Tampilkan postingan dengan label Hiroshi Abe. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hiroshi Abe. Tampilkan semua postingan

JCW 2018 - THE CRIMES THAT BIND (2018)

Saya belum pernah membaca satu pun seri novel misteri Kyoichiro Kaga karya Keigo Higashino, yang merupakan sumber adaptasi bagi film ini serta dua film televisi, serial satu musim berjumlah 10 episode, dan satu film layar lebar lain berjudul The Wings of the Kirin (2012). Tapi sejak kecil saya gemar membaca manga bertema detektif, khususnya The Kindaichi Case Files alias Detektif Kindaichi. Dan The Crimes That Bind memunculkan lagi ketegangan dan perasaan bersemangat seperti saat membaca karya-karya kolaborasi Yozaburo Kanari dan Fumiyo Sato dahulu.

Ada puzzle rumit berdaya tarik tinggi, pembunuh dengan masa lalu tragis yang kemungkinan bakal menarik simpati penonton, dan terpenting, berbeda dibanding jajaran kompatriotnya dari Barat, Katsuo Fukuzawa (I Want to Be a Shellfish) selaku sutradara, tahu cara menjadikan tiap pengungkapan dan kejutan tampil dramatis, bahkan saat penonton sudah bisa meraba beberapa bagiannya.

Filmnya dibuka oleh cerita mengenai wanita misterius bernama Yuriko Tajima (Ran Itô), yang meninggalkan rumah tanpa alasan jelas untuk tinggal sendirian di dekat laut dan bekerja di sebuah bar. Suatu hari ia meninggal akibat gagal jantung. Sang putera, Kyoichiro Kaga (Hiroshi Abe), yang tak selama ini tak tahu keberadaan sang ibu pun datang, kemudian memutuskan mencari seorang pria yang sempat menjalin asmara bersama Yuriko sebelum kematiannnya. Kyoichiro ingin tahu apa yang terpendam dalam hati mendiang ibunya, termasuk alasannya kabur dari rumah.

Enam belas tahun berselang, ditemukan mayat wanita di kamar seorang pria. Tubuh wanita itu telah membusuk karena dibiarkan teronggok selama 20 hari. Detektif yang ditugaskan mengusut kasus tersebut, Yuhei Matsumiya (Junpei Mizobata), curiga akan adanya keterkaitan dengan kematian seorang pria yang tewas dicekik lalu dibakar (wanita itu juga tewas dicekik). Sewaktu Yuhei meminta bantuan Kyoichiro, terungkap bahwa dua misteri yang terpisah selama lebih dari satu dekade rupanya saling terikat.

Laju awal The Crimes That Bind sebenarnya kurang mulus. Pilihan gaya berupa pemakaian tulisan guna mendeskripsikan situasi alih-alih menuturkannya lewat penceritaan layak, meski membantu menyederhanakan misteri sekaligus mempersingkat durasi, juga terasa mengganggu. Apalagi bantuan yang diberikan tak seberapa besar karena penuturan investigasinya sendiri amat terbata-bata di awal. Presentasi terhadap beberapa fakta dilakukan secara kurang jelas, sehingga babak pertamanya memaksa penonton memeras otak lebih keras dari seharusnya.

Beruntung, pelan-pelan, pijakan berhasil ditemukan. Investigasi semakin memikat sewaktu cara bercerita dari naskah karya Lee Jeong-mi pun semakin rapi. Tidak lupa pula Jeong-mi menebar twist mengejutkan di beberapa bagian. Saya pun merasa lebih terfasilitasi dan terdorong untuk terlibat memecahkan kasus, khususnya berkat banyaknya variasi teka-teki yang naskahnya miliki. Dari mencari identitas, mengamati setumpuk foto, tulisan selaku pesan kematian, dan banyak lagi. “Repetisi” tidak ada dalam kamus film ini.

Serupa banyak film detektif, third act yang bertindak selaku pengungkapan fakta, bergulir terlampau panjang. Tapi dalam konteks film ini, masalah itu bisa dimaafkan, karena ketimbang penjelasan fakta berbelit, klimaksnya dipakai menggali kisah emosional mengenai masa lalu si pelaku. Pemotongan sekitar tiga menit (cukup panjang di dunia film) takkan berakibat buruk, namun besarnya dampak rasa yang dihasilkan adalah bayaran yang setimpal. The Crimes That Bind merupakan kombinasi menghibur antara penelusuran misteri berdaya cengkeram tinggi dengan elemen drama keluarga menyentuh hati.

AFTER THE STORM (2016)

Sambil menyiapkan makan malam, Yoshiko (Kirin Kiki menggelitik nan simpatik, senantiasa menghembuskan nyawa bagi filmnya) bercengkerama dengan puterinya, Chinatsu (Satomi Kobayashi). Bukan kegiatan yang jarang mereka lakukan, tampak dari bagaimana tiada keengganan untuk saling melempar ejekan. "I've always had bad handwriting. I took after you", demikian ungkap Chinatsu yang seketika dijawab oleh sang ibu, "I'm not as bad as you". Pemandangan natural soal kehangatan keluarga tanpa sisi manis yang dibuat-buat. Dalam pembicaraannya, Yoshiko dan Chinatsu sering beda pendapat, namun sepakat akan satu hal, mengenai salah satu anggota keluarga yang menurut mereka cocok dengan istilah "Great talents bloom late".

Seketika adegan berpindah menuju sebuah kereta. Diiringi musik karya Hanaregumi berupa petikan gitar plus siulan yang terdengar bagai melankoli ironis, protagonis kita hadir. Dia adalah Ryota (Hiroshi Abe), seorang penulis novel sekaligus pemenang penghargaan literatur. Ibu dan kakaknya, serta seorang teman masa SMA yang ia temui di jalan menyatakan hal serupa, bahwa Ryota berprestasi di bangku sekolah. Namun semua itu masa lalu. Sejak debutnya, ia tak lagi menulis, terjebak kegemaran berjudi, berujung tumpukan hutang. Ryota telah menjadi sosok yang tidak dia sukai: mendiang ayahnya.
Sebagai modal riset buku terbaru  yang tak kunjung mulai ditulis  Ryota bekerja di kantor detektif swasta. Tapi pekerjaan ini pun urung ia jalankan dengan baik, di mana bersama sang partner, Ryota kerap menghilangkan bukti hingga menyuap klien demi memperoleh uang lebih. Lagi-lagi uang kotor itu juga dihabiskan untuk berjudi. Ryota selalu berkelakar tentang kejayaan masa lalu maupun mimpi besar masa depan, tetapi lupa akan sekarang. Secara mulus, Hirokazu Koreeda (Like Father, Like Son, Our Little Sister) selaku sutradara dan penulis naskah, menautkan gagasan seputar "right here, right now" dengan tema kesukaannya, yakni keluarga.

Di suatu kesempataan, pernah Koreeda berkata, "Families are priceless but troublesome", dan permasalahan pelik juga begitu berharganya keluarga terasa betul dalam After the Storm. Kebiasaan berjudi membuat Ryota kesulitan membayar tunjangan anak pada mantan istrinya, Kyoko (Yoko Maki) yang sudah mulai berkencan dengan pria lain, menyulut kecemburuan Ryota. Padahal pembayaran itu adalah syarat agar ia bisa bertemu puteranya, Shingo (Taiyo Yoshizawa), tiap bulan. Terbuai angan tak pasti berwujud menang judi turut merenggut kesempatan membelikan sarung tangan bisbol bagi Shingo, satu hal yang sejatinya dapat Ryota lakukan seketika itu juga, begitu menerima uang.
Bukan saja terkait penulisan naskah, kelembutan pun aliran mulus ikut hadir pada penyutradaraan Koreeda, yang mementingkan keaslian situasi sekaligus emosi. Rangkaian obrolan sederhana mendominasi, tetapi sensitivitas Koreeda membuat kesan apa adanya jadi penuh rasa ketimbang menjemukan. Tengok momen jalan-jalan Ryota dan Shingo yang mengawali paruh kedua durasi, ketika filmnya mulai membawa penonton menyusuri lebih dalam ruang privasi para tokoh setelah sebelumnya mengobservasi dari luar. Ryota bukan pria jujur. Setiap orang, bahkan sang ibu pernah ia tipu. Berbeda kala bersama anaknya, membelikan sepatu dengan sisa tabungan, mengajak makan enak meski membuatnya tak sanggup ikut makan, kasih sayang jujur seorang ayah terpancar jelas. Kepiawaian Hiroshi Abe bermain emosi kuat secara subtil amat berperan merangkum kelembutan menyengat tersebut.

Pendekatan naturalistik dipertahankan Koreeda sampai konklusi. Ryota (dibantu Yoshiko) mencari rekonsiliasi, berusaha menyatukan lagi perpecahan keluarga mereka, tapi sang sutradara enggan memaksakan peristiwa manis dadakan selaku usaha penyelesaian masalah. Proses mengalir semestinya, sebagaimana seharusnya perasaan remuk yang takkan begitu saja kembali tersusun rapi. Kemudian segalanya memuncak sewaktu ketiganya sejenak bersama sebagai satu keluarga utuh, mencari tiket lotere di tengah gempuran badai layaknya perjuangan menggapai mimpi meski harus diterjang problematika.