Tampilkan postingan dengan label Fredy Aryanto. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fredy Aryanto. Tampilkan semua postingan

WAGE (2017)

Wage menarik karena pernyataan John De Rantau (Denias, Senandung di Atas Awan, Obama Anak Menteng) bahwa karya penyutradaraan pertamanya setelah absen enam tahun ini bukan biopic, melainkan noir. Melihat hasilnya, menyebut film ini sebagai noir sama saja menyebut Pengabdi Setan komedi karena ada selipan humor. Penyertaan beberapa ciri suatu genre atau sub-genre tidak otomatis membuat sebuah film termasuk di dalamnya. Begitu pula Wage, yang hanya satu dari sekian banyak sajian biografi formulaik dilengkapi production value mumpuni dengan penceritaan berantakan.

Pasca menit awal berisi tulisan-tulisan panjang yang memenuhi layar dari kutipan petuah ketua organisasi Shiddiqiyyah, kredit lengkap, sampai narasi prolog, kita berkenalan dengan Wage kecil (Khoirul Ilyas Aryatama) yang ditindas oleh anak-anak Belanda. Sepeninggal ibunya, ia tinggal bersama sang kakak, Roekiyem (Putri Ayudya) dan suaminya, Van Eldick (Wouter Zweers), di Makassar. Saat itulah Wage belajar bermain biola. Wage dewasa (Rendra Bagus Pamungkas) pun menjadi musisi cafe yang diakui kehebatannya. Lalu seiring memanasnya perlawanan rakyat terhadap kolonialisme, ia tergerak ambil bagian, pindah ke Jawa, memulai perjuangan bersenjatakan musiknya.
Sesederhana itu jalinan alur Wage, tetapi naskah buatan Fredy Aryanto (Ketika Mas Gagah Pergi) bersama Gunawan BS, ditambah gaya bertutur John De Rantau menghadirkan kompleksitas tak perlu. Cerita melompat begitu liar nan kasar dari titik satu ke berikutnya. Tanpa transisi maupun penjelasan latar peristiwa juga karakter, Wage bagai rekoleksi memori acak yang telah buram, terkikis dimakan waktu. Bila kerumitan noir dipicu plot atau twist berlapis, Wage didorong ketiadaan struktur narasi solid. Kacaunya alur berujung melemahkan pengembangan karakter, menghalangi penonton terikat pada sosok Wage Rudolf Supratman. 

Minus hati, film ini bak buku sejarah. Bahkan lebih buruk, sebab buku sejarah paling tidak berisi pengetahuan. Sementara lompatan kisah Wage menyulitkan untuk mencerna rangkaian peristiwa guna menyerap informasi. Berjalan hampa, momen ketika Indonesia Raya berkumandang yang mestinya menggetarkan, berakhir numpang lewat. Berlangsung selama 120 menit tanpa rasa atau poin menarik, Wage jadi obat insomnia mujarab, produsen kantuk pemantik niatan walk out. Untung ada Rendra Bagus Pamungkas lewat kemiripan fisik dengan Supratman plus performa meyakinkan memainkan keteguhan sosok yang tak gentar meski pistol ditodongkan tepat ke kepalanya. Walau di sisi lain, talenta Putri Ayudya dan Prisia Nasution terbuang percuma.
Aspek terkuat Wage adalah production value penghasil visual memikat mata. Sinematografi Hani Pradigya menonjolkan kesan sinematik kuat, membungkus tata artistik bernuansa period yang tak kalah mumpuni. Beberapa kali Hani menerapkan pencahayaan rendah, yang di satu sisi menghasilkan kedalaman plus bobot bagi gambar, tapi di sisi lain memperlihatkan salah kaprah film ini terkait definisi noir makin akut. Noir memang identik dengan cahaya temaram, bayang-bayang, hingga asap rokok mengepul. Namun keberadaan unsur-unsur itu tidak seketika membuat filmnya bisa disebut noir. Generalisasi serupa terjadi pula dalam naskah, khususnya terkait poin plot serta penokohan.

Ciri khas lain noir yakni ambiguitas moral protagonis yang mengalami konflik batin. Wage sempat mabuk (sekali), meragukan perjuangan dan kapasitasnya, tapi itu belum menjadikannya pribadi yang bermasalah. Dia manusia biasa dengan segala kelemahan, bukan sosok problematik. Sebagai produk pasca Perang Dunia II, wajar apabila noir diselimuti tone kelam selaku luapan depresi masyarakatnya. Sebaliknya, Wage dikelilingi aura positif, harapan, perlawanan akan represi, hikayat kepahlawanan bertabur pesan moral. Selaku biopic, Wage pantas diapresiasi, namun dilihat sebagai noir layaknya keinginan John De Rantau, Wage merupakan kegagalan akibat tindakan pretensius.