REVIEW - SAH! KATANYA...

2 komentar

Bayangkan dinamika keluarga ala Bila Esok Ibu Tiada (2024) selaku konflik sentral, dipresentasikan memakai sampul humor absurd layaknya Mekah I'm Coming (2019). Begitulah Sah! Katanya..., yang jika dilihat dari permukaan hanya nampak seperti satu lagi komedi lokal kelas dua, tapi ternyata ia adalah kontender kuat peraih gelar "film Indonesia terlucu tahun ini".....setidaknya bagi mereka yang tidak teralienasi oleh gaya melucunya.

Tidak semua orang akan cocok dengan humor film yang disutradarai oleh Loeloe Hendra Komara (Tale of the Land) ini. Beberapa mungkin menyebutnya "aneh" atau bahkan "garing", tapi mereka yang familiar dengan gaya bercanda "gojek kere" khas sirkel tongkrongan Jawa (terutama Yogyakarta), bisa jadi bukan cuma menikmati, bahkan merasa terwakili seleranya. 

Di atas kertas kisahnya terdengar amat serius, kalau tak mau disebut memilukan. Marni (Nadya Arina), si anak bungsu dari sebuah keluarga besar, mendapati hubungannya dengan Adi (Calvin Jeremy) menemui jalan buntu. Adi adalah laki-laki baik. Terlalu baik malah, sampai uang yang ia janjikan bakal ditabung sebagai biaya hidup mereka setelah menikah kelak justru sering dipakai untuk membantu masalah finansial orang-orang lain di sekitarnya.

Kemampuan Adi mengatur skala prioritas memang amat buruk. Sewaktu upayanya memperkenalkan diri ke ayah Marni, Dipo (Landung Simatupang), kembali berujung kegagalan, Adi hanya berujar "Nanti kubetulin". Itulah kata-kata sakti yang selalu terlontar dari mulutnya tiap dihadapkan pada masalah, tanpa sadar bahwa mungkin saja tak ada lagi kata"nanti" untuknya.

Benar saja, ayah Marni tiba-tiba meninggal, lalu berwasiat bahwa si putri bungsu mesti menikah di depan jenazahnya dengan Marno (Dimas Anggara). Dipo memiliki utang menggunung kepada ayah Marno, dan pernikahan ini jadi cara melunasinya. Masyarakat kita dengan budaya ketimuran yang konon menjunjung tinggi adat dan nilai kekeluargaan memang lalai menyadari bahwa "sekarat atau meninggal bukan alasan untuk bisa bersikap berengsek".

Marni yang tertekan karena mesti menikahi laki-laki yang tidak terlalu ia kenal, masih harus menghadapi polah kakak-kakaknya yang mendadak ingin terlihat berbakti walau selama ini jarang pulang ke rumah. Sekali lagi, di atas kertas segala problematika di atas terdengar luar biasa berat nan serius. Tapi "keseriusan" merupakan sesuatu yang sebisa mungkin dijauhi oleh naskah buatan Dirmawan Hatta, Sidharta Tata, dan Loeloe Hendra Komara dalam menuturkan ceritanya.

Naskahnya selalu menemukan celah untuk menyelipkan lawakan absurd serba over-the-top di tengah situasi seserius apa pun. Entah berupa celetukan-celetukan dari karakter Paklik Kusno (Susilo Nugroho aka Den Baguse Ngarso) yang sesekali menyerempet ranah komedi gelap, tingkah menggelikan sekaligus menyebalkan Adi yang tak menampakkan ketegasan, maupun barisan polah di luar nalar para karakter pendukung.

Di sini kita bakal berkenalan dengan satu karakter, yang saking tidak kuatnya menahan stres, ia secara tiba-tiba berjungkir balik di depan orang-orang. Seaneh itu. Loeloe Hendra Komara menangani segala keabsurdan situasinya dengan energi luar biasa, layaknya sedang melempar guyonan di depan kawan-kawan satu sirkelnya sembari bersantai menikmati kopi di angkringan atau kafe sederhana. 

Beberapa humornya begitu aneh sehingga kedatangannya sulit diduga, sedangkan beberapa di antaranya malah sebaliknya, sangat bisa ditebak, terutama running joke terkait cara Pak RT berkomunikasi dengan warga. Tapi ketepatan timing dan metode penyuntingan berperan menjaga kelucuannya, dan di sisi lain, ekspektasi kala menantikan hadirnya suatu banyolan yang sudah kita nantikan justru meningkatkan daya bunuhnya. 

Menarik mengamati dinamika antara Adi dan Marno. Calvin Jeremy tampil total menghidupkan karakter yang memang bukan ditujukan untuk mengambil hati penonton. Kita justru diarahkan untuk meragukan sosoknya, yang terlampau tenggelam dalam kesedihan sendiri, hingga lupa kalau sang kekasih, Marni, jauh lebih menderita.

Di sisi lain ada Dimas Anggara, berbekal karisma yang memudahkan kita untuk mendukung Marno beserta kemampuannya menaruh simpati kepada Marni. Tapi ada satu masalah. Keputusan menggiring penonton berdiri di belakang Marno terkesan seperti cara filmnya bermain aman dalam menyikapi isu mengenai perjodohan paksa guna memenuhi wasiat sebagai wujud bakti anak. Daripada mengkritisi, Sah! Katanya... cenderung menjustifikasi, dengan mendesain karakter Marno sebagai figur yang lebih baik bagi Marni. 

2 komentar :

Comment Page:
Dewa mengatakan...

tapi sayang yg nonton dikit..padahal kocak abis

KucingLari mengatakan...

review HAVOC dong bang. Reviewnya pada positif tapi kok saya kurang sreg ya, terlihat seperti action b movie ala ala. Apa saya terlalu berharap setara The Raid yak