Tampilkan postingan dengan label Ajay Devgn. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ajay Devgn. Tampilkan semua postingan

REVIEW - RRR

Ada istilah "maximalist film", untuk menyebut film yang "bertentangan" dengan prinsip minimalis. Jika membuka Wikipedia, nama-nama seperti Zack Snyder, Quentin Tarantino, John Woo, Tim Burton, dan (tentu saja) Michael Bay diidentikkan dengan gaya tersebut. Tidak keliru, namun di hadapan RRR buatan S. S. Rajamouli (dwilogi Baahubali), karya-karya mereka bak tontonan sederhana.

RRR adalah maximalist sesungguhnya. Film over-the-top di tiap lini, dan mustahil dilahirkan industri film lain. RRR membuat superhero Hollywood terlihat kerdil. RRR merupakan film superhero yang lahir berdasarkan kultur "mengagungkan para pahlawan", yang sekali lagi, tak dipunyai industri lain. Hanya India, atau dalam konteks film ini, Telugu.

Ditulis sendiri naskahnya oleh Rajamouli, RRR (singkatan dari "Rise Roar Revolt") mengangkat kisah fiksi mengenai dua figur pahlawan nyata, Komaram Bheem dan Alluri Sitarama Raju. Keduanya hidup di satu era, namun tidak pernah bersinggungan. Rajamouli mengimajinasikan, apa jadinya kalau mereka bertemu, berteman, lalu bertarung bersama. 

Paruh awal RRR memberi contoh bagaimana jagoan dalam film mestinya diperkenalkan. Raju (Ram Charan), seorang polisi berdedikasi, menerobos ratusan demonstran seorang diri hanya untuk menangkap satu provokator sebagaimana diperintahkan sang atasan, sedangkan Bheem (N. T. Rama Rao Jr.), pelindung suku Gond, diperlihatkan bertarung satu lawan satu dengan harimau. Penonton langsung sadar, keduanya bukan manusia biasa. Superhero. 

Jalan mereka bersilangan setelah Gubernur Scott (Ray Stevenson) dan istrinya, Catherine (Alison Doody) membawa paksa gadis cilik dari suku Gond. Sebagai pelindung, Bheem berangkat ke Delhi guna melakukan misi penyelamatan. Kabar kedatangan Bheem didengar oleh pihak Inggris, dan Raju pun dikirim untuk menangkapnya. 

Alih-alih berkonfrontasi, karena tak tahu wajah satu sama lain, hubungan Raju-Bheem justru diawali persahabatan. Pertemuan perdana keduanya menegaskan pendekatan Rajamouli terhadap tiap momen: membuatnya lebih gila dari yang diperlukan. Apakah menyelamatkan bocah di sungai perlu melibatkan motor, kuda, serta aksi akrobatik ekstrim? Tentu tidak, tapi sungguh gaya yang keren. Bukan cuma di aksi. Lihat bagaimana dua jagoan kita berjabat tangan di bawah air. 

Semuanya gila. Bahkan karakter pendukungnya saja mampu menangkap ular berbisa dengan tangan kosong tanpa harus melihatnya. Diiringi musik megah milik M. M. Keeravani yang ampuh memacu adrenalin, Rajamouli tidak sekalipun menahan diri, melempar aksi-aksi spektakuler yang dapat penonton rasakan seluruh impact-nya, entah itu pukulan, kepala yang terbentur batu, pecutan cambuk, maupun lesatan timah panas. 

Durasi 182 menitnya sama sekali tidak terasa (saya tidak keberatan kalau ditambah sampai empat jam), sebab filmnya amat piawai menjaga atensi. Hampir tiap situasi meninggalkan kekaguman, serta rasa penasaran akan apa yang menyusul berikutnya. Rasa penasaran itu lalu berubah ke kaget, karena RRR rutin menawarkan hal tidak terduga. Entah jenis aksi, pilihan shot, maupun peristiwa yang dimunculkan. 

Dibantu sinematografer langganannya, K. K. Senthil Kumar, Rajamouli memastikan sepak terjang dua jagoannya selalu nampak epik. Beragam shot megah, yang acap kali dihiasi gerak lambat kerap jadi andalan. Selain over-the-top, aksinya pun kreatif. Sekuen "serangan hewan" sudah jadi salah satu momen sinematik paling ikonik tahun ini dengan gif yang beredar di mana-mana, sementara klimaksnya memberi definisi unik untuk istilah "persatuan". 

