REVIEW - THE ASSESSMENT
The Assessment tidak serta-merta menjabarkan dunianya. Apa yang terjadi pada Bumi? Mengapa langitnya terlihat aneh? Ke mana perginya orang-orang? Penilaian mengenai apa yang hendak diberikan terhadap protagonisnya? Kenapa tiba-tiba tulisan "Day 1" muncul di layar? Debut penyutradaraan Fleur Fortune ini adalah suguhan fiksi ilmiah yang selalu mencuatkan rasa penasaran di tiap langkahnya.
Aaryan (Himesh Patel) dan Mia (Elizabeth Olsen) adalah pasutri yang berbahagia. Mereka saling mencintai, sambil tetap menyibukkan diri dengan kegemaran masing-masing. Ketika Aaryan si profesor mendesain hewan virtual di ruang kerjanya, Mia mengurus tanaman di rumah kaca miliknya. Sederhananya, Aaryan hidup bersama kepalsuan teknologi, sedangkan Mia bertahan dengan realita.
Kini keduanya mendambakan kehadiran buah hati. Tapi memiliki anak di "dunia baru" ini merupakan perihal kompleks. Umat manusia mampu memperpanjang usia mereka berkat obat-obatan, namun sebagai gantinya, proses kelahiran dikontrol dengan begitu ketat. Aaryan dan Mia mesti melalui serangkaian tes terlebih dahulu, termasuk tinggal selama tujuh hari bersama Virginia (Alicia Vikander) yang akan menilai kesiapan keduanya.
Di malam pertama, Virginia berdiri dengan santai di depan pintu untuk mengamati Aaryan dan Mia berhubungan seks, seolah itu tindakan yang wajar. Semua sesuai peraturan. Hanya saja, peraturan tersebut enggan mempertimbangkan emosi mereka yang terlibat. The Assessment berlatar di dunia yang dibangun berdasarkan ketiadaan perasaan. Kekakuan yang juga diwakili oleh sinematografi dan tata artistiknya yang menghadirkan kesan dingin lewat pendekatan serba simetrisnya.
Penampilan Vikander mengingatkan pada peran yang membesarkan namanya di Ex Machina (2014) sebagai Ava si android. Virginia nampak dingin, kaku, tanpa perasaan layaknya robot, sebelum seiring waktu, secara perlahan, mulai memperlihatkan emosinya sebagai manusia. Jika Ava merupakan robot yang sengaja dibuat dengan banyak ciri manusia, maka Virginia adalah manusia yang dipaksa me-robot-kan dirinya.
Pada akhirnya manusia tetaplah manusia. Cinta, cemburu, trauma, nafsu, sakit, segala jenis rasa tersebut terlampau kaya untuk dipaksa tiada. Semakin besar kadar kemanusiaan coba ditekan dengan segala macam kepalsuan (sesempurna apa pun itu), semakin dekat pula kekacauan datang mengintai. Kekacauan yang acap kali disertai kejanggalan itu menjadi salah satu alasan The Assessment begitu menarik untuk diikuti.
Sesekali film ini tak lupa memamerkan daya tarik visual miliknya. Sebuah shot kala Virginia duduk di tengah hamparan lanskap, sementara dari kejauhan, di latar belakang, terlihat sekumpulan awan di langit menumpahkan air hujan, jadi salah satu contoh betapa menawannya pemakaian efek visual minimalis yang tepat guna.
Tapi bagaimana naskah buatan Dave Thomas, Nell Garfath-Cox dan John Donnelly mengolah elemen fiksi ilmiah menjadi tuturan tajam soal kemanusiaan tetap jadi amunisi utama. Konfrontasi di babak ketiga yang memberi kesempatan bagi Olsen dan Vikander untuk saling beradu akting, turut menegaskan pernyataan filmnya, bahwa penyebab semua rasa sakit yang karakternya rasakan adalah kegagalan sistem yang dipenuhi kebohongan dan kepalsuan. Jadi mana yang kalian pilih? Realita yang tak selamanya bahagia, atau kepalsuan yang terlihat indah?
(Prime Video)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar