang Bagus rasakan. Diam-diam ia menyukai teman lamanya, Hana (Nirina Zubir), yang baru beberapa bulan menjanda. Bagus berharap naskah barunya ini bisa menjadi hadiah bagi Hana.
Jatuh Cinta Seperti di Film-Film dibuka selama beberapa menit dengan format berwarna, sebelum warna itu memudar seiring rasio layar yang melebar. Pilihan teknis yang berani tersebut bukan semata bentuk gaya-gayaan, melainkan alat yang Yandy Laurens pakai untuk menguatkan narasi, kala lenyapnya kemeriahan warna justru membantu memperluas perspektif alih-alih menyempitkannya.
Begitulah proses yang Bagus alami. Dia yakin naskahnya bakal jadi kado romantis. Dia yakin perasaan Hana yang enggan jatuh cinta lagi sepeninggal sang suami adalah false belief. Dia yakin proses menulis ini akan membantunya memahami duka yang Hana rasakan. Dia yakin merahasiakan naskah itu sebelum gala premier bakal memberi efek kejut yang positif, biarpun Bagus telah berkali-kali diingatkan oleh sahabatnya, Celine (Sheila Dara), agar meminta izin Hana lebih dahulu.
Yandy bak sedang mengkritisi dirinya sendiri, juga para penulis naskah lain di luar sana. Benarkah ketika seorang penulis bertutur soal isu atau sosok tertentu, mereka benar-benar menaruh kepedulian? Ataukah (baik secara sadar atau tidak) mereka sebatas memedulikan pencapaian pribadi?
Di suatu adegan, kita melihat Hana tenggelam dalam tangis, sementara di saat bersamaan terdengar voice over Bagus dan Yoram, yang dengan santai membahas kesedihan si wanita. Apa yang bagi Hana merupakan luka tak tertahankan, rupanya cuma materi cerita di mata Bagus. Sebagai sutradara, Yandy memang jagonya merumuskan momen sederhana tetapi menggetarkan semacam itu. Saya tidak merasa dimanipulasi. Dampak emosi apa pun yang muncul adalah hasil proses mengenali tiap karakter beserta permasalahan mereka.
Tentu Yandy tidak seorang diri. Jajaran pemain pun berkontribusi besar menyalurkan rasa kepada penonton. Ketika dinamika Sheila Dara dan Dion Wiyoko sebagai pasangan suami istri yang agak eksentrik hadir selaku penyegar suasana, Ringgo Agus Rahman dan Nirina Zubir jadi motor penggerak rasa.
Ringgo melakoni tugas luar biasa berat. Dia mesti menghidupkan sosok menyebalkan yang dikuasai ego, sembari menjaga supaya tetap tersisa ruang di hati penonton untuk kelak memaafkannya. Sedangkan Nirina menghadirkan penampilan terbaik sepanjang karir layar lebarnya yang bermula hampir dua dekade lalu. Bahkan sejak pertama kali kita melihat wajah Hana, sorot mata Nirina sudah sedemikian kuat mengoyak-oyak perasaan.
Dipresentasikan dengan format hitam putih, mengedepankan dialog ala trilogi Before milik Richard Linklater, apakah itu menjadikan film ini suguhan arthouse? Tidak. Dia tampil menyenangkan, dengan selipan humor maupun beberapa kejutan terkait "film dalam film" miliknya. Jatuh Cinta Seperti di Film-Film takkan mengalienasi penonton golongan apa pun. Dia akan membantumu menguatkan, atau menemukan kembali perasaan cinta. Baik cinta antar manusia, maupun terhadap medium bernama sinema.
(JAFF 2023)
REVIEW - LA LUNA
Bagi sebagian orang, hal paling menyeramkan dalam hidup adalah perubahan. Karena perubahan membawa kebaruan. Muncul hal-hal asing yang mungkin sukar dimengerti, sehingga memancing ketakutan, bahkan kebencian di hati mereka yang sukar membuka pikiran. Pada akhirnya, demi meniadakan perubahan, kontrol sewenang-wenang pun kerap dilakukan.
Di La Luna yang merupakan produksi bersama Malaysia dan Singapura ini, kita dibawa mengunjungi Bras Basah, sebuah kampung konservatif di mana aturan agama ditegakkan secara ketat. Majalah atau produk apa pun yang menampilkan perempuan berpakaian terbuka langsung terkena sensor (foto model perempuan diwarnai memakai spidol agar nampak memakai jilbab).
Sejatinya tidak seluruh warga nyaman dengan aturan tersebut, hanya saja mereka terpaksa menurut akibat rasa takut pada si kepala desa, Tok Hassan (Wan Hanafi Su) yang memerintah dengan tangan besi. Ketika Azura (Syumaila Salihin), puteri Salihin (Shaheizy Sam) si kepala polisi, berniat menyebar petisi guna mengubah aturan kolot di sana, Tok Hassan langsung menggeledah tas si gadis remaja, kemudian menyita petisi tersebut. Tiada privasi di Bras Basah.
Harapan akan perubahan muncul sejak kedatangan Hanie (Sharifah Amani), yang dengan berani membuka toko pakaian dalam bernama La Luna, walau ditentang keras oleh Tok Hassan. Dari situlah naskah buatan sang sutradara, M. Raihan Halim, mulai mengeksplorasi permasalahan ketakutan tadi.
Tok Hassan takut pada segala jenis perubahan, bahkan di saat perubahan itu mendatangkan kebahagiaan bagi masyarakat. Entah keberadaan toko pakaian dalam yang menyulut kembali api asmara di rumah tangga banyak pasutri, maupun kala Ustaz Fauzi (Iedil Dzuhrie Alaudin) hendak mendesain khotbah agar lebih menghibur bagi jemaah.
Seiring waktu, La Luna milik Hanie turut mengalami perkembangan fungsi. Toko yang melarang laki-laki menginjakkan kaki itu menjadi ruang aman bagi perempuan. Tatkala Yam (Nadiya Nissa) tak lagi tahan atas tindak kekerasan sang suami, Pa'at (Hisyam Hamid), La Luna jadi satu-satunya tempat aman baginya. Alhasil, beberapa laki-laki membenci La Luna, sebab di sana mereka tak lagi memegang kendali. Jadilah film ini sebuah sentilan mengenai terancamnya maskulinitas lelaki.
La Luna tidak ketinggalan menyelipkan bumbu romansa antara Hanie dan Salihin, dalam kemasan komedi screwball yang bernyawa berkat kelihaian dua pemainnya saat saling melempar banter. Saya sempat khawatir dinamika percintaan keduanya bakal jatuh ke ranah klise (laki-laki jantan menolong perempuan yang ketakutan) sewaktu Salihin datang ke rumah Hanie yang dimasuki seekor ular. Tapi nyatanya momen itu jadi satu lagi amunisi filmnya untuk menyindir maskulintas.
Tentu La Luna masih menyimpan kekurangan, tapi menariknya, ia selalu menawarkan penebusan di saat bersamaan. Misal terkait karakter Tok Hassan yang seiring durasi mulai berubah dari tetua super kolot menjadi sosok yang benar-benar jahat. La Luna tak membutuhkan antagonis sekotor itu untuk dapat menyampaikan pesannya, namun di sisi lain, transformasi Tok Hassan juga melahirkan sindiran baru, yakni tentang individu yang terperosok terlampau jauh ke lubang kegelapan akibat dibutakan kebencian.
Cara naskahnya menyelesaikan permasalahan pun terlalu bergantung pada elemen kebetulan (Bagaimana jika pertemuan Tok Hassan dan Salihin terjadi di tempat lain?), yang untungnya langsung ditutupi oleh keberhasilan menyuguhkan ending hangat yang terasa membebaskan.
La Luna sama sekali bukan bertujuan menggugat nilai agama. Pesan yang ia sampaikan amat sederhana, yaitu "terbukalah pada perubahan". Cepat atau lambat perubahan akan datang. Entah modernisasi besar-besaran layaknya yang dialami warga Bras Basah, atau hal kecil seperti saat Salihin menghadapi pendewasaan Azura.
(Tayang di bioskop 6 Desember)
REVIEW - SRIMULAT: HIDUP MEMANG KOMEDI
Mengawali sekuel dengan rekap kisah sebelumnya adalah langkah wajar. Tiada salahnya mengingatkan penonton, bahkan di saat jarak dengan film sebelumnya belum terlalu lama. Tapi Srimulat: Hidup Memang Komedi adalah kasus unik. Sekitar 45-50 menit dari total 105 menit durasinya merupakan rangkuman dari Srimulat: Hil yang Mustahal.
Saya bisa memahami keputusan itu. Film pertamanya mengumpulkan 246 ribu penonton. Bukan angka besar, sehingga wajar saat ada upaya menghapus anggapan "penonton mesti menyaksikan film pertama dulu untuk bisa memahami film kedua".
Muncul pertanyaan lanjutan, "Haruskah kisahnya dipecah menjadi dua bagian?". Sekali lagi saya coba memahami keputusan tersebut. Apabila menghapus beberapa adegan tak perlu, menggabungkan keduanya jadi film berdurasi 130-140 menit sangatlah memungkinkan. Hanya saja, potensi finansial bakal terpengaruh. Berapa banyak orang bersedia menonton film sepanjang itu? Belum lagi memperhitungkan jatah showtime yang bisa terpangkas.
Secara kualitas, saya yakin menyatukan keduanya bakal berdampak positif. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Beginilah adanya Srimulat: Hidup Memang Komedi. Nikmati saja rekap super panjang miliknya, yang meski disusun dengan penyuntingan yang penuh lompatan kasar, setidaknya benar-benar diisi deretan momen terlucu film pertama.
Di sini Gepeng (Bio One) masih terjebak dalam dua perjuangan, yakni untuk merebut hati Royani (Indah Permatasari), dan berusaha supaya diterima sebagai bagian keluarga Srimulat jelang penampilan perdana nan bersejarah mereka di televisi. Basuki (Elang El Gibran) masih setia menjadi sahabat, sedangkan Tarzan (Ibnu Jamil) tetap meragukannya. Di sisi lain, kita pun dibawa melihat kelanjutan proses Kabul (Erick Estrada) menemukan karakter Tessy yang jadi ciri khasnya.
Secara materi, satu jam terakhir Hidup Memang Komedi tak sekuat pendahulunya. Walau beberapa tawa dapat dimunculkan, menandingi Hil yang Mustahal dengan "sekuen teras" miliknya memang bukan perkara gampang. Untungnya departemen akting tetap menghantarkan kualitas yang patut dikagumi.
Elang El Gibran, Zulfa Maharani, dan Ibnu Jamil kembali tampil semirip mungkin dengan figur yang mereka perankan, namun kali ini Erick Estrada jadi salah satu yang paling menonjol. Selain tidak gentar kala "bertanding" melawan Tessy sungguhan (menjadi cameo bersama Nunung), Erick mampu menggiring persepsi positif terkait citra Tessy, yang bukan sekadar mengeksploitasi para banci demi kepentingan pribadi, tapi sungguh memedulikan mereka.
Kualitas dramatik juga sanggup dihadirkan lewat chemistry Bio One dan Indah Permatasari. Senyuman mereka di kantor polisi melahirkan pemandangan hangat mengenai peleburan rasa dua manusia yang sama-sama diterjang kengerian ibukota.
Sensitivitas Fajar Nugros kala menangkap peristiwa itu menggunakan close-up juga patut diberi pujian. Sama halnya dengan penggunaan gerak lambat (nampak di sekuen pembuka Hil yang Mustahal, dan adegan merias diri di Hidup Memang Komedi). Fajar memakai teknik tersebut bukan semata agar kelihatan keren, tapi itulah caranya mengekspresikan rasa hormat pada para anggota Srimulat, yang di mata Fajar adalah sekumpulan figur-figur besar.
Srimulat: Hidup Memang Komedi sama sekali bukan film yang buruk. Dia hanyalah korban dari keputusan bisnis buruk yang tak ada kaitannya dengan kualitas artistik.
REVIEW - WISH
Dibanding beberapa rilisan terakhir Disney, Wish memang terasa generik. Tapi itu sebuah kesengajaan. Film garapan Chris Buck (Tarzan, Frozen) dan Fawn Veerasunthorn ini adalah upaya "kembali ke dasar", dalam rangka memperingati 100 tahun berdirinya Walt Disney. Sehingga di sini, formula cenderung dirayakan ketimbang didobrak.
Ditambah beberapa penghormatan berbentuk easter eggs untuk judul-judul klasik Disney (mencarinya jadi keasyikan tersendiri), wajar jika kesan familiar begitu kental. Alurnya sendiri secara literal bicara tentang "when you wish upon a star", sebagaimana lagu legendaris yang setia mengiringi logo perusahaannya, yang sanggup menyentuh hati para penggemar bahkan sebelum film dimulai.
Alkisah, di sebuah kerajaan bernama Rosas, Magnifico (Chris Pine) si penyihir sakti mengukuhkan kuasanya sebagai raja, didampingi sang istri, Amaya (Angelique Cabral). Selain membantu Magnifico mewujudkan impiannya menciptakan tempat damai yang bebas dihuni siapa saja, kekuatan itu membuatnya bisa mengabulkan segala permintaan rakyatnya.
Sementara itu, gadis 17 tahun bernama Asha (Ariana DeBose) tengah mempersiapkan diri mengikuti wawancara sebagai calon murid Magnifico. Nyatanya momen itu justru menyadarkan Asha betapa sang raja tak sesempurna anggapan orang. Tatkala ia kebingungan mesti bagaimana memproses fakta mengejutkan tersebut, sebuah bintang ajaib pengabul permintaan jatuh ke sisinya.
Sekali lagi, Wish tampil generik. Dia bahkan tak berusaha menutupi "wajah asli" Magnifico, dengan telah memposisikannya sebagai antagonis di berbagai materi promosi. Bukannya itu bakal membawa perbedaan. Andai informasi itu disembunyikan pun, Magnifico tetap bakal mudah dilupakan. Setidaknya pasca ia tergoda memakai sihir gelap, yang melucuti segala kompleksitas karakternya selaku pemimpin yang bersedia memakai segala cara demi menjaga kedamaian kerajaan.
Kenapa di perayaan seabadnya Disney malah menyasar kesederhanaan?Bagi saya itu merupakan keputusan tepat. Mereka tak lagi perlu membuktikan apa pun, sehingga bentuk perayaan terbaik adalah dengan mengingatkan mengapa penonton berbagai generasi mencintai formula mereka.
Wish berhasil menjalankan tugasnya. Formula klasik diolah secara solid, dengan beberapa modernisasi selaku cara menyesuaikan zaman, seperti menjadikan person of color sebagai protagonis, serta sentuhan elemen women's empowerment. Amaya jadi figur menarik, yang tampil bak antitesis dari stereotip "ratu kejam" dari judul-judul Disney.
Buang ekspektasi menemukan suguhan groundbreaking, maka naskah buatan Jennifer Lee dan Allison Moore bakal membawa kita melewati petualangan ringan nan menghibur, dengan deretan humor yang cukup efektif, terutama lewat celotehan Valentino (Alan Tudyk) si kambing yang bisa bicara, juga tujuh sahabat Asha yang terinspirasi dari tujuh kurcaci dari Snow White and the Seven Dwarfs.
Wish juga mempersembahkan suguhan audiovisual mumpuni. Walau takkan memperoleh status klasik, lagu-lagunya punya daya bunuh memadai untuk bisa disebut "catchy". Sedangkan pemakaian gaya animasi tradisional bak hasil sapuan cat air untuk menghidupkan latar tiap adegannya, menegaskan posisi departemen visual selaku kekuatan terbesar film ini.
Cara Wish merangkai konklusi mungkin akan terkesan "curang" bagi penonton yang mengharapkan kompleksitas maupun logika. Tapi itu pun sejalan dengan tujuan dilahirkannya film ini. Berbekal segala keajaiban miliknya, Disney mampu merealisasikan kemustahilan. Keajaiban dapat tercipta selama kita tak kehilangan harapan, lalu memohonkannya pada bintang yang benderang.
REVIEW - GAMPANG CUAN
Gampang Cuan tampil persis seperti apa yang filmnya siratkan: ringan. Tapi ringan bukan berarti asal. Karya penyutradaraan terbaru Rahabi Mandra (Detektif Jaga Jarak, Kadet 1947) ini mampu membawa tema finansial yang masih cenderung jarang diolah oleh film kita, menjadi komedi menggelitik sekaligus relevan.
Sebelum film dimulai, muncul peringatan bahwa beberapa hal terkait dunia finansial dalam alurnya tak setia dengan realita. Pilihan yang sengaja diambil atas nama dramatisasi serta komedi. Entah supaya filmnya tidak dicap "penuh plot hole", atau karena pembuatnya khawatir beberapa penonton akan terlalu sembrono dengan mengira meraup cuan segampang yang mereka saksikan di layar.
Kekhawatiran kedua amat wajar, dan berkatnya, Gampang Cuan terasa relevan. Banyak orang mendambakan "easy money", alias usaha minum dengan hasil maksimum. Mungkin itulah yang dipikirkan Sultan (Vino G. Bastian) tatkala merantau ke Jakarta.
Sultan berharap datang ke ibukota bakal membuatnya bergelimang harta. Malang, ia justru tertimbun utang. Kepada sang ibu (Meriam Bellina), Sultan mengaku punya perusahaan sendiri. Kebohongan itu terkuak ketika dua adiknya, Bilqis (Anya Geraldine) dan Aji (Alzi Markers) tiba-tiba menyusul ke Jakarta.
Ketiga kakak-beradik tersebut sama-sama terbuai impian sukses secara instan. Sultan nekat memalsukan CV agar diterima bekerja, Bilqis mengira datang ke Jakarta akan otomatis mendatangkan uang, sedangkan Aji ngotot meminta dibayari kuliah tanpa memedulikan kondisi kedua kakaknya. Benang merah penokohan yang membuktikan kalau naskah buatan Rahabi Mandra dan Syahrun Ramadhan tidaklah sedangkal kelihatannya.
Nantinya, pasca pertemuan dengan Evan (Dhimas Danang), Sultan dan Bilqis mulai mempelajari seluk beluk dunia saham, yang mereka anggap sebagai cara cepat memperkaya diri. Gampang Cuan benar-benar memanfaatkan elemen tersebut, di mana topik finansial, terutama saham, bukan dijadikan tempelan semata melainkan motor penggerak cerita, dengan pesan "satu kebohongan akan membawa kebohongan lain" turut hadir sebagai bumbu tambahan.
Berangkat dari topik tersebut, deretan humor segar pun lahir, yang tingkat kelucuannya berhasil dimaksimalkan oleh performa jajaran pemain. Vino selalu piawai merespon situasi absurd dengan reaksi yang tak kalah menggelitik, sedangkan Anya Geraldine, sebagai Bilqis yang tidak ragu memakai kekerasan tatkala dikuasai amarah, menghadirkan penampilan paling menghibur sepanjang karir. Inkonsistensi logat yang membuat Bilqis bak sudah bertahun-tahun tinggal di Jakarta pun bisa agak dimaafkan.
Tapi jasa terbesar Gampang Cuan adalah dengan memberi kesempatan pada Meriam Bellina, untuk mengingatkan penonton betapa ia adalah pelakon hebat, yang tak hanya bisa menangani karakter komikal, pula jago memainkan emosi. Sayang, akting cemerlang si aktris senior yang semestinya membuat babak akhirnya berurai air mata, sedikit ternoda oleh pilihan narasi yang patut dipertanyakan.
Filmnya bersikeras memposisikan Sultan sebagai pemimpin keluarga, padahal Bilqis lebih cerdik, sedangkan sang ibu lebih jujur dan kokoh. Kenapa harus Sultan? Kompetensi mana yang membuatnya unggul? Apakah semata karena ia laki-laki?
Untunglah konklusi Gampang Cuan tak melupakan poin penting sebuah cerita. Karakternya berproses. Segala hal positif yang mereka punya di akhir, baik di lingkup keluarga, kegiatan mencari uang, maupun soal hidup secara general, didapat berkat pelajaran yang hadir di sepanjang durasi.
REVIEW - THE HUNGER GAMES: THE BALLAD OF SONGBIRDS & SNAKES
Romeo dan Juliet beserta banyak pasangan kekasih fiktif lain yang berasal dari dua kubu berlawanan, telah membuktikan betapa kekuatan cinta bisa meruntuhkan perbedaan. Tapi jika keburukan dalam dunia tempat dua sejoli memadu kasih sudah mengakar terlampau kuat, masih mampukah cinta meluluhkannya?
The Ballad of Songbirds & Snakes yang mengadaptasi novel berjudul sama karya Suzanne Collins menunjukkan bahwa cinta mempunyai batasan. Butuh lebih dari sebatas cinta guna menghalangi transformasi remaja baik hati menjadi penguasa kejam.
Mengambil latar puluhan tahun sebelum peristiwa The Hunger Games (2012), The Ballad of Songbirds & Snakes mempertemukan kita dengan Coriolanus Snow (Tom Blyth) di usianya yang masih 18 tahun, jauh sebelum menancapkan tirani di Panem. Snow tidak selalu sejalan dengan kekejaman para penguasa Capitol seperti Dr. Volumnia Gaul (Viola Davis), namun bukan pula humanis sejati yang vokal menentang ketidakadilan terhadap para penghuni distrik. Peran itu diemban oleh sahabatnya, Sejanus Plinth (Josh Andrés Rivera).
Demikianlah pondasi yang ditanam oleh naskah buatan Michael Lesslie dan Michael Arndt, agar perubahan ekstrim Snow nantinya mudah dijustifikasi. Snow bukan individu dengan prinsip kokoh. Sehingga saat diberi tugas sebagai mentor bagi perwakilan Distrik 12 di gelaran Hunger Games kesepuluh, Lucy Gray Baird (Rachel Zegler), hati Snow seketika terpikat pada sang gadis.
Beberapa tahun lalu, keputusan memecah Mockingjay menjadi dua bagian sesuai tren masa itu melukai kualitas yang telah susah payah dibangun dua film pertama. Tercipta pembagian timpang untuk porsi drama politik dan aksi dalam Mockingjay - Part 1 (2014) dan Mockingjay - Part 2 (2015).
The Ballad of Songbirds & Snakes ibarat penebusan dosa. Keseimbangan berhasil ia raih, di mana paruh awal menghantarkan intrik politik memikat di balik layar pelaksanaan Hunger Games, termasuk perihal pemanfaatan media menggiring untuk opini massa, sebelum beralih ke suguhan aksi seru di babak kedua.
Tentu aksinya berpusat pada pelaksanaan Hunger Games kesepuluh, yang berkat penyutradaraan bertenaga dari Francis Lawrence, sanggup menghadirkan aksi saling bunuh yang intens sekaligus organik, di mana eksplorasi gerak kamera lebih diutamakan ketimbang efek komputer. Menarik pula menyaksikan perbedaan Hunger Games di era Lucy yang lebih sederhana dengan skala jauh lebih kecil (hanya berlatar di satu arena) dibanding era Katniss Everdeen.
Tidak kalah penting adalah keberhasilan The Ballad of Songbirds & Snakes menjaga bangunan dunia solid khas franchise-nya. Sebuah dunia gelap di mana kematian merupakan komoditas, dengan jurang kelas yang terlalu luas, sehingga pengkhianatan dapat terjadi segampang menarik napas.
Sewaktu Snow (kubu penindas) dan Lucy Gray (kubu tertindas) berusaha menautkan hati, kita tahu tidak ada kebahagiaan yang menanti. Dunia film ini membuat saya memahami keputusan-keputusan buruk karakternya, untuk nantinya juga memahami alasan transformasi ekstrim sang protagonis. Romeo dan Juliet pun rasanya bakal selalu dihantui kecurigaan jika hidup di Panem.
Seluruhnya sempurna sebelum kisahnya memasuki babak akhir. Titik balik yang semestinya mengoyak perasaan penonton justru tersaji hambar akibat penanganan serba buru-buru. Tidak ada momentum. Pengadeganan Francis Lawrence gagal menangkap substansi dalam interaksi subtil dua karakternya. Kosong, antiklimaks, minim intensitas emosi.
Setidaknya, The Ballad of Songbirds & Snakes berada di jalan yang tepat untuk menghidupkan lagi seri The Hunger Games. Belum lagi ditambah performa apik para pemain, terutama Rachel Zegler lewat nyanyian indah bak Puteri Disney (bak teaser menuju Snow White dua tahun lagi) dan Viola Davis yang membuktikan kalau ia pun sanggup melakoni gaya akting over-the-top, yang seperti filmnya, efektif menyajikan hiburan.
REVIEW - PAST LIVES
Past Lives membawa pengalaman sinematik yang begitu nyata, hingga ia mampu memunculkan tanya, "Apa yang akan dilakukan bila ada di posisi karakternya?". Lewat debutnya selaku sutradara sekaligus penulis naskah, Celine Song mampu menipiskan sekat pemisah antara karya dengan penikmatnya.
Kesederhanaan gaya tutur ditambah kepekaan sang pembuat terhadap manusia jadi kunci kuatnya realisme Past Lives. Dia enggan meledak-ledak bahkan di saat perjalanan hidup tokohnya cukup dramatis. Nora (Greta Lee) adalah imigran yang di umur 12 tahun pindah dari Seoul ke Toronto, dan kini menetap di New York bersama suaminya, Arthur (John Magaro). Suatu ketika, pasca puluhan tahun berpisah, Nora bertemu lagi dengan Hae Sung (Teo Yoo), sahabat lama pula cinta monyetnya semasa kecil.
Ketimbang mengikuti pakem romansa segitiga atau kisah CLBK, Celine Song memanfaatkan formula genrenya untuk membentuk proses observasi terhadap beragam kondisi manusia. Misal terkait Nora. Kegundahannya bukan sekadar didasari kembalinya cinta masa lalu. Sebagai imigran, Nora terjebak di tengah dua dunia: Hae Sung selaku personifikasi rumah yang ia rindukan beserta kenangan yang terlalu indah untuk dilupakan, dan Arthur yang mewakili realita masa kini juga langkah awal menuju masa depan.
Kisah Nora bakal terasa relatable bagi para perantau yang dihadang dilema serupa, sebagaimana cinta tak terjamah Hae Sung maupun keresahan Arthur terkait isi hati sang istri bakal mengenai "targetnya" masing-masing. Kedekatan tersebut, yang seolah mengeliminasi batasan antara film dan penonton, dapat dicapai berkat pilihan gaya Celine Song.
Pengadeganannya tak diisi letupan. Sederhana. Alih-alih diledakkan, emosi dibiarkan merasuk dengan sendirinya, tatkala tanpa sadar penonton mengamini betapa nyata Past Lives memotret realita. Sebuah realita berisi karakter-karakter yang tiada beda dengan manusia biasa seperti kita, mengunjungi tempat-tempat yang wajar dikunjungi manusia biasa seperti kita, kemudian mengalami situasi yang pernah dialami manusia biasa seperti kita.
Departemen akting pun berjasa memanusiakan jajaran karakternya. Greta Lee melalui kesubtilan memainkan gesekan batin Nora; Teo Yoo meleburkan kebahagiaan dan kegetiran pria yang mendambakan cinta; John Magaro mencurahkan dilema seorang suami yang sekuat tenaga coba berlapang dada demi membahagiakan sang istri, walau secara alamiah merasa terganggu atas kedatangan "pesaing". Tidak ada antagonis di Past Lives. Tidak ada "pengganggu" maupun "cinta yang dicuri". Hanya ada gambaran wajah realita yang penuh tanda tanya.
Segala pencapaian di atas mencapai puncaknya di ending yang niscaya bakal mengendap di hati, jauh setelah kredit bergulir. Sekali lagi Celine Song jeli menyalurkan emosi, kali ini lewat keheningan yang membuat dunia seolah membeku beberapa saat. Karena pada akhirnya memang tidak ada lagi yang karakternya dapat ucapkan maupun lakukan. Mereka hanya bisa menggenggam erat masa lalu sebagai kenangan, berjalan mengarungi masa kini, sembari berharap masa depan bersikap lebih ramah.
REVIEW - THE KILLER
Mengadaptasi komik berjudul sama karya Alexis Nolent, The Killer merupakan eksperimen David Fincher terhadap formula cerita balas dendam, di mana sang sutradara membawa pendekatan lebih artsy, lalu menjadikannya observasi mengenai psikis manusia.
Bukan manusia biasa yang diberi sorotan, melainkan pembunuh bayaran tanpa nama (Michael Fassbender). Si pembunuh sangat berpengalaman dalam profesinya. Modus operandi untuk menyempurnakan tugas telah ia kuasai, yang turut penonton pelajari melalui voice over yang mengisi nyaris sepanjang durasi. Seluruh detail diperhatikan, termasuk detak jantung yang konon tak boleh melebihi 60 kali per menit guna menjaga ketepatan saat menarik pelatuk.
Dia begitu ahli, sampai pekerjaan berbahaya tersebut kini menjadi rutinitas membosankan. Walau demikian, The Killer dengan tempo lambat miliknya jauh dari membosankan. Babak pembuka yang mengambil latar Paris adalah sajian prosedural memikat yang mengajak penonton menyerap kesendirian serta kecemasan karakternya, sebelum nantinya, tanpa disadari ketegangan sudah menaikkan detak jantung kita melebihi angka 60 per menit.
Tapi meski dibekali pengalaman segudang serta persiapan luar biasa teliti, si pembunuh gagal menjalankan tugasnya. Tembakannya meleset. Dia pun kabur dari kejaran polisi, kemudian saat Fincher mengarahkan kamera ke roda motor si protagonis yang bergulir di atas jalanan licin kota Paris, saya bertanya-tanya, "Apa dia akan terpeleset?". Kecemasan karakter utamanya sudah menular.
Pelarian tersebut segera berubah jadi aksi balas dendam sewaktu si pembunuh mendapati kekasihnya, Magdala (Sophie Charlotte) diserang oleh dua pembunuh lain. Terdengar sederhana, namun seiring waktu, naskah buatan Andrew Kevin Walker mulai menyiratkan fakta lain. Benarkah balas dendam dengan cara membunuh para penyerang sang kekasih merupakan tujuan utama si protagonis?
Sekali lagi, tokoh utama The Killer adalah individu yang terjangkit rasa bosan akut. Saking bosannya, ia menarasikan semua hal, yang seolah jadi jalan menghibur diri. Sembari mendengarkan lagu-lagu The Smiths, kalimat "Stick to your plan. Anticipate, don't improvise. Trust no one. Never yield an advantage. Fight only the battle you're paid to fight" berulang kali ia ucapkan dalam hati. Hidupnya berkutat di aturan buatan sendiri tersebut, yang akhirnya membentuk rutinitas monoton.
Selepas kegagalan misi di Paris, kalimat di atas tetap ia gumamkan, namun acap kali muncul tindakan berlawanan. Si pembunuh mulai luput mengantisipasi detail, sesekali berimprovisasi, menaruh kepercayaan pada orang lain, dan pastinya, terlibat pertarungan tanpa bayaran. Apakah itu wujud kecerobohan? Pertemuan dengan karakter yang dipanggil The Expert (Tilda Swinton) menggoyahkan anggapan itu.
Di satu titik terjadi perkelahian antara si pembunuh melawan sosok bernama The Brute (Sala Barker). Fincher memamerkan kebolehan menangani baku hantam hard-hitting yang begitu brutal hingga mengobrak-abrik seisi rumah. Ada banyak cara yang protagonis kita dapat tempuh untuk melangsungkan eksekusi, tanpa harus beradu fisik dengan pria yang jauh lebih besar darinya.
Mungkinkah pilihan di atas merupakan kesengajaan yang diambil demi injeksi adrenalin penghilang kebosanan? The Killer bukan kisah balas dendam biasa, melainkan proses mengamati benturan antara "should" dan "want" dalam batin individu. Rasa bosan memang berbahaya.
(Netflix)
REVIEW - SIJJIN
Merupakan remake dari film Turki berjudul Siccîn (2014), Sijjin mengajak penonton mengikuti hitung mundur selama lima hari, sebelum karakternya tewas akibat santet. Lima hari yang membosankan, karena berlalu tanpa sense of urgency maupun investigasi misteri.
Korban santet itu adalah Nisa (Niken Anjani). Tidak banyak yang kita bisa pelajari tentangnya, kecuali statusnya sebagai istri dari Galang (Ibrahim Risyad) dan ibu bagi Sofia (Messi Gusti) yang menderita kebutaan. Sebelum kesurupan, kita lebih sering melihat Nisa menyajikan minuman. Bagaimana bisa muncul kepedulian terhadapnya?
Porsi lebih banyak diberikan untuk Irma (Anggika Bolsterli), si pelaku santet yang ingin merebut Galang, meski si pria bersuami merupakan sepupunya sendiri. Mungkinkah naskah buatan Lele Laila sejak awal memang berniat mengeksplorasi kompleksitas karakter Irma? Tidak juga. Irma justru menegaskan penokohan stereotipikal film ini. Sebagai pelakor ia memakai riasan tebal dan pakaian seksi, sedangkan Nisa selaku korban tampil lebih natural.
Pasca menunjukkan sedikit peningkatan di Ivanna dan Primbon, Lele Laila kembali ke setelan pabrik, mengisi 100 menit durasinya dengan kompilasi teror generik tanpa diimbangi penceritaan memadai. Ide dasarnya tak kekurangan potensi, hanya saja naskahnya enggan melakukan eksplorasi. Misal bagaimana anjuran mengenakan kerudung yang hadir dalam dua situasi berlawanan tak pernah berkembang jadi penelusuran lebih jauh mengenai religiusitas.
Potensi misteri pun sejatinya film ini miliki, ketika Irma turut mendapat gangguan mistis. Tapi sekali lagi, naskahnya luput mengolah elemen itu secara layak. Rasa penasaran gagal dipancing, karena karakternya sendiri tak berusaha mencari jawaban. Lalu bagaimana dengan penyakit misterius yang diderita ibu Galang (Elly D. Luthan)?
Setidaknya Sijjin disokong oleh penampilan solid Anggika Bolsterli. Bersama tata artistik apik garapan T. Moty D. Setyanto yang efektif memancing rasa jijik lewat jeroan-jeroan hewan yang dibuat dengan meyakinkan, akting Anggika menjadi jangkar yang menjaga film ini tidak karam. Begitu kuat pengaruh Anggika, tatkala ia absen beberapa waktu di babak kedua, Sijjin langsung kehilangan nyawa.
Di departemen penyutradaraan, memasuki horor keenamnya, Hadrah Daeng Ratu masih juga belum piawai menyusun intensitas. Klimaks yang semestinya menegangkan sekaligus menyakitkan melalui dua teror yang hadir secara simultan justru hadir minim energi. Timing, gerak kamera, hingga pilihan shot, semuanya lemah.
Sijjin ditutup oleh teks yang mendeskripsikan kejadian pasca kisahnya berakhir, bak biopic tengah merangkum perjalanan hidup karakternya di luar cakupan cerita film. Konon film orisinalnya memang diangkat dari kisah nyata, namun Sijjin sama sekali tidak pernah menekankan poin tersebut, sehingga teks penutupnya berakhir sebagai pilihan tanpa arti, sama seperti cara naskahnya bernarasi sepanjang durasi.
REVIEW - THE MARVELS
Kepuasan terbesar menyaksikan format shared universe seperti MCU tentunya saat tercipta keterkaitan antar judul. Bukan semata berbentuk kemunculan karakter (meski fan service semacam itu juga menghadirkan hiburan tersendiri), tapi saat crossover tersebut mendukung kekuatan penceritaan, termasuk memberi dampak emosi.
Salah satu momen favorit saya di The Marvels adalah adegan singkat ketika Muneeba (Zenobia Shroff), ibu dari Kamala Khan (Iman Vellani), pasang badan untuk melindungi sang suami (Mohan Kapur) dari serangan Kree. Pemandangan itu terasa menyentuh karena hubungan keluarga Kamala telah kita saksikan di serial Ms. Marvel. Kita mengenal mereka, memahami dinamika perasaan mereka, akrab pula dengan kejenakaan mereka yang rutin jadi penyegar situasi film ini.
Di antara beberapa judul MCU terakhir, The Marvels memang salah satu yang paling solid perihal menyeimbangkan kualitas sebagai suguhan stand-alone, dengan tugas mengembangkan semestanya. Alkisah, pasca prajurit Kree bernama Dar-Benn (Zawe Ashton) menemukan gelang serupa dengan yang dipunyai Kamala, terjadilah fenomena aneh. Carol Danvers (Brie Larson), Monica Rambeau (Teyonah Parris), dan Kamala terus bertukar tempat tiap menggunakan kekuatan masing-masing.
Konflik tadi sejatinya berfungsi menanam benih menuju banyak peristiwa besar di masa depan MCU (khususnya mid-credits scene yang menyulut antusiasme), namun naskah buatan sang sutradara, Nia DaCosta, bersama Megan McDonnell dan Elissa Karasik, mampu menjaga supaya The Marvels tidak terbebani oleh tugas tersebut dan terfokus pada dirinya sendiri.
Penceritaannya memang tak selalu mulus, khususnya terkait fenomena kosmik miliknya yang tampil lebih ruwet dari seharusnya. Naskahnya menjadikan keruwetan tersebut sebagai materi humor, namun daripada wujud self-mockery menggelitik, itu lebih terasa seperti upaya berkelit dari ketidakmampuan bertutur secara rapi.
Tapi penokohannya patut diberi pujian. Menyelipkan ambiguitas pada Carol, mengubahnya dari figur jagoan sempurna menjadi individu yang mempertanyakan aksi "kepahlawanannya" sehingga dihantui rasa bersalah, adalah keputusan menarik. Presentasinya mungkin tidak mendapat penggalian yang mendalam, namun sanggup menambah warna baru untuk formula MCU. Sayang, ambiguitas moral yang juga dipunyai Dar-Benn luput dieksplorasi. Alhasil, potensi melahirkan satu lagi villain kompleks gagal terpenuhi.
Sedangkan terkait kemampuan menghibur, The Marvels mengungguli pendahulunya. Sekali lagi, kesempurnaan memang belum didapat. Ada kalanya, baik departemen penyutradaraan, tata kamera, maupun editing (atau ketiganya di saat bersamaan), bak kekurangan energi, tak kuasa memaksimalkan konsep "bertukar tempat" guna menciptakan gelaran aksi unik nan dinamis, tapi untungnya The Marvels masih menyimpan segudang amunisi lain.
Goose si kucing alien kembali mencuri perhatian, kunjungan ke planet Aladna yang dipimpin Yan (Park Seo-joon) mengembuskan angin segar melalui sentuhan elemen musikal tak terduga, dan terpenting, jajaran pemainnya tahu cara bersenang-senang. Trio Larson-Parris-Vellani menghidupkan semangat "girls just wanna have fun", mengajak penonton ikut bergembira, untuk kemudian bersedia turut serta melanjutkan perjalanan bersama mereka mengarungi semesta yang semakin luas.
REVIEW - KULTUS IBLIS
Pada tahun 2018, Timo Tjahjanto merilis Sebelum Iblis Menjemput. Ada kesan gahar berkat pemakaian "iblis" di judulnya. Popularitas kata "hantu" pun bergeser. Lima tahun berselang, iblis bak telah kehilangan wibawa akibat eksploitasi industri. Di bulan November saja bakal ada tiga film bertajuk "bla bla bla iblis", dengan Kultus Iblis selaku pembuka.
Naya (Yasamin Jasem) dan Raka (Fadi Alaydrus) adalah sepasang anak kembar. Sewaktu jenazah sang ayah yang tewas mengenaskan tiba-tiba menghilang, keduanya menemukan beberapa petunjuk yang mengarah ke kampung halaman ayah mereka. Di sanalah Naya dan Raka melakukan penyelidikan, sebelum dihadapkan pada ancaman sebuah kultus iblis.
Adakah poin yang membuat film ini menonjol dibanding barisan "kembarannya"? Ya dan tidak. Ya, karena skenario buatan Ilya Aktop dan Ami Murti sejatinya menyimpan faktor pembeda dalam hal detail ritual kultusnya. Beberapa persyaratan yang mesti dipenuhi cukup menarik, termasuk adanya aspek kontroversial berupa praktik inses.
Tapi berbagai modal di atas terasa mubazir sewaktu kedua penulis tak mampu mengolahnya menjadi penceritaan memadai. Pertama, tiada alasan untuk memedulikan misterinya. Ayah protagonisnya mengalami nasib nahas nan misterius. Lalu? Kenapa kita harus peduli? Naskahnya luput mencuatkan pertanyaan yang bisa memancing rasa penasaran.
Kedua, ketimbang menyebar beragam pembeda tadi secara merata di sepanjang durasi, serupa kelemahan banyak horor kita, naskahnya menumpuk semuanya di paruh akhir, pula cuma disinggung sejenak tanpa eksplorasi yang layak. Hal-hal yang semestinya dijadikan pondasi cerita hanya diperlakukan bak sekilas info.
Alhasil 98 menitnya tetap terasa kosong, dengan sederet adegan yang tampil melelahkan akibat bergulir secara berlarut-larut. Keberanian konklusinya bermain di ranah yang tergolong kelam pun jadi percuma akibat lemahnya proses menuju ke sana. Belum lagi ditambah masalah performa akting yang kurang seimbang. Ketika Yasamin Jasem kembali bermain solid sebagai calon scream queen masa depan yang ahli mengolah ketakutan, pasangannya, Fadi Alaydrus, nampak terlalu kaku untuk bisa menarik perhatian.
Terkait teror, sebagaimana telah ia perlihatkan di Pamali: Dusun Pocong, Bobby Prasetyo yang duduk di kursi sutradara kentara menyimpan bakat dalam hal mengatur timing suatu jumpscare. Hanya saja, tatkala tiap penampakan rutin dibarengi efek suara pemecah gendang telinga, daripada ketakutan, justru kelelahan berkepanjangan yang filmnya berikan.
REVIEW - LOVE RESET
Love Reset mempertanyakan banyak hal tentang cinta, khususnya bila ia berujung luka. Apakah adanya luka menandakan lenyapnya cinta yang mengharuskan dua sejoli mengakhirinya? Terdengar klise, tapi di tangan sutradara Nam Dae-jung, yang turut menulis naskahnya bersama Bang Gi-cheol, perombakan atas formula komedi romantis klasik justru terjadi.
Lihat saja saat Jeong-yeol (Kang Ha-neul) meratapi keputusan mantan kekasihnya, Na-ra (Jung So-min), untuk menikah. Momen serupa biasanya diletakkan sebagai transisi antara babak kedua dan ketiga, tatkala si protagonis pria menyadari segala kesalahan, kemudian memantapkan hati untuk merebut hati si wanita lagi. Love Reset memakainya sebagai sekuen pembuka.
Singkat cerita, Na-ra memilih kembali ke pelukan Jeong-yeol. Keduanya pun menikah, namun setelah beberapa tahun, surga cinta mereka berubah jadi neraka. Tiada hari tanpa pertengkaran besar, sehingga keputusan bercerai pun terpaksa diambil. Malang, 30 hari sebelum resmi berpisah, sebuah kecelakaan membuat keduanya mengalami amnesia.
Ya, bukan cuma satu karakter yang kehilangan ingatan di Love Reset, melainkan dua orang di saat bersamaan. Itu pun satu dari sekian banyak upaya merombak formula khas romansa Korea di filmnya. Love Reset bak mengajak penonton menertawakan keklisean tersebut, lalu memarodikannya. Alhasil, alurnya kerap bergerak ke arah tak terduga.
Demikian pula komedinya. Baik dari penulisan maupun pengadeganan, Nam Dae-jung diberkahi comic timing kelas satu yang mampu mengecoh ekspektasi. Sebutlah pertemuan perdana Jeong-yeol dengan ibu Na-ra (Jo Min-soo), hingga adegan "kartu kredit" yang secara cerdik mengolah sudut kamera dan penyuntingan guna melahirkan peristiwa lucu nan mengejutkan.
Selain menggila kala menangani ragam humor absurd, Kang Ha-neul dan Jung So-min menjalin chemistry yang jadi motor elemen romansanya. Ketika berbahagia, percikan cinta manis terpancar dari mata masing-masing, namun sebaliknya, sewaktu hubungan keduanya memburuk, amarah menguasai tatapan mereka. Amarah dua manusia terluka yang mempertanyakan, "Kenapa cinta kita berakhir seperti ini?".
Tersimpan suatu momen unik dalam babak ketiga Love Reset, ketika Jeong-yeol coba mengingat kenangan bersama Na-ra, tetapi yang muncul di kepalanya malah kilas balik penuh kepahitan ketimbang keindahan. Mungkin romantika memang bukan soal "selalu bahagia", namun bagaimana kita menjaga supaya ingatan menyakitkan tak menutupi memori bahagia.
Pada akhirnya, Love Reset adalah tentang proses memberi waktu bagi cinta. Itulah mengapa pengadilan memberi 30 hari bagi pasangan yang hendak bercerai untuk berpikir ulang. Bahkan setelahnya ada tenggat waktu penyerahan berkas, yang jika melebihi tiga bulan, perceraian itu dinyatakan batal. Sebab bukan mustahil, cinta yang dikira telah mati sebenarnya tengah menunggu saat yang tepat untuk tumbuh dan menguat.
25 komentar :
Comment Page:Posting Komentar