Tampilkan postingan dengan label Martin Scorsese. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Martin Scorsese. Tampilkan semua postingan
THE IRISHMAN (2019)
Rasyidharry
Goodfellas (1990) dan Casino (1995), ibarat glamorisasi Martin Scorsese terhadap mafia
yang ia idolakan sewaktu kecil, walau di akhir, selalu ditunjukkan bagaimana
pilihan hidup itu bakal berakhir buruk. Kini, dalam The Irishman, menyentuh usia 77 tahun, Scorsese mungkin telah
menemukan closure, menyadari bahwa
segala kekuatan dan kekerasan itu tak lagi nampak keren, hanya menyebabkan
penderitaan, kesepian, yang hanya bermuara pada satu poin: kematian.
Itulah kenapa, mengiringi pengenalan banyak karakter film
ini, selalu tercantum kapan serta bagaimana mereka meregang nyawa, di mana
mayoritas (kecuali satu nama), tewas akibat dibunuh. Mengadaptasi buku nonfiksi
I Head You Paint Houses karya Charles
Brandt yang hingga sekarang kebenarannya diperdebatkan, kisahnya dipaparkan
melalui sudut pandang Frank Sheeran (Robert De Niro), veteran Perang Dunia II,
yang pada tahun 1950an, bekerja sebagai sopir truk di Philadelphia.
Satu hal yang seketika mencuri perhatian pada era tersebut
adalah teknologi de-aging untuk memudakan
tampilan fisik De Niro (dan lebih dari satu jam kemudian, Al Pacino). Sempurna?
Mungkin belum. Beberapa garis wajah yang terlalu mulus masih nampak bila
diperhatikan saksama, tapi cukup sebagai ilusi agar penonton percaya tengah
melihat pria berumur 30-40an tahun. Satu hal yang sukar disembunyikan adalah
kondisi fisik sang actor. Mustahil De Niro bergestur seolah masih berada di
masa jayanya, sehingga sedikit aneh kala menyaksikan Frank menghajar seorang
pemilik toko roti.
Tapi itu sebatas kelemahan minor yang nyaris tak mengganggu
perjalanan 209 menit (hampir tiga setengah jam) yang filmnya tawarkan. Dari
mengantar ikan bagi mafia lokal, reputasi Frank sampai di telinga Russell
Bufalino (Joe Pesci), pemimpin kelompok mafia Bufalino. Sebagaimana digambarkan
Frank, Russell merupakan “penguasa jalan”. Semua bisnis kotor hingga pembunuhan
harus seizing Russell. Frank mulai jadi sosok kepercayaan Russell, menjalankan
banyak misi, termasuk “painted houses”
dan “carpentry”.
Keduanya adalah istilah mafia. “painted houses” berarti membunuh (karena saat menembak target,
darah orang itu akan muncrat seperti cat di tembok), sedangkan “carpentry” berarti menyingkirkan tubuh
korban. Beberapa pihak meragukan keabsahan istilah-istilah tersebut, namun di
situ terletak salah satu daya tarik The
Irishman. Ditulis naskahnya oleh Steven Zaillian (Schindler’s List, Gangs of New York, Moneyball), film ini bak
panduan soal dunia mafia. Selain istilah, Frank turut “mengajari” kita soal
pemilihan pistol yang tepat. Pastikan pistol itu menimbulkan suara agar para
saksi mata kabur dan kesulitan mengenali wajahmu, tapi jangan terlalu keras
atau mobil patrol bakal menyatroni lokasi. Apakah realitanya demikian? Tidak
jadi soal. Terpenting, The Irishman mendapat
kadar hiburan tinggi berkatnya.
Seiring waktu, Frank dan Russell semakin akrab, bahkan
keluarga masing-masing kerap menghabiskan waktu bersama. Pembicaraan keduanya
senantiasa memikat karena dua hal: akting dan penyutradaraan. De Niro, yang
lebih pasif ketimbang mayoritas lawan bicaranya siapa pun itu, mampu menyiratkan
kekalutan batin yang makin lama makin kuat, tapi Joe Pesci, yang kembali dari
masa pensiun setelah hampir satu dekade, merupakan MVP-nya.
Sosoknya berjalan di garis ambigu antara pria pemurah dan gangster keji, lalu
dengan mudah menarik atensi lewat senyum maupun tatapan mengintimdasi tanpa
harus berusaha melakukannya.
Contohnya ketika Russell
menemani Angelo Bruno (Harvey Keitel) mengonfrontasi Frank pasca ia meledakkan sebuah
tempat laundry. Pesci hanya duduk diam. Bibirnya menyunggingkan senyum
sementara kedua tangannya tersembunyi di balik meja, bagai seorang bocah yang
bersemangat menantikan sebungkus hadiah. Apa arti senyum itu? Formalitas?
Penenang bagi Frank? Atau ada intensi terselubung? Mana pun itu, saya dibuat
merinding ngeri menyaksikannya.
Terkait
penyutradaraan, silahkan perhatikan betul tiap pengadeganan, dan lewat beragam
detailnya, anda akan mendapati betapa hebat seorang Martin Scorsese. Beberapa
tampil subtil, misalnya obrolan Frank dan Russell di sebuah café. Ditemani
iringan biola yang samar-samar memainkan Speak
Softly Love dari The Godfather, ditambah
tempo berlangsungnya pembicaraan (penuturan aktor, perpindahan shot), momen itu memunculkan intensitas
elegan, seperti musik jazz yang seseorang dengar sesaat sebelum ajal menjemput.
Sejak debutnya di Who’s That Knocking at My Door (1967),
Scorsese memang sudah memperlihatkan kepekaan dalam mengawinkan media audio
dengan visual. Pilihan musiknya berhasil menyempurnakan atmosfer adegan. Kali
ini, selain scoring garapan komposer langganannya,
Robbie Robertson, lagu dari beragam genre, khususnya rock ‘n roll dan jazz
rutin menemani, dengan In the Still of
the Night milik The Five Satins yang terdengar mistis jadi musik yang bakal
terus terngiang di benak penonton untuk waktu lama.
Bukan cuma yang
bersifat subtil, penyutradaraan Scorsese juga bersinar kala sang sineas
membuktikan bahwa usia sekadar angka, dan tak menghalanginya memamerkan gaya
bertenaga. Beberapa kali take panjang
diterapkan, di mana penembakan yang Frank lakukan di sebuah restoran bakal
membuatmu terkejut, kemudian terpukau. Sementara transisi mulus pagi menuju
malam di rumah sakit jelang film berakhir akan memancing pertanyaan tentang
trik macam apa yang Scorsese dan timnya pakai.
Scorsese boleh memimpin,
namun pencapaian The Irishman takkan
terjadi tanpa kontribusi timnya. Penyuntingan Thelma Schoonmaker yang telah
jadi kolaboratornya sejak Raging Bull (1980)
membantu Scorsese menyampaikan repetisi dalam keseharian Frank kala sebuah rentetan
peristiwa dimunculkan berulang kali secara beruntun (mengantar daging, membuang
pistol, mengambil uang setoran), juga…..humor!
Ya, biarpun mengusung
tema kelam nan kejam, The Irishman di
luar dugaan cukup menggelitik. Film ini bukan saja Scorsese dalam fase paling
matang dan nyaman, juga playful.
Bagaimana ia menggambarkan proses “penghantara pesan” antara pelaku dunia hitam
(yang melibatkan banyak bahan peledak) contohnya.
Semakin jauh
filmnya berjalan, semakin saya dibuat tercengang oleh seberapa kuat pengaruh
gangster dalam berjalannya negara adidaya bernama Amerika. Setumpuk karakter
datang dan pergi, tapi Zaillian memastikan penonton dapat memilah “siapa adalah
siapa” melalui kejelasan serta kesolidan struktur bercerita. Gerbang menuju konspirasi-konspirasi
besar dibuka setelah oleh Russell, Frank diperkenalkan pada Jimmy Hoffa (Al
Pacino), ketua serikat buruh International
Brotherhood of Teamsters. Jimmy, yang dideskripsikan oleh Frank sebagai “sebesar
Elvis”, amat berpengaruh, kekuasaannya saat itu mungkin hanya di bawah Presiden
(atau malah lebih?). Serupa kondisinya bersama Russell, Frank mulai mendapat
kepercayaan Jimmy, menjadi bodyguard kepercayaannya,
bahkan Jimmy menjadi figur ayah yang dirindukan puteri Frank, Peggy (Anna
Paquin).
Keluarga merupakan
salah satu pokok bahasan utama The
Irishman, yang penuturannya kental ironi. Frank ingin melindungi
keluarganya, termasuk Peggy, namun semakin jauh ia terlibat dalam dunia bawah
tanah—yang ia anggap menambah kekuatan, kekuasaan, dan keamanan—semakin menjauh
pula sang puteri. Dari situ awal segala tragedi The Irishman, yang menolak meromantisasi dan mendramatisasi
kematian. Bahkan kematian terpenting sepanjang film tak diperlakukan dengan
spesial. Itulah poin yang ingin diutarakan Scorsese. Dunia mafia hanya membawa
kematian, dan kematian hanya kematian. Sebuah akhir. Tinggal bagaimana, dan
dengan siapa seseorang menantikan akhir itu tiba.
Available on NETFLIX
Desember 04, 2019
Al Pacino
,
Anna Paquin
,
Crime
,
Harvey Keitel
,
Joe Pesci
,
Martin Scorsese
,
REVIEW
,
Robbie Robertson
,
Robert De Niro
,
Sangat Bagus
,
Steven Zaillian
,
Thelma Schoonmaker
GANGS OF NEW YORK (2002)
Rasyidharry
Nama Martin Scorsese dalam satu dekade terakhir terbilang fenomenal. Bayangkan, dia cuma menelurkan 4 film. Tapi dari keempat film itu semuanya dianggap punya kualitas luarbiasa dan layak bersaing di Oscar. Dari keempat film itu saya baru nonton 2. Yaitu The Departed & Shutter Island. The Departed berhasil menguasai Oscar tahun 2007. Shutter Island juga punya kualitas yang bagus. 2 Film lainnya adalah The Aviator dan Gangs of New York. Dari keempat film diatas semuanya memasang nama Leonardo DiCaprio sebagai bintang utama. Untuk Gangs of New York, pemilihan cast hampir seperti The Deaprted & The Aviator, yaitu memasukkan banyak nama pemain berkualitas yang udah gak diragukan lagi kemampuannya. Selain Leo masih ada Cameron Diaz, Daniel Day-Lewis, sampe Liam Neeson.
Pada tahun 1800an, New York belumlah jadi kota seperti sekarang. New York adalah kota yang lair dan ganas. Sering terjadi pertikaian disana. Pada tahun 1846 juga terjadi perang antar kelompok. Di wilayah Five Points terjadi perang antara penduduk asli Amerika yang menamakan dirinya "The Natives" dipimpin oleh William "Bill The Butcher" Cutting (Daniel Day-Lewis) melawan kelompok imigran asal Irlandia yang dipimpin Pendeta Vallon (Liam Neeson). Setelah melalui pertumpahan darah, Bill The Butcher berhasil menghabisi Vallon. Tragisnya, hal itu terjadi didepan putra Vallon, Amsterdam. Amsterdan kemudian diasuh di panti asuhan. Setelah 16 tahun, Amsterdam yang telah dewasa (Leonardo DiCaprio) kembali lagi ke New York. Tujuannya jelas membunuh Bill The Butcher. Tetapi ia mendapati beberapa anak buah ayahnya malah menjadi pelayan dan jadi anak buah Bill. Amsterdam lalu meminta bantuan kawan lamanya Johnny untuk bisa
menyelinap dan menjadi anak buah Bill. Amsterdam lalu menjadi orang
kepercayaan Bill The Butcher sambil menunggu kesempatan membunuh Bill.
Disamping itu, Amsterdam juga mulai menjalin hubungan dengan seorang
pencopet wanita bernama Jenny Everdeane (Cameron Diaz) yang ternyata
juga mempunyai kedekatan dengan Bill. Bagaimanakah akhir usaha balas
dendam Amsterdam Vallon?
Film ini memiliki durasi lumayan panjang, 166 menit. Film ini adalah film terpanjang yang pernah saya tonton dibawah Trilogi The Godfather (Part I: 175 menit, Part II: 200 menit, Part III: 170 menit). Cerita film ini sendiri sebenernya gak spesial. Udah banyak film tentang balas dendam, dan pembalasan dilakukan dengan cara mendektkan diri terlebih dulu ke targetnya. Untungnya kemasan film ini menarik sehingga kebosanan hampir tidak melanda saya. Dialog yang disajikan tidak terlalu panjang. Hampir tiap adegan selalu disajikan suguhan menarik. Tapi kekuatan utama film ini ada pada akting para pemainnya, khususnya duo DiCaprio & Day-Lewis. Melalui film ini Leo mulai dikenal sebagai aktor watak yang gak cuma modal tampang. Emang tahun 2002 merupakan tahun kebangkitannya. Setelah Titanic praktis namanya tenggelam. Karirnya nyaris mandek. Beruntung di film Steven Spielberg, "Catch Me If You Can" dia bisa bangkit, dan lewat Gangs of New York kemampuan aktingnya diakui. Walopun dia baru dilirik juri oscar pada tahun 2004 lewat The Aviator. Tapi bintang sesungguhnya film ini tetaplah Daniel Day-Lewis. Aktor satu ini emang ciamik. Perannya sebagai Bill The Butcher yang bengis dan berwibawa emang patut diapresiasi lebih. Dan jangan lupakan kumis ikoniknya. Dari 3 film Day-Lewis yang udah saya tonton (Gangs of New York, There Will Be Blood, Nine) semuanya dia selalu menunjukkanakting yang piawai. Dibalik durasinya yang rawan bikin bosan, pengemasan cerita dan akting para pemainnya membuat film ini menarik.
Agustus 04, 2010
Bagus
,
Cameron Diaz
,
Daniel Day-Lewis
,
Drama
,
Leonardo DiCaprio
,
Liam Neeson
,
Martin Scorsese
,
REVIEW
Langganan:
Postingan
(
Atom
)