Menariknya, di antara parade machismo membara itu, RRR mengangkat bromance yang tampil berlawanan. Manis, murni, hangat. Bromance di mana dua pria gahar alan-jalan berdua, makan berdua, menjalani semua bersama sambil tertawa bahagia. Tentu mereka pun menari berdua dalam nomor musikal Naacho Naacho yang meriah. 

Charan dan Rao sempurna melakoni peran masing-masing. Sama-sama punya kapasitas fisik bak superhero yang membuat mereka meyakinkan kala melakoni laga "tidak manusiawi", kedua aktor pun mudah membuat penonton tenggelam dalam hubungan fiktif Bheem-Raju. Apalagi kita tahu bakal datang titik saat bromance ini pecah. 

Melalui flashback yang menampilkan Ajay Devgn sebagai ayah Raju, pula subplot mengenai Sita (Alia Bhatt), tunangan Raju, filmnya menjabarkan bahwa sang polisi berdedikasi bukanlah pengkhianat bangsa, sembari menegaskan tema besarnya: kepahlawanan. 

RRR merupakan epos. Selain atas nama hiburan, pendekatan maximalist miliknya juga wujud ekspresi kekaguman, pemujaan, pengagungan pada jasa para pahlawan, dengan menjadikan mereka sosok superhero. Jangan lewatkan aksi dua jagoan yang mampu memutar motor di udara, semudah melempar handuk ini. 

(Netflix)

DE DE PYAAR DE (2019)

Apakah perbedaan usia mempengaruhi hubungan romansa? Mantap menyebut “usia hanyalah angka” akan terdengar seperti penyangkalan naif, tapi seperti dituturkan De De Pyaar De, itu bukan faktor penentu tunggal. Ketika dua individu berada dalam “satu frekuensi”, perbedaan tersebut justru dapat melengkapi keping-keping puzzle hidup seseorang ketimbang mengacaukannya.

Ashish (Ajay Devgn) adalah duda berusia 50 tahun sekaligus pebisnis kaya raya di London. Bukan cuma berkarisma, Ashish pun memiliki citra “gentleman”, yang dibuktikan ketika ia enggan mencuri kesempatan saat gadis cantik 26 tahun bernama Ayesha (Rakul Preet Singh) mabuk berat selepas pesta dan tertidur di rumahnya. Ketertarikan di antara mereka timbul sejak itu.

Stigmanya jelas: pria tua kaya raya terpesona oleh fisik wanita muda, wanita muda tertarik pada harta si pria tua. Tapi naskah buatan Luv Ranjan (Pyaar Ka Punchnama, Sonu Ke Titu Ki Sweety), Surabhi Bhatnagar (Dil Juunglee), dan Tarun Jain (Pyaar Ka Punchnama 2) secara cerdik menampilkan bahwa bukan hubungan semacam itu yang terjalin, dengan membangun interaksi kedua tokoh utama lewat deretan banter jenaka.

Ashish dan Ayesha saling menggoda, melempar “hinaan” yang kebanyakan berkutat seputar usia masing-masing, dan tak sekalipun mereka kehabisan kata. Balasan tajam selalu terlontar, memproduksi nuansa manis yang memudahkan kita percaya jika keduanya saling terkoneksi. Walau mulut berkata “tidak”, mata mereka menyatakan sebaliknya. Seolah saling dorong untuk menjauhkan diri, sesungguhnya mereka tengah saling tarik demi mendekatkan hati.

Pendekatan tersebut, ditambah ragam variasi humor efektif dari verbal hingga lelucon referensial (kalau tidak salah lagu tema Singham sempat terdengar) dan pengadeganan cekatan dari sutradara Akiv Ali, menghadirkan dinamika juga hiburan luar biasa, yang memiliki romantisme lebih dari cukup guna memancing kepedulian akan hubungan dua protagonis. Saya ingin mereka selalu bersama.

Meski penulisan dialog merupakan kunci, jalan yang De De Pyaar De tempuh jelas membutuhkan chemistry kedua pemeran utama, dan serupa karakter yang dimainkan, Ajay Devgn dan Rakul Preet Singh saling melengkapi. Rakul bertenaga, Ajay lebih tenang, dan pertemuan dua kutub berseberangan itu  membuat paruh pertamanya jadi salah satu komedi-romantis Bollywood paling memuaskan selama beberapa waktu terakhir.

Kenapa saya sering menekankan “paruh pertama”? Karena paruh keduanya adalah titik balik mengejutkan. Titik balik yang amat problematik, kemunculannya nyaris merusak keseluruhan film andai tidak dibarengi keberhasilan paruh pertama merebut simpati untuk protagonisnya. Ashish mengajak Ayesha ke India, mempertemukan sang kekasih dengan keluarganya, termasuk si mantan istri, Manju (Tabu) beserta kedua anaknya yang berusia tidak jauh dari Ayesha. Tapi realita tidak semulus rencana. Timbul berbagai kejutan, dan beberapa di antaranya mengubah persepsi positif saya terhadap Ashish.

Dari pria terhormat, Ashish menjadi pengecut, dan dari film yang memasang perspektif modern terkait ragam isu sosial (perceraian, tinggal bersama sebelum menikah, hubungan beda usia, gender), De De Pyaar De bagai menjadi usaha menjustifikasi perselingkuhan dan kegagalan pria menahan nafsu. Dari jajaran masalah yang diperkenalkan di paruh kedua, semuanya bermuara ke persoalan keluarga dan percintaan. Teruntuk konflik keluarga, Ashish berkesempatan menebus kesalahan, namun dalam urusan asmara, ia terus melakukan tindakan yang sukar dimaafkan, bahkan hingga akhir. Pun dia terlalu pengecut untuk berinisiatif mencari jalan keluar.

Di samping komedi yang tak pernah kehilangan kelucuan, sebagaimana Manju seorang diri merekatkan keluarganya, penampilan Tabu menjaga film ini agar tak seutuhnya runtuh. Menyaksikannya berdiri kokoh di atas tumpukan permasalahan dengan sorot mata tanpa rasa takut adalah sesuatu yang tidak ingin anda lewatkan.

Benar bahwa tidak seperti yang dikhawatirkan banyak pihak, De De Pyaar De bukan kisah soal dua wanita memperebutkan pria—yang sejatinya sah-sah saja—namun ini adalah bentuk pemakluman atas mimpi nakal pria di mana mereka bisa berbuat semaunya. Tapi paruh pertamanya sangat mengesankan hingga mampu mengatrol keseluruhan kualitas film. Mungkin perasaan “terlanjur cinta” macam ini yang mendorong Manju dan Ayesha bersedia memaafkan Ashish. Memang keliru, tapi bagaimana bisa saya membohongi perasaan?

SIMMBA (2018)

Pada sebuah adegan, salah satu pemerkosa menyebut alasan perbuatannya adalah dikarenakan sang wanita memprovokasi serta menyerangnya, dan itu melukai egonya. Terdengar familiar, sebab itu jamak terjadi. Pelaku perkosaan (kebanyakan pria) berusaha menjustifikasi tindakan bejatnya dengan menyalahkan korban, yang dianggap “memprovokasi”. Entah lewat tingkah maupun cara berpakaian. Kalau anda merasa alasan tersebut bisa dimaklumi, silahkan menceburkan diri ke neraka jahanam. Jika sebaliknya, kemungkinan, Simmba adalah film untuk anda.

Tapi spin-off dari seri Singham sekaligus remake dari film Telugu berjudul Temper (2015) ini tak langsung menyelami isu penting itu. Protagonisnya sendiri, awalnya bukan figur jagoan kebanyakan. Tumbuh sebagai yatim piatu yang tinggal di jalanan dan belajar bahwa untuk bertahan hidup (baca: mengeruk uang) seseorang mesti memiliki kuasa, Sangram “Simmba” Bhalerao (Ranveer Singh) bercita-cita menjadi polisi setelah mendapati betapa pihak pemegang otoritas bisa bermandikan uang apabila mampu “memanfaatkan” kekuatannya.

Mimpinya pun terwujud. Simmba menjadi polisi yang terkenal karena dua hal: kemampuan fisiknya dalam menghajar kriminal dan korupsi akutnya. Walau berasal dari kota yang sama dengan Bajirao Singham (Ajay Devgn), reputasi Simmba amat berkebalikan. Ketika ditransfer ke Miramar, ia pun berbahagia, karena menurutnya di sana merupakan tambang emas. Sebelum pindah, Simmba telah diwanti-wanti agar tidak mencampuri urusan Durva Yashwant Ranade (Sonu Sood) selaku penguasa dunia hitam Miramar. Tentu ia menolak patuh.

Hari pertamanya langsung diisi dengan penggerebekan di berbagai tempat usaha Durva. Bukan dalam rangka mengakhiri kejahatan, melainkan demi memperoleh lebih banyak setoran. Tapi tanpa sepengetahuan Simmba, Durva memliki bisnis rahasia berupa jual-beli narkoba yang menggunakan anak-anak sebagai kurir.

Sekitar satu setengah jam pertamanya murni komedi konyol over-the-top yang didominasi aksi eksentrik si tokoh utama. Sulit bersimpati pada tindak korupsi kelewat batas Simmba, namun sulit untuk membencinya berkat penampilan komikal kaya energi dari Ranveer Singh, yang cukup kuat menggerakkan filmnya, bahkan ketika plotnya begitu berantakan pula tak terfokus. Sangat tidak terarah, saya berulang kali bertanya pada diri sendiri, “Apa yang film ini incar?”. Farce? Satir? Sajian kriminal? Atau (yang paling lemah) romansa?

Simmba terpikat pada Shagun (Sara Ali Khan), gadis cantik pemilik usaha katering di depan kantor polisi. Usaha Simmba memikat Shagun memang menghibur dan menghasilkan beberapa kejenakaan, semisal ketika ia merekayasa ancaman palsu agar bisa mengunjungi rumah sang gadis. Tapi tak ada dampak nyata bagi alur atau pembangunan karakter. Faktanya, setelah jatuh ke pelukan Simmba, Shagun menghilang sampai jelang klimaks. Ada pula sekuen musikal canggung diisi lanskap indah plus momen manis yang gagal berbaur dengan tone filmnya. Setelah rentetan absurditas, aneh rasanya, menyaksikan Simmba berlagak lembut sambil bermesraan di padang rumput.

Kemudian datanglah titik balik dramatis, yang bukan cuma mengubah arah film jadi lebih tertata, juga karakternya. Titik tersebut sangat kuat, perubahan 180 derajat yang terjadi pada Simmba pun bisa dipahami. Tiba-tiba saya mendukungnya, sementara Ranveer Singh memperlihatkan mengapa ia termasuk jagoan aksi kelas satu, yang nampak meyakinkan kala sambil duduk, ia memukul lawannya hingga terpelanting. Ditambah lagi, pengarahan laga Rohit Shetty (Singham, Chennai Express, Dilwale) efektif memaksimalkan pesona Ranveer.

Sejak titik balik tersebut, skenario buatan Yunus Sajawal dan Sajid Samji mulai menyelipkan elemen sensitif perihal isu pemerkosaan. Presentasinya sering terasa bak PSA, namun relevansi dan kepentingannya tak bisa ditampik. Mengetahui bahwa kasus pemerkosaan di India mencapai ratusan ribu dalam beberapa tahun terakhir, rasanya kesubtilan memang tak diperlukan guna memancing perubahan. Satu jam terakhirnya memprovokasi sekaligus menampar kesadaran penonton, bahwa apabila “rape culture” dibiarkan, atau lebih parah lagi dibenarkan, wanita takkan pernah merasa aman. Dan ketika polisi sampai politisi terus menyalahgunakan kekuatan mereka, apa yang bisa dilakukan selain bertindak tegas?

Serupa momen-momen yang hadir sebelumnya, adegan aksi yang menjadi sajian pamungkas Simmba digarap solid. Sebuah perkelahian (tag team) hard-hitting yang sejatinya adalah bentuk “kecurangan” karena menggunakan elemen deus-ex-machina untuk menyelesaikan persoalan sekaligus sebagai fan service, namun dapat dimaafkan berkat pengemasan keren dari Rohit Shetty. Andai fokusnya didapatkan lebih awal, Simmba berpotensi menjadi mahakarya penting nan berani yang tak perlu memaksa penontonnya duduk menyaksikan 90 menit pertama yang berantakan.