REVIEW - DROP

Tidak ada komentar

Sebagaimana pencapaiannya di Happy Death Day (2017) beserta sekuelnya, Happy Death Day 2U (2019), juga Freaky (2020), Christopher Landon tidak berambisi melahirkan karya pengguncang genre atau presentasi serebral melalui film terbarunya ini. Drop "cuma" diniati untuk tampil sebagai thriller yang digarap secara solid. Tapi bukankah ada kalanya memang hanya itu yang kita butuhkan?

Violet (Meghann Fahy) adalah terapis yang kini hidup berdua bersama putranya, Toby (Jacob Robinson), selepas kematian sang suami yang dahulu kerap melakukan tindak kekerasan terhadapnya. Setelah beberapa waktu, ia memutuskan untuk kembali membuka hati. Sementara Toby berada di bawah pengawasan sang adik, Jen (Violett Beane), Violet melakoni kencan perdana bersama Henry (Brandon Sklenar) di suatu restoran mewah yang terletak di lantai atas gedung pencakar langit. 

Kencan perdana tidak pernah mudah, apalagi bagi individu yang masih menyimpan trauma atas hubungan di masa lalu seperti Violet. Dia sadar betul akan potensi terjadinya kekacauan, namun tak mengira bahwa masalah yang hadir bakal menyangkut hidup dan mati. Semua dipicu oleh meme yang Violet terima dari pengirim tak dikenal, yang kontennya semakin lama semakin meresahkan. 

Siapa pelakunya? Apakah Henry si teman kencan yang di permukaan nampak sempurna ternyata menyembunyikan rahasia? Cara (Gabrielle Ryan Spring) si bartender yang terlihat ramah? Matt (Jeffery Self) si pelayan menyebalkan yang baru menjalani hari pertamanya bekerja? Phil (Ed Weeks) si pianis genit? Connor (Travis Nelson) yang nampak mencurigakan karena terus bertabrakan dengan Violet? Atau malah Richard (Reed Diamond) yang sedang menjalani kencan buta yang kacau? 

Naskah buatan Jillian Jacobs dan Chris Roach mampu menjalankan tugas untuk menggiring penonton terus bertanya-tanya hingga momen penyingkapan fakta di babak akhir. Bukan sebatas tentang "who?", pula "why?". Drop yang menempatkan Violet, si perempuan berambut pirang biasa (bukan agen rahasia atau pegawai pemerintahan yang menyimpan rahasia negara) dalam sebuah situasi misterius nan luar biasa, seketika mengingatkan pada karya-karya Alfred Hitchcock. 

Sebagaimana Hitchcock gemar lakukan di banyak karyanya pula, Drop memilih "mengurung" si protagonis di satu lokasi, membuat skalanya tidak terlalu besar guna menjaga ketahanan intensitasnya, sebelum meningkatkannya di babak ketiga. Klimaksnya mungkin terkesan berlebihan akibat beralih terlampau jauh dari konsep yang telah dibangun sebelumnya, tapi eskalasi tersebut memang dibutuhkan bila Drop ingin mengatrol intensitasnya di babak puncak. 

Landon dan tim sebenarnya belum mampu menghasilkan tontonan mencekam yang membuat penonton terpaku di kursi mereka, namun di sisi lain, Drop juga tidak pernah terasa tak bertaring. Naskahnya secara konsisten menyuplai hal menarik, entah terkait upaya Violet mengakali sosok misterius yang menerornya, ancaman yang mendadak hadir, atau beberapa selipan twist. 

Mengingat sumber terornya berasal dari gadget modern, keputusan Landon untuk menangani Drop dengan pendekatan penuh gaya pun terasa tepat guna. Deretan trik visual dan penyuntingan banyak diterapkan. Apakah semua itu membantu menguatkan intensitas? Mungkin tidak, tapi suguhan yang tak sekalipun terasa membosankan dan monoton berhasil diciptakan. 

Jajaran pemainnya tampil kuat, terutama Violett Beane dengan comic timing-nya dan Meghann Fahy sebagai individu cerdik yang menolak untuk sepenuhnya runtuh meski dikuasai kecemasan. Penonton pun dimudahkan mendukung segala prosesnya, baik terkait usaha keluar dari situasi berbahaya di restoran, maupun membuka lembaran baru dalam hidupnya, sembari meruntuhkan stigma buruk yang acap kali masyarakat sematkan kepada janda. 

Tidak ada komentar :

Comment Page: