REVIEW - THE SUBSTANCE

1 komentar

Puas. Begitulah kesan yang muncul selepas menonton pemenang naskah terbaik di Festival Film Cannes 2024 ini. Ibarat makanan, The Substance memiliki segalanya, dari kelezatan cita rasa, gizi memadai, hingga porsi mengenyangkan. Wajar jika durasinya menyentuh 141 menit, dan selepas filmnya usai, karya terbaru Coralie Fargeat ini bakal membuat sebagian besar penonton berujar, "I couldn't ask for more". 

Mendesain filmnya sebagai body horror, Fargeat menumpahkan segala macam teror yang bisa dihasilkan oleh subgenre tersebut, dari luka-luka menyakitkan, hingga serangkaian transformasi aneh nan menjijikkan yang tubuh karakternya alami. 

Tapi tanpa transformasi itu pun, Elisabeth Sparkle (Demi Moore) telah menganggap tubuhnya menjijikkan karena faktor usia. Seorang bintang Hollywood di masa jayanya, kini di usia 50 tahun, Elisabeth hanyalah pembawa acara aerobik di televisi. Bahkan pekerjaan itu juga lepas dari genggamannya, akibat sang produser, Harvey (Dennis Quaid), ingin mencari sosok baru yang jauh lebih muda. 

Kita tahu mengapa Fargeat menamai karakternya "Harvey". Perangai eksentrik cenderung cartoonish, serta sikap merendahkan perempuan yang kerap sang produser tampakkan, membuatnya seperti peleburan antara Harvey Weinstein dan Vince McMahon. "Perempuan berumur 50 tidak lagi menarik", ucapnya sembari mengunyah udang dengan amat agresif sampai mengotori meja dan pakaian. Harvey tidak sadar bahwa dialah yang lebih menjijikkan. 

Agresivitas sang produser ditekankan oleh pemakaian close-up ekstrim, sebagai cara menyimbolkan, bahwa tendensi laki-laki menghakimi tubuh perempuan adalah tindakan yang menginvasi privasi. Sebagai perempuan, Elisabeth didorong untuk membenci dirinya sendiri oleh para laki-laki, yang kebetulan banyak memegang kuasa sehingga mampu menyetir perspektif publik. 

Elisabeth pun merasa kesepian. Kita melihat bagaimana semua orang, dari sang produser hingga dokter, cenderung menghindari interaksi dengannya dan pergi secara tiba-tiba kala menemuinya. Dari situlah Elisabeth tergoda untuk mencoba serum "The Substance"  yang menjanjikan terciptanya versi lebih sempurna dari sang pengguna. Maka lahirlah sosok baru yang jauh lebih muda. Dia dipanggil Sue (Margaret Qualley). Semua berjalan mulus di awal, sampai perubahan-perubahan fisik yang tak menyenangkan mulai terjadi. 

Cara kerja serum "The Substance", yang memiliki aturan jelas berkat terjabarkannya detail secara menyeluruh, menunjukkan betapa kuat naskah buatan Fargeat dalam mengembangkan konsepnya. Seperti telah disebutkan, durasinya yang cukup panjang benar-benar dimanfaatkan semaksimal mungkin. 

Pecinta film genre akan dibuat kagum oleh keliaran body horror yang tak menahan diri, sedangkan penyuka karya artsy bakal terpuaskan oleh eksplorasi isu yang relevan, serta tergalinya aspek psikolgosi si tokoh utama yang memberi peluang bagi Demi Moore untuk menggila. Tatkala Margaret Qualley sempurna mewujudkan konsep "kecantikan yang mematikan", Demi Moore (terutama di babak akhir) menanggalkan semua citra elegan miliknya, guna menumpahkan seluruh luka yang Elisabeth alami, baik fisik maupun psikis. 

The Substance bukan suguhan blockbuster, namun Fargeat memastikan bahwa theatrical experience merupakan cara terbaik untuk menikmati karyanya. Visualnya cantik. Sinematografi arahan Benjamin Kracun mampu menangkap tata artistiknya yang indah tetapi kosong, sama seperti gemerlap dunia hiburan yang memenuhi pikiran Elisabeth. Tata suaranya di luar dugaan terdengar bombastis. Berkatnya, terbangun atmosfer yang dapat menenggelamkan penonton dalam mimpi buruk bernama "standar kecantikan".

Babak ketiganya jadi panggung bagi semua departemen yang terlibat. Sebuah panggung berisi pertunjukan body horror sinting yang takkan nampak kerdil di hadapan karya-karya David Cronenberg sekalipun. Anggota tubuh yang berubah wujud secara berkala, dari sekadar kerutan biasa hingga transformasi bak monster, menjadi sajian utama. Didukung efek praktikal kelas wahid, Coralie Fargeat menumpahkan banjir darah yang mengalir sederas judul-judul ikonik seperti Evil Dead (2013) dan Braindead (1992). 

1 komentar :

Comment Page:
Goro Majima mengatakan...

emang boleh isu body dysmorphia digoreng se-resident evil itu? BOLEH BANGETTT, film ini hasilnyaa🤩🤩