REVIEW - MY ANNOYING BROTHER

Tidak ada komentar

Adakah urgensi yang dapat menjustifikasi penciptaan remake ini? Mungkin tidak, tapi jika kita ubah perspektifnya menjadi "menghadirkan tontonan crowd-pleaser ringan", maka My Annoying Brother telah mencapai tujuannya. Sebuah contoh tentang bagaimana cara membuat ulang sesuatu yang telah memiliki pondasi solid. 

My Annoying Brother versi orisinal (rilis 2016) adalah film yang "aman" sekaligus universal, sehingga remake-nya tidak memerlukan banyak modifikasi bersifat kultural. Ditangani naskahnya oleh Deliesza Tamara, Tumpal Tampubolon, dan Sheila Timothy, alurnya masih menggunakan templat serupa.

Alkisah ada dua kakak-beradik dengan perangai serta kehidupan bertolak belakang. Kemal (Angga Yunanda) merupakan atlet judo muda harapan bangsa, sementara kakaknya, Jaya (Vino G. Bastian) justru mendekam di penjara. Sudah bertahun-tahun mereka berpisah sejak Jaya kabur dari rumah, yang membuat Kemal, di usia 15 tahun, mesti menguburkan kedua orang tuanya sendiri. 

Ketika cedera di suatu pertandingan merenggut penglihatan Kemal, Jaya mengajukan pembebasan bersyarat dengan alasan ingin merawat sang adik. Tapi Jaya, sebagai si "annoying brother" justru memakai kebebasan itu untuk bersenang-senang semaunya, sedangkan Kemal terjerumus dalam depresi akibat kehancuran karirnya. Amanda (Caitlin Halderman) selaku pelatihnya pun kesulitan mendorong Kemal supaya bangkit dan berpartisipasi di ajang Paralimpiade. 

Satu yang langsung mencuri perhatian saya sejak reuni kakak-adik ini adalah, bagaimana Jaya, semenyebalkan dan sejahat apa pun dia, sudah menunjukkan secercah kebaikan sedari awal durasi. Berbeda dengan sosok Go Doo-shik (Jo Jung-suk) di versi asli, hal-hal kecil yang Jaya lakukan sejak kepulangannya, menampakkan jejak-jejak kasih sayang kepada sang adik. 

Hal di atas membuat transformasi Jaya nantinya tidak terkesan tiba-tiba, dan terasa sebagai bagian natural sebuah proses. Saya menikmati betul dinamika dua manusia yang sejatinya sama-sama mendambakan kasih sayang namun terhalang oleh luka masa lalu ini. Apalagi Vino G. Bastian dan Angga Yunanda tampil dengan love-hate chemistry yang mengalir mulus. 

Angga tidak tampak kagok maupun dibuat-buat kala memerankan individu dengan kebutaan, pun kembali membuktikan kapasitasnya selaku salah satu aktor muda yang jago mengolah rasa. Di sisi lain, Vino begitu jago dalam misinya mengaduk-aduk emosi penonton. Lihat aktingnya di "adegan karaoke" yang mampu memaksimalkan iringan lagu Ruang Baru milik Barsena Bestandhi. 

Kristo Immanuel sebagai Fauzan, kawan sekaligus lawan dari Jaya, turut mencuri perhatian, berkontribusi memaksimalkan elemen komedinya. Saya menyukai penokohan Fauzan di sini. Berbeda dengan Dae-chang (Kim Gang-hyun) dari versi Korea, sosok Fauzan yang bukan muncul secara acak menekan sisi absurd yang mungkin kurang sesuai bagi selera penonton Indonesia. 

Sebenarnya tak ada yang benar-benar menonjol dari cara sang sutradara, Dinna Jasanti, mengarahkan filmnya. Baik adegan drama, komedi, maupun pertandingan judo, semua diarahkan sesuai formula. Bahkan harus diakui ada kalanya ia terlalu memaksa penonton meneteskan air mata. Tapi "sesuai formula" adalah kata kuncinya. Dinna tahu My Annoying Brother tak memerlukan modifikasi atau balutan gaya eksentrik. Dia biarkan semua mengalir apa adanya, sesuai pondasi yang memang sudah kokoh.

Berkatnya, semua bekerja dengan baik. Penonton kasual bakal membanjiri filmnya dengan sebutan "menyentuh" dan "lucu". Sebuah tontonan yang mengingatkan penontonnya untuk jangan menyia-nyiakan momen kebersamaan dengan orang-orang tercinta. Kita tidak tahu kejutan apa yang sudah disiapkan sang takdir.

Tidak ada komentar :

Comment Page: