REVIEW - 1 KAKAK 7 PONAKAN
1 Kakak 7 Ponakan beberapa kali menampilkan momen perpisahan. Tokoh-tokohnya saling melambaikan tangan sembari berseru, "Dadah!", dan tidak berhenti hingga masing-masing lenyap dari pandangan. Tapi alih-alih cuma air mata, senyuman senantiasa mewarnai pemandangan tersebut. Mungkin karena bagi karakternya, aktivitas itu bukan mewakili ucapan "selamat tinggal", melainkan "sampai jumpa" dan "aku ingin menghabiskan waktu lebih lama denganmu".
Yandy Laurens, selaku sutradara sekaligus penulis naskah dari adaptasi untuk sinetron berjudul sama buatan Arswendo Atmowiloto ini (kedua kalinya Yandy mengadaptasi karya Arswendo setelah Keluarga Cemara), memang diberkahi sensitivitas dan kreativitas yang sama tingginya. Alhasil selama 129 menit durasinya, 1 Kakak 7 Ponakan bak enggan berhenti menguras air mata, namun tidak secara murahan.
Si kakak yang dimaksud di judul adalah Moko (Chicco Kurniawan). Pertama berkenalan dengannya, Moko sedang bersiap menghadiri sidang skripsi. Sang kakak, Agnes (Maudy Koesnaedi), beserta suaminya, Atmo (Kiki Narendra), membantu Moko memakai dasi. Moko memang tinggal selangkah lagi memperoleh gelar Sarjana Arsitektur, tapi di rumah, ia masih "anak kecil" milik kakaknya.
Lalu terjadilah tragedi. Atmo meninggal akibat serangan jantung, dan Agnes menyusul beberapa saat kemudian selepas melahirkan. Hari yang semestinya membawa harapan bagi masa depan Moko, kini cuma menyisakan penderitaan. Ketika Moko menerima kabar duka tersebut dari pacarnya, Maurin (Amanda Rawles), Yandy membisukan kata-kata dari mulut karakternya, mengisi adegan dengan iringan musik lirih yang membuat momen itu makin mencabik-cabik hati. Duka yang sedemikian besar, hingga kata-kata pun tak kuasa mewakilinya.
Kini Moko mesti menghidupi anak-anak kakaknya: Woko (Fatih Unru), Nina (Freya JKT48), Ano (Nadif H.S.), dan Ima yang masih bayi (total diperankan oleh tujuh bocah). Belum lagi ketika Pak Nanang (Ence Bagus), guru piano Moko dahulu, menitipkan putrinya, Gadis (Kawai Labiba), untuk tinggal bersamanya sementara waktu.
Nasib Moko memang malang. Dia ditinggal mati keluarga sekaligus cita-citanya. Ketika kakaknya, Osa (Niken Anjani), beserta sang suami, Eka (Ringgo Agus Rahman), pulang dari Australia dan turut menggantungkan hidup kepadanya, Moko pun terjerat nasib berat khas sandwich generation. Banyak air mata akan tumpah, apalagi saat kepekaan Yandy berpadu dengan lagu-lagu Sal Priadi, yang seperti sang sutradara, jeli menyulap kesederhanaan jadi keindahan.
Bukan berarti 1 Kakak 7 Ponakan adalah tearjerker yang cengeng. Sebaliknya, banyak pemandangan penyulut tangis justru bernuansa positif. Sebutlah saat secara cerdik Yandy menyulap Google Maps jadi medium bagi sebuah keluarga menghabiskan waktu yang bermakna bersama-sama. Sewaktu permasalahan mendera, ada kalanya alih-alih berurai air mata, karakternya memilih menjadikan kesialan sebagai bahan candaan yang jenaka.
Di sisi lain, selipan romansanya pun bukan sebatas pemanis hampa. Hubungan Moko dan Maurin adalah percintaan yang dewasa. Ungkapan cinta tak lagi mereka tuangkan lewat kata-kata gombal, melainkan kesediaan menjadi wadah bagi segala keluh kesah. Senyum Moko mengembang paling luas ketika ia berkesempatan menceritakan seluruh suka duka dalam hari-harinya, sembari didengarkan dengan antusiasme tinggi oleh Maurin.
Romansanya turut berkontribusi memberikan salah satu momen paling kreatif di sepanjang filmnya, yakni ketika Moko dan Maurin terlibat pembicaraan dalam mobil yang tengah dicuci, lalu warna pink yang manis nan magis mulai menyelimuti dunia mereka.
1 Kakak 7 Ponakan memang dipenuhi momen superior sedari awal berkat kejeniusan Yandy Laurens, namun jasa jajaran pemainnya juga pantang dikesampingkan. Trio Fatih-Freya-Nadif yang mendukung tersampaikannya dinamika emosi, Amanda Rawles yang lewat kompleksitas aktingnya kembali membuktikan kelayakan diapresiasi lebih tinggi, Ringgo yang bakal banyak menyulut sumpah serapah penonton, dan tentunya Chicco Kurniawan dengan mata yang berkaca-kaca sampai seolah bisa merefleksikan pergulatan batin karakternya.
Melalui 1 Kakak 7 Ponakan, Yandy Laurens kembali mengingatkan bahwa harta yang paling berharga adalah keluarga, beserta segala momen-momen kebersamaan yang semestinya tak terhalang oleh dinding pemisah berbentuk apa pun.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar