Tampilkan postingan dengan label John Carroll Lynch. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label John Carroll Lynch. Tampilkan semua postingan

REVIEW - THE TRIAL OF THE CHICAGO 7

Pada aksi Black Lives Matter selepas pembunuhan George Floyd beberapa bulan lalu, opini publik Amerika Serikat terbelah, bahkan di antara mereka yang sama-sama mengutuk rasisme serta tindak kekerasan polisi. Pihak yang kontra, mengecam demonstrasi akibat aksi perusakan, sementara yang pro, menganggap bahwa demi menggoyang para pemegang kekuatan yang sudah terlalu nyaman duduk di singgasana penguasa, reaksi keras perlu dilakukan. Ada faktor-faktor lain, tapi pada intinya, dalam suatu pergerakan, acap kali terjadi perbedaan ideologi yang kerap menyulut perpecahan, walau sejatinya, semua pihak punya satu tujuan. Kondisi serupa terjadi pula di Indonesia dalam protes terkait Omnibus Law.

The Trial of the Chicago 7 yang menandai kali kedua Aaron Sorkin menduduki kursi sutradara setelah Molly’s Game (2017), membahas persoalan di atas, melahirkan paralel antara peristiwa tahun 1968 saat kerusuhan pecah di Konvensi Nasional Partai Demokrat dengan masa kini. Film-film period terbaik memang bukan sebatas perjalanan mengarungi masa lalu, juga membuat penonton membandingkan dengan kondisi sekarang, sehingga menciptakan pertanyaan, “Sudah sejauh apa kita melangkah?”.

Sekuen pembukanya dipakai memperkenalkan satu demi satu protagonis, di mana hanya dengan beberapa kalimat singkat, Sorkin berhasil menjabarkan ideologi yang diusung oleh masing-masing figur. Penyuntingannya membuat mereka seolah menyelesaikan kalimat satu sama lain, bak menyiratkan kalau nantinya kedelapan orang ini bakal saling bersinggungan. Tepatnya, dipaksa bersinggungan dalam rangkaian persidangan panjang yang berlangsung kurang lebih satu tahun.

Delapan orang ditangkap atas tuduhan konspirasi pasca pecahnya kerusuhan di tengah aksi memprotes keputusan Amerika Serikat menambah jumlah prajurit yang dikirim ke Vietnam. Mereka adalah: Abbie Hoffman (Sacha Baron Cohen) dan Jerry Rubin (Jeremy Strong) selaku pentolan Yippies (Youth International Party); David Dellinger (John Carroll Lynch) yang memimpin gerakan pasifisme penentang kekerasan; Tom Hayden (Eddie Redmayne) dan Rennie Davis (Alex Sharp) sebagai penggerak National Mobilization Committee to End the War in Vietnam alias the Mobe; Bobby Seale (Yahya Abdul-Mateen II) sang pemimpin Black Panther Party; serta dua aktivis, John Froines (Daniel Flaherty) dan Lee Weiner (Noah Robbins).

Selama sekitar 130 menit, kita diajak mengikuti persidangan yang oleh Abbie disebut “persidangan politis”. Pengacara mereka, William Kunstler (Mark Rylance) awalnya tidak setuju atas sebutan itu. Tapi seiring waktu, sulit bagi kita maupun Kunstler untuk tak mengamini omongan Abbie, setelah pihak penguasa melakukan segala cara untuk mengkriminalisasi para Chicago Eight (baru menjadi Chicago Seven setelah persidangan untuk Bobby Seale dipisah).

Richard Schultz (Joseph Gordon-Levitt) selaku jaksa penuntut sudah merupakan lawan sepadan. Tapi seolah belum cukup, Hakim Julius Hoffman (Frank Langella) terus melakukan ketidakadilan-ketidakadilan konyol. Belum lagi berbagai kecurangan lain, termasuk saat mengirim surat ancaman kepada keluarga salah satu juri dengan memakai nama Black Panther Party sebagai upaya fitnah.

Sorkin justru menggunakan ketidakadilan-ketidakadilan tadi sebagai media pemersatu delapan orang dengan ideologi berbeda (perbedaan yang kerap memancing perselisihan, khususnya antara Abbie dan Tom). Semakin pihak lawan menggelontorkan senjatanya, semakin tersadar pula para protagonis, bahwa di balik perbedaan ideologi, mereka punya musuh yang sama. Tanpa perlu berceramah, Sorkin juga berhasil menyadarkan penonton, bahwa musuh sebenarnya adalah para pemegang kekuatan yang menampik hak-hak minoritas, juga barisan preman berseragam yang malah bersikap brutal kepada orang-orang yang semestinya mereka layani dan lindungi.

The Trial of the Chicago 7 turut menandai upaya Sorkin melahirkan karya yang lebih bersahabat bagi kalangan penonton di luar penggemarnya. Barisan kalimatnya masih kaya, tajam, sesekali menggelitik, dan tentunya memorable. “Martin’s dead. Bobby’s dead. Jesus is dead. They tried it peacefully. We’re going to try something else”, ucap Bobby. Terdengar nyeleneh, tapi memancing perenungan. Tapi berbeda dengan kebiasaan Sorkin selama ini, penghantaran kalimat-kalimat tersebut tidak secepat lesatan peluru senapan otomatis. Penonton awam takkan kesulitan mengikutinya. Pun Sorkin menawarkan konklusi crowd pleasing, yang membuat saya bisa membayangkan, apa jadinya film ini, bila rencana awal di tahun 2007 untuk memberikan posisi sutradara kepada Steven Spielberg jadi dilakukan.

Terkait penyutradaraan, Sorkin makin matang. Sekuen terbaiknya adalah kerusuhan pertama, ketika demonstran berpawai menuju kantor polisi guna membebaskan Tom. Tempo yang meningkat secara bertahap, penyuntingan dinamis yang bergantian memperlihatkan dua pernyataan kontradiktif dari masing-masing pihak, kombinasi adegan reka ulang dan footage asli, ditambah musik pemacu adrenalin gubahan Daniel Pemberton (Steve Jobs, Spider-Man: Into the Spdier-Verse) Sorkin telah menyempurnakan kemampuannya membangun momentum yang begitu kuat menyetir emosi penonton.

Jajaran pemainnya tak kalah bersinar. Seperti biasa, Redmayne solid memerankan pria rapuh yang berusaha kuat. Pria yang mengucapkan kata-kata bernada keyakinan dengan penuh ketidakyakinan. Pria yang seperti bisa runtuh kapan pun namun menolak berhenti di tengah jalan. Langella adalah antagonis yang gampang dibenci, sedangkan Michael Keaton menjadi glorified cameo yang meninggalkan kesan.

Tapi Sacha Baron Cohen adalah yang terbaik. Abbie adalah aktivis, hippie, sekaligus komika. Kombinasi yang membuatnya sekilas hanya pria konyol yang tak bisa diandalkan, namun semakin banyak sarkasme tajam nan cerdas terlontar dari mulutnya, semakin mengagumkan sosoknya, yang turut menjelaskan, bagaimana bisa, di tengah tekanan dari penguasa, demokrasi menolak berjalan mundur pada 1968.


Available on NETFLIX

THE FOUNDER (2016)

Segala hal dalam hidup ini bisa dipandang melalui bermacam perspektif sehingga konsep benar-salah tak lagi sesederhana membedakan warna hitam dan putih. Akhirnya penghakiman tergantung pada hukum atau aturan atau budaya yang telah disepakati bersama. Begitu pun karakter Ray Kroc (Michael Keaton) dalam karya teranyar John Lee Hancock (The Blind Side, Saving Mr. Banks) ini. Tindakan akuisisi terhadap McDonald's jelas dianggap buruk secara moral. Ray bak kapitalis licik, serakah, tanpa perasaan. Namun ditinjau dari segi bisnis, langkah-langkahnya mencerminkan seorang ulung yang sukses membangun "kerajaan" yang sampai lebih dari satu dekade kemudian masih kuat mencengkeram dunia.

Semua berawal di tahun 1954 kala Ray masih seorang salesman alat pembuat milkshake. Keuntungannya tak seberapa meski cukup untuk hidup layak berdua bersama sang istri, Ethel (Laura Dern). Tapi Ray ingin lebih, mengedepankan kegigihan seperti yang sering dia dengar dari rekaman seorang motivator fiktif, Dr. Clarence Floyd Nelson. Sampai ia menemukan kesuksesan dua kakak beradik, Dick McDonald (Nick Offerman) dan Mac McDonald (John Carroll Lynch) membangun restoran bernama McDonald's dengan cara pelayanan revolusioner. Konsumen mendatangi counter, penyajian cepat, makanan dibungkus kertas alih-alih disajikan di atas piring dan nampan, serta suasana nyaman bagi keluarga, berbeda dibanding restoran drive-in yang menjamur kala itu di mana remaja berbondong-bondong mengumbar kemesraan.
Bertutur mengenai sosok gigih nan energik, John Lee Hancock pun mengemas adegan dengan semangat serupa, khususnya di paruh awal tatkala Dick dan Mac menjabarkan pada Ray cerita sukses mereka juga formula di baliknya. Hancock memastikan cerita memukau itu tak berakhir sebatas flashback selaku plot point penjelas sambil lalu. Penonton bakal dibuat terpaku seperti Ray, mendengarkan sambil terus dijaga atensinya berkat permainan intensitas ketat hasil tempo dinamis. Dick dan Mac menciptakan sistem pelayanan bernama "Speedee System", dan The Founder bergerak layaknya burger dalam sistem tersebut, cepat, padat, tetap rapi pula teratur.

Mencapai pertengahan, film bergerak menuju usaha Ray melebarkan sayap McDonald's dari restoran keluarga di kota kecil menjadi waralaba nasional yang menurutnya setara Gereja. Sebagaimana kita tahu titik kulminasi terletak pada tindakan Ray merebut McDonald's dari Dick dan Mac akibat merasa di bawah pimpinan kakak beradik itu  yang mengutamakan kekeluargaan ketimbang komersialitas  bisnis takkan berkembang pesat. Pertemuan dengan konsultan finansial bernama Harry Sonneborn (B. J. Novak) menyadarkan Ray bahwa ia bukan menggeluti bisnis burger, melainkan properti. The Founder pun mulai menyinggung ranah film ekonomi, yang berkat naskah Robert D. Siegel (The Wrestler, Turbo) mampu menjabarkan beberapa detail penting yang mudah dipahami walau mengandung istilah-istilah dunia ekonomi.
The Founder turut berusaha menyuguhkan drama personal Ray, memancing ironi sewaktu ia membangun McDonald's mengandalkan atmosfer kekeluargaan bahkan memakai pasangan suami istri muda nan harmonis supaya memancing konsumen, tapi dia sendiri mengesampingkan sang istri. Sayangnya, walaupun berguna mematenkan status Ray sebagai sosok egois luar biasa, paparan ini nihil emosi, sehambar pernikahan sang protagonis akibat dampak persoalannya lewat begitu saja. Penonton diminta bersimpati pada Ethel, namun begitu klimaks masalah menyerang, Ethel menghilang dari penceritaan. 

Apa yang memicu Ray "berjuang" sedemikian kuat? Benar ia didorong rekaman audio yang membentuk semua tindakannya dari awal (bukti naskahnya solid terstruktur perihal motivasi karakter), juga sindiran teman-temannya dari golf club, tapi lebih dari itu, ia adalah gambaran ketika semangat American Dream memacu individu mengerahkan seluruh daya upaya meraih keinginan meski itu berarti menghancurkan atau melukai orang lain. This is "a product" from, and made by America, and America only. Hal ini ditegaskan oleh pernyataan Ray bahwa nama McDonald's merupakan kunci kesuksesan karena terdengar "sangat Amerika". 

Ray bukan sosok jenius dan tak menganggap penting kejeniusan. Faktanya dia kerap melakukan kesalahan. Beberapa poin kesuksesan McD terjadi berkat orang lain (awal penciptaan, peralihan dari bisnis burger ke properti, ide memakai milkshake bubuk). Adegan di toilet menjelang akhir (Hancock cerdik memanfaatkan cermin guna menampilkan ekspresi tiap tokoh sehingga tidak memerlukan banyak reaction shot) menegaskan status Ray Kroc sebagai seorang kejam minim nurani, villain sejati dari kubu kapitalisme bagi Amerika. Dan Keaton sungguh perwujudan "iblis kapitalis" tersebut. Bersenjatakan seringai dan gerak tubuh yang menyiratkan kengerian, seolah sepanjang karir Keaton adalah bentuk latihan untuk peran ini. Penonton tidak akan bersimpati pada Ray, namun perjalanannya sungguh mencengkeram atensi berkat sang aktor. Do I wanna eat at McDonald's again after this? I don't know, but one thing for sure about this movie: I'm lovin' it.