Tampilkan postingan dengan label Hani Pradigya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hani Pradigya. Tampilkan semua postingan
ASAL KAU BAHAGIA (2018)
Rasyidharry
Asal Kau Bahagia dibuat berdasarkan lagu berjudul sama milik Armada, nomor
pop catchy bernuansa mellow yang mengajak pendengarnya
meratapi cinta. Filmnya pun dikemas dalam bentuk serupa. Melodrama ringan yang
mengajak penontonnya meratapi cinta, meski sayangnya, tak punya cukup daya
untuk menyetir rasa biarpun tetap jadi suguhan nikmat di ranah kisah cinta remaja.
Alurnya langsung merangsek menuju
persoalan utama, ketika Aliando alias Ali (Aliando Syarief) terlibat kecelakaan
lalu lintas di tengah perjalanannya menemui sang kekasih, Aurora (Aurora
Ribero). Ali koma, namun jiwanya masih berkeliaran layaknya manusia biasa,
walau tak ada yang mampu melihatnya. Dia pun tak mampu menyentuh orang lain.
Tanpa disangka, menjadi sosok tak terlihat justru membuka jalan baginya
memahami isi hati Aurora, yang diam-diam telah enam bulan berselingkuh dengan
Rassya (Teuku Rassya).
Ali hanya bisa memandang tak
berdaya. Hatinya remuk, sementara saya bertanya-tanya, “Kalau ia bisa menyentuh
barang, kenapa ia tidak menulis pesan guna memberitahukan kondisinya kepada
Aurora?” Hal itu bakal menghemat waktu, tapi kita film ini takkan eksis.
Beruntung, sahabatnya, Dewa (Dewa Dayana), bisa melihat Ali, lalu bersedia
membantunya menguntit Aurora guna menyelidiki kebenaran hubungannya dengan
Rassya.
Mengacu pada trailer, kita tahu bahwa nantinya, Dewa menjadi perantara
komunikasi dua tokoh utama. Momen itu urung terjadi hingga jelang paruh akhir. Kembali,
hal tersebut niscaya menghemat waktu, namun meniadakan kesempatan kita
menikmati interaksi menghibur Ali-Dewa. Dewa adalah sosok “kawan-konyol-tapi-setia”
yang kerap kita temui di film-film serupa. Ketepatan timing komedik Dewa Dayana, pula chemistry solid bersama Aliando, menghasilkan buddy comedy yang efektif memancing tawa.
Aurora adalah gadis populer, dan
itu kerap memancing Ali mempertanyakan alasannya bersedia memacari pria
introvert sepertinya. Tapi tak sekalipun terlihat introversi Ali maupun bagaimana
ketertutupan itu mengganggu Aurora. Mungkin, naskah karya Aline Djayasukmana (Gila Lu Ndro) bersama sang mentor, Upi (Teman Tapi Menikah, Sweet 20), hendak
menempatkan penonton di posisi Ali, yang tak menyadari ketidakbahagiaan sang
kekasih. Namun ada perbedaan antara “menyamakan perspektif” dengan keluputan
eksplorasi. Asal Kau Bahagia termasuk
jenis kedua.
Alhasil, saat Rassya menyulut api
asmara di hati Aurora, sulit memahami alasannya. Anda bisa berargumen bahwa
cinta tidak butuh alasan. Cinta terjadi begitu saja, datang dan pergi seperti mendung.
Masalahnya, film ini sendiri coba menjabarkan alasan itu, yang gagal
dipresentasikan secara meyakinkan. Aurora menyebut Rassya lebih liar, seru,
sosok pria ceria yang menghembuskan angin segar di hidupnya. Tapi, serupa Ali
dengan introversinya, sisi tersebut tak tampak dari Rassya yang justru terkesan
halus, bahkan kalah “membara” dibanding Ali.
Bukan berarti segala sisi naskah
menemui kegagalan. Keengganan menabur “pemanis” berlebih patut diapresiasi. Bahasa
(sok) puitis dihindari, berhati-hati pula dramatisasi, termasuk di momen paling
menyedihkan, diolah. Selaras dengan itu adalah penyutradaraan Rako Prijanto (Teman Tapi Menikah, Bangkit!, 3 Nafas Likas)
yang mengedepankan tuturan manis ketimbang drama bergelora. Didukung
sinematografi Hani Pradigya (Teman Tapi Menikah,
Terjebak Nostalgia, Wage) Rako menangkap beberapa gambar indah, menerapkan
gerak lambat, juga memilih sudut kamera yang membuat kedua pemainnya (yang aslinya
sudah rupawan) terlihat makin cantik di layar.
Bukan berarti dua pemain utama kita
sekadar bermodalkan tampang. Sebaliknya, bisa jadi Asal Kau Bahagia telah memberi “It
couple” berikutnya bagi perfilman Indonesia, yang kelak berpotensi
melengserkan kedigdayaan Jefri Nichol-Amanda Rawles. Dibarengi deretan lagu
yang mengalun syahdu di telinga, kebersamaan merekamemberi sokongan tambahan
bagi film ini, di luar pondasi rapuh yang naskahnya sediakan.
Pasca debut meyakinkan di Susah Sinyal (2017), Aurora menunjukkan
kemampuan memanggul beban sebagai pemeran utama. Kapasitasnya bermain drama menghadirkan
kompleksitas bagi tokoh peranannya, yang mana gagal diberikan oleh naskahnya. Sedangkan
untuk Aliando, semestinya inilah pembuka gerbang kesuksesan berkarir di layar
lebar. Aliando menunjukkan jangkauan akting cukup luas, dari kebolehan
menangani humor, pesona dalam interaksi kasual, sampai momen emosional.
Sayang, rute aman dipilih sebagai konklusi
romantsime keduanya, yang turut melucuti peluang film ini menyuguhkan resolusi lebih
dewasa—tanpa harus kehilangan sisi bittersweet—mengenai
“the art of letting go” demi
kebahagiaan sosok tercinta. Tapi sulit dipungkiri, banyak penonton akan terwakili
oleh konfliknya, dan itu sudah menjadi cukup alasan guna memberi kesempatan
pada Asal Kau Bahagia. Mungkin saja
film ini merefleksikan seluk beluk kehidupan cinta anda.
Desember 28, 2018
Aliando Syarief
,
Aline Djayakusuma
,
Aurora Ribero
,
Cukup
,
Dewa Dayana
,
Fantasy
,
Hani Pradigya
,
Indonesian Film
,
Rako Prijanto
,
REVIEW
,
Romance
,
Teuku Rassya
,
Upi
WAGE (2017)
Rasyidharry
Wage menarik karena pernyataan John De Rantau (Denias, Senandung di Atas Awan, Obama Anak Menteng) bahwa karya penyutradaraan pertamanya setelah absen enam tahun ini bukan biopic, melainkan noir. Melihat hasilnya, menyebut film ini sebagai noir sama saja menyebut Pengabdi Setan komedi karena ada selipan humor. Penyertaan beberapa ciri suatu genre atau sub-genre tidak otomatis membuat sebuah film termasuk di dalamnya. Begitu pula Wage, yang hanya satu dari sekian banyak sajian biografi formulaik dilengkapi production value mumpuni dengan penceritaan berantakan.
Pasca menit awal berisi tulisan-tulisan panjang yang memenuhi layar dari kutipan petuah ketua organisasi Shiddiqiyyah, kredit lengkap, sampai narasi prolog, kita berkenalan dengan Wage kecil (Khoirul Ilyas Aryatama) yang ditindas oleh anak-anak Belanda. Sepeninggal ibunya, ia tinggal bersama sang kakak, Roekiyem (Putri Ayudya) dan suaminya, Van Eldick (Wouter Zweers), di Makassar. Saat itulah Wage belajar bermain biola. Wage dewasa (Rendra Bagus Pamungkas) pun menjadi musisi cafe yang diakui kehebatannya. Lalu seiring memanasnya perlawanan rakyat terhadap kolonialisme, ia tergerak ambil bagian, pindah ke Jawa, memulai perjuangan bersenjatakan musiknya.
Sesederhana itu jalinan alur Wage, tetapi naskah buatan Fredy Aryanto (Ketika Mas Gagah Pergi) bersama Gunawan BS, ditambah gaya bertutur John De Rantau menghadirkan kompleksitas tak perlu. Cerita melompat begitu liar nan kasar dari titik satu ke berikutnya. Tanpa transisi maupun penjelasan latar peristiwa juga karakter, Wage bagai rekoleksi memori acak yang telah buram, terkikis dimakan waktu. Bila kerumitan noir dipicu plot atau twist berlapis, Wage didorong ketiadaan struktur narasi solid. Kacaunya alur berujung melemahkan pengembangan karakter, menghalangi penonton terikat pada sosok Wage Rudolf Supratman.
Minus hati, film ini bak buku sejarah. Bahkan lebih buruk, sebab buku sejarah paling tidak berisi pengetahuan. Sementara lompatan kisah Wage menyulitkan untuk mencerna rangkaian peristiwa guna menyerap informasi. Berjalan hampa, momen ketika Indonesia Raya berkumandang yang mestinya menggetarkan, berakhir numpang lewat. Berlangsung selama 120 menit tanpa rasa atau poin menarik, Wage jadi obat insomnia mujarab, produsen kantuk pemantik niatan walk out. Untung ada Rendra Bagus Pamungkas lewat kemiripan fisik dengan Supratman plus performa meyakinkan memainkan keteguhan sosok yang tak gentar meski pistol ditodongkan tepat ke kepalanya. Walau di sisi lain, talenta Putri Ayudya dan Prisia Nasution terbuang percuma.
Aspek terkuat Wage adalah production value penghasil visual memikat mata. Sinematografi Hani Pradigya menonjolkan kesan sinematik kuat, membungkus tata artistik bernuansa period yang tak kalah mumpuni. Beberapa kali Hani menerapkan pencahayaan rendah, yang di satu sisi menghasilkan kedalaman plus bobot bagi gambar, tapi di sisi lain memperlihatkan salah kaprah film ini terkait definisi noir makin akut. Noir memang identik dengan cahaya temaram, bayang-bayang, hingga asap rokok mengepul. Namun keberadaan unsur-unsur itu tidak seketika membuat filmnya bisa disebut noir. Generalisasi serupa terjadi pula dalam naskah, khususnya terkait poin plot serta penokohan.
Ciri khas lain noir yakni ambiguitas moral protagonis yang mengalami konflik batin. Wage sempat mabuk (sekali), meragukan perjuangan dan kapasitasnya, tapi itu belum menjadikannya pribadi yang bermasalah. Dia manusia biasa dengan segala kelemahan, bukan sosok problematik. Sebagai produk pasca Perang Dunia II, wajar apabila noir diselimuti tone kelam selaku luapan depresi masyarakatnya. Sebaliknya, Wage dikelilingi aura positif, harapan, perlawanan akan represi, hikayat kepahlawanan bertabur pesan moral. Selaku biopic, Wage pantas diapresiasi, namun dilihat sebagai noir layaknya keinginan John De Rantau, Wage merupakan kegagalan akibat tindakan pretensius.
November 10, 2017
Biography
,
Fredy Aryanto
,
Gunawan BS
,
Hani Pradigya
,
Indonesian Film
,
John De Rantau
,
Khoirul Ilyas Aryatama
,
Kurang
,
Prisia Nasution
,
Putri Ayudya
,
Rendra Bagus Pamungkas
,
REVIEW
,
Wouter Zweers
Langganan:
Postingan
(
Atom
)