REVIEW - ANGKARA MURKA

Tidak ada komentar

Di Angkara Murka, iblis dan dunia mistis bukanlah kekuatan independen yang menebar ancaman atas keinginan sendiri, melainkan sebatas alat yang dipakai oleh manusia berstatus penguasa lalim. Eden Junjung selaku sutradara sekaligus penulis naskah ingin menggambarkan bagaimana manusia bermata hijau jauh lebih jahat dan berbahaya daripada setan bermata merah menyala. 

Latarnya adalah sebuah tambang pasir di sekitaran Merapi, di mana para buruh bekerja keras sehari penuh namun hanya menerima bayaran di bawah upah minimum. Didorong keinginan memperbaiki hidup, Jarot (Aksara Dena) mengajak rekannya, Bogel (Alex Suhendra), mencari permata yang konon banyak terkubur di balik sebuah bukit. Jarot pernah menemukan satu buah dan ingin memperoleh lebih banyak. Sejak itu Jarot menghilang secara misterius.

Buruh bernama Komar (Rukman Rosadi) pun menyimpan niat serupa dan mulai mengajak beberapa teman untuk mengikutinya. Di sisi lain, Ambar (Raihaanun), istri Jarot yang kini seorang diri mengurus putra mereka, coba mencari keberadaan sang suami dengan bekerja di tambang pasir tersebut. 

Tidak seperti penyakit sederet horor Indonesia (Pabrik Gula dan KKN di Desa Penari misal), Angkara Murka tidak pelit memperlihatkan aktivitas di latarnya. Tambang pasirnya hidup, di mana penonton sering diajak mengamati rutinitas para buruh. Bahkan sangat sering, sampai film ini terjangkit penyakit lain berupa kemonotonan, akibat terlampau berkutat di satu lokasi, dengan situasi yang minim variasi. 

Metode bercerita Angkara Murka pun sedikit janggal. Selama 89 menit durasinya, ia menerapkan tempo lambat khas horor alternatif yang enggan secara membabi buta menebar teror, namun di saat bersamaan, progresi narasinya justru terasa buru-buru. Naskahnya lemah dalam membangun transisi, penyutradaraannya kurang piawai menyusun build-up. 

Satu departemen yang tak menyisakan keluhan adalah akting. Di luar nama-nama besar seperti Raihaanun (tampil solid walau memerankan karakter dangkal yang oleh naskahnya sebatas diberi penokohan "istri yang mencari suami") dan Rukman Rosadi, jajaran pemeran pendukung yang kebanyakan sudah lama berkecimpung di dunia teater Yogyakarta pun mampu memberikan kesan organik bagi karakter masing-masing.

Saya belum menyebut nama Whani Darmawan, sebab karakter Broto yang ia perankan perlu diberi sorotan khusus. Dialah pemilik lahan yang ditengarai menyimpan berlian, dan baru mengumumkan niatan mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Disusun oleh pendekatan over-the-top dari sang aktor, Broto tidak merasa perlu menyembunyikan boroknya. Tatkala Ambar datang mencari Jarot, Broto dengan santainya menjawab, "Bojomu wes digondol demit". 

Beberapa kali kita melihat penampakan makhluk misterius bertubuh hitam dengan mata merah menyala menyatroni mereka yang menyusup ke tambang berlian, tapi Broto-lah demit sesungguhnya. Dia tidak segan turun tangan membantai buruh tambangnya, (yang lebih layak disebut budak) tapi dampak paling mematikan yang ia bawa adalah, saat sikap sewenang-wenang dan kesenjangan sosial yang ia tanamkan berujung menciptakan siklus kekerasan yang menjadikan orang-orang lemah saling tikam hanya demi bertahan hidup. 

Sungguh sayang, klimaks yang berpotensi melahirkan pertumpahan darah brutal di tengah pertarungan epik kala kaum akar rumput berjuang mendapatkan kesejahteraan mereka, berakhir canggung akibat kurang piawainya pengarahan Eden Junjung terhadap adegan-adegan bertempo tinggi. Setidaknya kita berkesempatan menyaksikan Whani Darmawan bertingkah liar bak makhluk barbar. 

Tidak ada komentar :

Comment Page: