Tampilkan postingan dengan label Eddie Redmayne. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Eddie Redmayne. Tampilkan semua postingan

REVIEW - FANTASTIC BEASTS: THE SECRETS OF DUMBLEDORE

Belum lama ini diberitakan bahwa nasib film keempat dan kelima Fantastic Beasts belum resmi mendapat lampu hijau. Nasibnya bergantung pada pendapatan The Secrets of Dumbledore, alias ada kemungkinan seri ini berakhir sebagai trilogi saja. Digarap oleh J. K. Rowling dan Steve Kloves (penulis naskah hampir seluruh film Harry Potter), naskahnya pun menyesuaikan sebagai bentuk rencana cadangan.

Rencana cadangan yang dimaksud berupa "konklusi malu-malu". Cerita tokoh-tokohnya diberi closure sebagaimana akhir suatu saga. Tapi disebut "akhir" pun kurang tebat, karena konflik utama belum sepenuhnya usai. Terasa betul ada kebimbangan. Tidak mengejutkan, mengingat sejak awal, Fantastic Beasts selalu digerogoti kebingungan menentukan arah. 

The Secrets of Dumbledore masih sama. Konflik memang tak penuh sesak seperti The Crimes of Grindelwald (2018), namun krisis identitas nyata terlihat sepanjang 142 menit durasinya. Kecuali sosok separuh burung separuh naga (Snallygaster?) yang menolong Newt Scamander (Eddie Redmayne) di awal cerita, para fantastic beasts tidak lagi fantastis. Porsi menipis, signifikansi pun berkurang, dengan kemunculan yang makin jauh dari memorable. 

Memang ada Qilin, makhluk ajaib yang mampu melihat ke dalam jiwa manusia sehingga jadi rebutan protagonis dan antagonis, tapi perannya sekadar MacGuffin, yang sekali lagi, tidak memorable. Kalau bukan film tentang fantastic beasts, apakah cerita soal Newt? Walau screen time-nya paling banyak mengingat dialah jagoan utama seri ini, Newt tidak punya proses atau story arc apa pun. He's just.....there. 

Bagaimana dengan Albus Dumbledore (Jude Law) yang namanya dijadikan subjudul? Adegan pembuka The Secrets of Dumbledore menampilkan pertemuan Dumbledore dan Gellert Grindelwald (Mads Mikkelsen). Mereka berbincang, dan kedua aktor mampu menciptakan dinamika intens antara mantan kekasih yang mendapati diri mereka  berada di kubu berlawanan. Terutama Mikkelsen. Senyumnya getir, menyiratkan kompleksitas emosi Grindelwald. Sesuatu yang sulit dibayangkan dapat diberikan oleh Johnny Depp (yang sekarang).

Tersimpan potensi besar terkait konflik personal Dumbledore-Grindelwald, tapi naskahnya tidak cukup kompeten menangani itu. Eksplorasi kedua karakter dilupakan, sementara alur beralih ke petualangan membosankan yang tampil bak benang kusut (I'll talk about it later), pula sama sekali tidak "ajaib", apalagi untuk ukuran film yang jadi bagian brand bernama "Wizarding World". 

Di kursi penyutradaraan, David Yates masih piawai memvisualkan dunia sarat keajaiban. Bhutan selaku latar third act-nya misal, yang memadukan elemen magis dengan nuansa futuristik. Tapi Yates bukan penyihir. Dia tak mampu menyulap naskah buruk jadi hiburan kelas satu. Sebuah naskah yang tersesat, baik soal menentukan jati diri maupun menjalin penceritaan utuh. 

Ada banyak titik di mana penonton bakal kesulitan memahami apa yang karakternya lakukan beserta golnya. Dumbledore mencetuskan taktik untuk membuat membuat musuh kebingungan. Begitu sukses taktik itu, tidak cuma Grindelwald saja yang bingung, penonton pun demikian. Ya, seperti benang kusut, akibat Rowling sendiri tidak tahu ingin membuat film apa. Melihat bagaimana penokohan Credence (Ezra Miller) dikembangkan, saya pun ragu Rowling tahu arti kata "kontinuitas". Dan seperti biasa, ia tidak tahu cara membuat klimaks, lalu cuma muncul dengan sekuen aksi pendek yang mendadak berakhir.

Satu-satunya hal positif dari Fantastic Beasts adalah lahirnya karakter Jacob Kowalski (Dan Fogler). Hanya dia karakter yang sejak film pertama konsisten mencuri perhatian, karena hanya dia yang punya tujuan jelas. Tujuan yang memiliki bobot emosi, yaitu berharap bisa bersatu kembali dengan Queenie (Alison Sudol). Bahkan berkat romansa Kowalski-Queenie, "konklusi malu-malu" tadi jadi memancarkan sedikit kehangatan. 

REVIEW - THE TRIAL OF THE CHICAGO 7

Pada aksi Black Lives Matter selepas pembunuhan George Floyd beberapa bulan lalu, opini publik Amerika Serikat terbelah, bahkan di antara mereka yang sama-sama mengutuk rasisme serta tindak kekerasan polisi. Pihak yang kontra, mengecam demonstrasi akibat aksi perusakan, sementara yang pro, menganggap bahwa demi menggoyang para pemegang kekuatan yang sudah terlalu nyaman duduk di singgasana penguasa, reaksi keras perlu dilakukan. Ada faktor-faktor lain, tapi pada intinya, dalam suatu pergerakan, acap kali terjadi perbedaan ideologi yang kerap menyulut perpecahan, walau sejatinya, semua pihak punya satu tujuan. Kondisi serupa terjadi pula di Indonesia dalam protes terkait Omnibus Law.

The Trial of the Chicago 7 yang menandai kali kedua Aaron Sorkin menduduki kursi sutradara setelah Molly’s Game (2017), membahas persoalan di atas, melahirkan paralel antara peristiwa tahun 1968 saat kerusuhan pecah di Konvensi Nasional Partai Demokrat dengan masa kini. Film-film period terbaik memang bukan sebatas perjalanan mengarungi masa lalu, juga membuat penonton membandingkan dengan kondisi sekarang, sehingga menciptakan pertanyaan, “Sudah sejauh apa kita melangkah?”.

Sekuen pembukanya dipakai memperkenalkan satu demi satu protagonis, di mana hanya dengan beberapa kalimat singkat, Sorkin berhasil menjabarkan ideologi yang diusung oleh masing-masing figur. Penyuntingannya membuat mereka seolah menyelesaikan kalimat satu sama lain, bak menyiratkan kalau nantinya kedelapan orang ini bakal saling bersinggungan. Tepatnya, dipaksa bersinggungan dalam rangkaian persidangan panjang yang berlangsung kurang lebih satu tahun.

Delapan orang ditangkap atas tuduhan konspirasi pasca pecahnya kerusuhan di tengah aksi memprotes keputusan Amerika Serikat menambah jumlah prajurit yang dikirim ke Vietnam. Mereka adalah: Abbie Hoffman (Sacha Baron Cohen) dan Jerry Rubin (Jeremy Strong) selaku pentolan Yippies (Youth International Party); David Dellinger (John Carroll Lynch) yang memimpin gerakan pasifisme penentang kekerasan; Tom Hayden (Eddie Redmayne) dan Rennie Davis (Alex Sharp) sebagai penggerak National Mobilization Committee to End the War in Vietnam alias the Mobe; Bobby Seale (Yahya Abdul-Mateen II) sang pemimpin Black Panther Party; serta dua aktivis, John Froines (Daniel Flaherty) dan Lee Weiner (Noah Robbins).

Selama sekitar 130 menit, kita diajak mengikuti persidangan yang oleh Abbie disebut “persidangan politis”. Pengacara mereka, William Kunstler (Mark Rylance) awalnya tidak setuju atas sebutan itu. Tapi seiring waktu, sulit bagi kita maupun Kunstler untuk tak mengamini omongan Abbie, setelah pihak penguasa melakukan segala cara untuk mengkriminalisasi para Chicago Eight (baru menjadi Chicago Seven setelah persidangan untuk Bobby Seale dipisah).

Richard Schultz (Joseph Gordon-Levitt) selaku jaksa penuntut sudah merupakan lawan sepadan. Tapi seolah belum cukup, Hakim Julius Hoffman (Frank Langella) terus melakukan ketidakadilan-ketidakadilan konyol. Belum lagi berbagai kecurangan lain, termasuk saat mengirim surat ancaman kepada keluarga salah satu juri dengan memakai nama Black Panther Party sebagai upaya fitnah.

Sorkin justru menggunakan ketidakadilan-ketidakadilan tadi sebagai media pemersatu delapan orang dengan ideologi berbeda (perbedaan yang kerap memancing perselisihan, khususnya antara Abbie dan Tom). Semakin pihak lawan menggelontorkan senjatanya, semakin tersadar pula para protagonis, bahwa di balik perbedaan ideologi, mereka punya musuh yang sama. Tanpa perlu berceramah, Sorkin juga berhasil menyadarkan penonton, bahwa musuh sebenarnya adalah para pemegang kekuatan yang menampik hak-hak minoritas, juga barisan preman berseragam yang malah bersikap brutal kepada orang-orang yang semestinya mereka layani dan lindungi.

The Trial of the Chicago 7 turut menandai upaya Sorkin melahirkan karya yang lebih bersahabat bagi kalangan penonton di luar penggemarnya. Barisan kalimatnya masih kaya, tajam, sesekali menggelitik, dan tentunya memorable. “Martin’s dead. Bobby’s dead. Jesus is dead. They tried it peacefully. We’re going to try something else”, ucap Bobby. Terdengar nyeleneh, tapi memancing perenungan. Tapi berbeda dengan kebiasaan Sorkin selama ini, penghantaran kalimat-kalimat tersebut tidak secepat lesatan peluru senapan otomatis. Penonton awam takkan kesulitan mengikutinya. Pun Sorkin menawarkan konklusi crowd pleasing, yang membuat saya bisa membayangkan, apa jadinya film ini, bila rencana awal di tahun 2007 untuk memberikan posisi sutradara kepada Steven Spielberg jadi dilakukan.

Terkait penyutradaraan, Sorkin makin matang. Sekuen terbaiknya adalah kerusuhan pertama, ketika demonstran berpawai menuju kantor polisi guna membebaskan Tom. Tempo yang meningkat secara bertahap, penyuntingan dinamis yang bergantian memperlihatkan dua pernyataan kontradiktif dari masing-masing pihak, kombinasi adegan reka ulang dan footage asli, ditambah musik pemacu adrenalin gubahan Daniel Pemberton (Steve Jobs, Spider-Man: Into the Spdier-Verse) Sorkin telah menyempurnakan kemampuannya membangun momentum yang begitu kuat menyetir emosi penonton.

Jajaran pemainnya tak kalah bersinar. Seperti biasa, Redmayne solid memerankan pria rapuh yang berusaha kuat. Pria yang mengucapkan kata-kata bernada keyakinan dengan penuh ketidakyakinan. Pria yang seperti bisa runtuh kapan pun namun menolak berhenti di tengah jalan. Langella adalah antagonis yang gampang dibenci, sedangkan Michael Keaton menjadi glorified cameo yang meninggalkan kesan.

Tapi Sacha Baron Cohen adalah yang terbaik. Abbie adalah aktivis, hippie, sekaligus komika. Kombinasi yang membuatnya sekilas hanya pria konyol yang tak bisa diandalkan, namun semakin banyak sarkasme tajam nan cerdas terlontar dari mulutnya, semakin mengagumkan sosoknya, yang turut menjelaskan, bagaimana bisa, di tengah tekanan dari penguasa, demokrasi menolak berjalan mundur pada 1968.


Available on NETFLIX

FANTASTIC BEASTS: THE CRIMES OF GRINDELWALD (2018)

Fantastic Beasts: The Crimes of Grindelwald adalah film yang harus disaksikan dalam format 4DX3D. Format ini memaksimalkan pendekatan David Yates—yang termasuk film ini, telah menyutradarai enam installment terakhir Wizarding World—terhadap sekuen aksi, di mana ia menghancurkan berbagai lokasi, entah lewat ilmu sihir atau amukan monster, menggerakkan kamera secara cepat, menampilkan kekacauan yang akan membuat penonton memegang erat kursi agar tak terjatuh. Sementara 3D-nya, walau tak memiliki kedalaman seberapa, dihiasi beberapa efek pop-up.

Apa jadinya jika film ini ditonton di format biasa? Anda akan tenggelam dalam usaha J. K. Rowling memuaskan penggemar seri Harry Potter memakai deretan fan service penuh referensi atau tokoh lama yang muncul acak tanpa urgensi, hanya agar para penggemar berujar “Whoaa ini kan si itu....”. Rowling tahu jika banyak dari mereka terobsesi akan keterkaitan tak terduga, memutuskan mengabulkan harapan tersebut hampir di tiap kesempatan, hingga membuat naskah tulisannya terasa bak fan fiction.

Berjudul The Crimes of Grindelwald, dan benar, sang “penyihir hitam” memang melakukan kejahatan-kejahatan, tapi sulit menampik kesan bahwa judulnya dipilih karena terdengar keren dan supaya Grindelwald (baca: Johnny Depp) jadi jualan utama. Tapi bukan masalah. Kelemahan fatal Rowling dalam bertutur bukan disebabkan tidak menjadikan kejahatan Grindelwald sebagai fokus, melainkan ketiadaan fokus.

The Crimes of Grindelwald dibuka oleh keberhasilan upaya Grindelwald kabur dari penjara berkat pengkhianatan seorang anggota kementrian sihir. Tentu saja pengkhianatan, identitas rahasia, sampai mata-mata ganda merupakan kejutan andalan Rowling, yang di titik ini tak lagi mengejutkan. Tapi jangan khawatir. Sang penulis menemukan cara baru, yang jauh lebih konyol (we’ll get there later).

Bagi si titular character, film ini mengisahkan prosesnya mengumpulkan pengikut sebanyak mungkin, namun target utamanya adalah Credence (Ezra Miller), antagonis film pertama yang rupanya mampu bertahan hidup, dan kini berada di sebuah kelompok sirkus bersama Nagini (Claudia Kim). Keduanya mengarungi perjalanann dengan tujuan menemukan siapa Credence sebenarnya, siapa orang tuanya, dan dari mana ia berasal.  Di paragraf ini saja saya sudah membahas dua subplot, dan belum menyentuh kisah si protagonis, Newt Scamander (Eddie Redmayne).

Newt ditugasi Dumbledore (Jude Law) meringkus Grindelwald, dan sekali lagi bertemu Jacob Kowalski (Dan Fogler), yang mengikuti Newt demi memenangkan lagi hati Queenie (Alison Sudol), yang kecewa akibat keengganan Jacob segera mengucap janji suci, lalu memilih mengunjungi kakaknya, Tina (Katherine Waterston), yang mana hatinya pun coba dimenangkan kembali oleh Newt. Tina sendiri tengah patah hati setelah melihat berita palsu soal pertunangan Newt dengan Leta Lestrange (Zoë Kravitz). Oh Tuhan, begitu banyak cerita. Kalau alasan kemarahan Tina terdengar bak sinetron, tunggu dulu. Anda belum melihat apa-apa.

Jajaran cast tampil baik. Sekali lagi Fogler bukan saja pengundang tawa, pula sumber hati. Konklusi film pertama mengharukan berkatnya, dan Rowling ingin memunculkan dampak serupa namun gagal. Fogler berbuat sebisanya, tapi emosi senantiasa hampa, sebab naskahnya urung menyuguhkan motivasi meyakinkan bagi keputusan salah satu karakternya (Anda akan tahu karakter yang mana). Sedangkan Jude Law sempurna memerankan Dumbledore, selain berkat kemiripan wajah dengan Michael Gambon (tanpa uban, rambut panjang, dan jenggot lebat), ia membuat saya percaya sedang melihat sosok penyihir terkuat di masa jayanya.

Lain halnya Depp. Dipandang dari segi karakterisasi, Voldemort bukan villain luar biasa, tapi pendekatan over-the-top Ralph Fiennnes menjadikannya antagonis menghibur. Sementara Depp mencoba interpretasi lebih serius, kejam, tenang, yang justru membuat Grindelwald membosankan, tak jauh beda dibanding mayoritas antagonis generik film-film blockbuster Hollywood. Eddie Redmayne sebagai Newt dengan mata lembut yang jarang menatap lawan bicaranya adalah protagonis likeable, namun ketidakfokusan naskah menghalangi penonton mencintanya lebih jauh. Newt hanya satu bidak di sebuah papan catur besar nan ramai yang di atasnya cuma terdiri atas bidak-bidak.

Rowling punya setumpuk ide yang cocok dituangkan dalam novel 700 halaman, namun bagi film berdurasi 134 menit, kisahnya bergerak liar tanpa kesan kesatuan. Pada beberapa poin, The Crimes of Grindelwald bagai midseason serial televisi yang meletakkan cabang-cabang narasi dan belum sempat menautkannya satu sama lain, sebelum ditutup oleh konklusi berbumbu kejutan khas opera sabun murahan. Saya takkan terkejut bila kelak terungkap jika rumah produksi di balik film ini adalah Sinemart dan Ezra Miller merupakan Glenn Alinskie yang menyamar.

Cara Rowling bertutur menunjukkan ketidaksiapan menulis naskah film. Rowling bergantung pada tuturan verbal, menyuruh karakternya bicara terlalu banyak, yang malah membuat alurnya bak benang kusut. The Crimes of Grindelwald adalah bentuk penceritaan amburadul. Jadi, sebagaimana Nolan menyarankan IMAX 70mm untuk Dunkirk, saya merekomendasikan 4DX3D, atau setidaknya 4DX guna menyamarkan kelemahan narasi. Aksi-aksi serunya bakal membuai, khususnya amukan Zouwu si kucing berukuran gajah dari Cina. Walau lagi-lagi, Rowling perlu memperbaiki penulisan klimaks, yang sejak era Harry Potter, selalu lebih kuat di pembangunan ketimbang payoff. Klimaks ciptaan Rowling acap kali bukan “puncak”, melainkan sekedar satu lagi aksi yang bahkan bukan spectacle terbesar di sepanjang cerita.

Dan bukankah serupa tajuknya, seri ini mestinya mengeksplorasi mitologi Fantastic Beasts? Mengapa makhluk-makhluk ajaib tersebut hanya berguna mengeskalasi aksi atau senjata komedi namun punya pengaruh minim pada plot? Entahlah. Alurnya datang dari penulis yang menyebut mitologi “Naga” berasal dari Indonesia. So, yeah.....

EARLY MAN (2018)


Sepak bola bukan berasal dari Inggris, melainkan Cina. Bentuk awalnya bernama cuju (bola sepak), yang mulai dimainkan sejak 2-3 abad SM. Namun karena organisasi resmi pertama, yaitu FA (Football Association) terbentuk di sana tahun 1863, begitu pula Guy’s Hospital selaku klub tertua yang berdiri pada 1843, Inggris berjasa mempopulerkan olah raga ini. Kebanggaan masyarakatnya akan status “negara sepak bola” kerap memicu miskonsepsi di atas. Early Man tidak berniat dan memang tidak perlu peduli akan fakta tersebut. Menurut filmnya, selain memusnahkan populasi dinosaurus, asteroid berperan melahirkan sepak bola.

Pecahan asteroid itu berbentuk bulat dengan tekstur layaknya bola. Diawali ketidaksengajaan, para manusia purba pun menemukan sepak bola. Peristiwa ini terjadi di tempat yang merupakan cikal bakal Manchester. Ditambah sebuah humor wordplay yang menyebut momen persatuan para protagonisnya di lapangan sebagai “Early Man United”, mudah menebak klub mana yang didukung kedua penulis naskahnya, Mark Burton dan James Higgins. Ceritanya sederhana. Manusia gua bernama Dug (Eddie Redmayne) dari suku primitif zaman batu berusaha mendorong teman-temannya untuk merebut kembali lembah hijau mereka yang digusur pasukan modern zaman perunggu.
Sang pimpinan, Lord Nooth (Tom Hiddleston) bersedia mengembalikan lembah itu, asal Dug beserta sukunya berhasil mengalahkan tim zaman perunggu dalam sebuah permainan sakral: sepak bola. Tidak terlalu melebih-lebihkan, sebab bagi banyak rakyat Inggris, sepak bola memang sakral. Setidaknya jadi unsur terpenting hidup mereka. Burton dan Higgins pun bagai mendapat taman bermain untuk menuangkan setumpuk referensi, seperti memberi nama Ratu zaman perunggu Queen Oofeefa (dari FIFA). Tim lawan bernama Real Bronzio, yang terdiri atas gabungan pemain-pemain top dengan bayaran (terlalu) mahal namun sulit menyatu. Saya terkejut tak ada pemain bernama Cristiano di sana.

Tidak semua penonton paham referensi-referensi itu, terlebih anak-anak. Itu sebabnya, ketimbang mengedepankan komedi absurd seperti animasi stop-motion rilisan Aardman sebelumnya (Chicken Run, Wallace & Gromit: The Curse of the Were-Rabbit), deretan slapstick generik dipasang. Hognob si babi hutan melanjutkan tongkat estafet Grommit sebagai hewan peliharaan yang lebih cerdas ketimbang pemiliknya, sementara visual tanah liatnya memperlihatkan detail memikat serta tekstur unik di mana penonton seolah dapat melihat sidik jari sang seniman. Tapi tanpa kreativitas lebih pada departemen komedi, Early Man urung menandingi pesona para pendahulunya.
Pesan supaya tetap berjuang tanpa peduli asal maupun masa lalu bisa dijadikan pelajaran berharga bagi penonton anak. Sedangkan dari karakter Goona (Maisie Williams), seorang gadis penjual panci yang menyimpan impian beraksi di lapangan sepak bola, tuturan women empowerment dapat diserap. Pun perjuangan suku zaman batu melawan kerjaan zaman perunggu yang gemar memeras rakyat sekaligus menggusur tempat tinggal mereka adalah teriakan penolakan untuk pemerintahan tiran yang rasanya bakal senantiasa relevan. Tapi bagi penggemar sepak bola, Early Man punya subteks lain di dalamnya.

Tim Dug bermain mengenakan kostum merah-putih, serupa dengan yang dikenakan Bobby Moore dan kawan-kawan kala memenangkan Piala Dunia 1966 di negeri sendiri. Pemain andalan Real Bronzio adalah Jurgen, yang tak diragukan lagi berasal dari Jerman, yang mana merupakan lawan Inggris di final Piala Dunia 1966 (waktu itu masih Jerman Barat). Hasil akhir kedua pertandingan pun mirip, hanya saja film ini mengubah selisih skor menjadi 1 angka demi menjaga nuansa dramatis. Nuansa yang gagal direalisasikan secara maksimal akibat eksekusi Nick Park terhadap klimaksnya tidak cukup imajinatif, seru, maupun menegangkan.