THE IRISHMAN (2019)
Rasyidharry
Desember 04, 2019
Al Pacino
,
Anna Paquin
,
Crime
,
Harvey Keitel
,
Joe Pesci
,
Martin Scorsese
,
REVIEW
,
Robbie Robertson
,
Robert De Niro
,
Sangat Bagus
,
Steven Zaillian
,
Thelma Schoonmaker
10 komentar
Goodfellas (1990) dan Casino (1995), ibarat glamorisasi Martin Scorsese terhadap mafia
yang ia idolakan sewaktu kecil, walau di akhir, selalu ditunjukkan bagaimana
pilihan hidup itu bakal berakhir buruk. Kini, dalam The Irishman, menyentuh usia 77 tahun, Scorsese mungkin telah
menemukan closure, menyadari bahwa
segala kekuatan dan kekerasan itu tak lagi nampak keren, hanya menyebabkan
penderitaan, kesepian, yang hanya bermuara pada satu poin: kematian.
Itulah kenapa, mengiringi pengenalan banyak karakter film
ini, selalu tercantum kapan serta bagaimana mereka meregang nyawa, di mana
mayoritas (kecuali satu nama), tewas akibat dibunuh. Mengadaptasi buku nonfiksi
I Head You Paint Houses karya Charles
Brandt yang hingga sekarang kebenarannya diperdebatkan, kisahnya dipaparkan
melalui sudut pandang Frank Sheeran (Robert De Niro), veteran Perang Dunia II,
yang pada tahun 1950an, bekerja sebagai sopir truk di Philadelphia.
Satu hal yang seketika mencuri perhatian pada era tersebut
adalah teknologi de-aging untuk memudakan
tampilan fisik De Niro (dan lebih dari satu jam kemudian, Al Pacino). Sempurna?
Mungkin belum. Beberapa garis wajah yang terlalu mulus masih nampak bila
diperhatikan saksama, tapi cukup sebagai ilusi agar penonton percaya tengah
melihat pria berumur 30-40an tahun. Satu hal yang sukar disembunyikan adalah
kondisi fisik sang actor. Mustahil De Niro bergestur seolah masih berada di
masa jayanya, sehingga sedikit aneh kala menyaksikan Frank menghajar seorang
pemilik toko roti.
Tapi itu sebatas kelemahan minor yang nyaris tak mengganggu
perjalanan 209 menit (hampir tiga setengah jam) yang filmnya tawarkan. Dari
mengantar ikan bagi mafia lokal, reputasi Frank sampai di telinga Russell
Bufalino (Joe Pesci), pemimpin kelompok mafia Bufalino. Sebagaimana digambarkan
Frank, Russell merupakan “penguasa jalan”. Semua bisnis kotor hingga pembunuhan
harus seizing Russell. Frank mulai jadi sosok kepercayaan Russell, menjalankan
banyak misi, termasuk “painted houses”
dan “carpentry”.
Keduanya adalah istilah mafia. “painted houses” berarti membunuh (karena saat menembak target,
darah orang itu akan muncrat seperti cat di tembok), sedangkan “carpentry” berarti menyingkirkan tubuh
korban. Beberapa pihak meragukan keabsahan istilah-istilah tersebut, namun di
situ terletak salah satu daya tarik The
Irishman. Ditulis naskahnya oleh Steven Zaillian (Schindler’s List, Gangs of New York, Moneyball), film ini bak
panduan soal dunia mafia. Selain istilah, Frank turut “mengajari” kita soal
pemilihan pistol yang tepat. Pastikan pistol itu menimbulkan suara agar para
saksi mata kabur dan kesulitan mengenali wajahmu, tapi jangan terlalu keras
atau mobil patrol bakal menyatroni lokasi. Apakah realitanya demikian? Tidak
jadi soal. Terpenting, The Irishman mendapat
kadar hiburan tinggi berkatnya.
Seiring waktu, Frank dan Russell semakin akrab, bahkan
keluarga masing-masing kerap menghabiskan waktu bersama. Pembicaraan keduanya
senantiasa memikat karena dua hal: akting dan penyutradaraan. De Niro, yang
lebih pasif ketimbang mayoritas lawan bicaranya siapa pun itu, mampu menyiratkan
kekalutan batin yang makin lama makin kuat, tapi Joe Pesci, yang kembali dari
masa pensiun setelah hampir satu dekade, merupakan MVP-nya.
Sosoknya berjalan di garis ambigu antara pria pemurah dan gangster keji, lalu
dengan mudah menarik atensi lewat senyum maupun tatapan mengintimdasi tanpa
harus berusaha melakukannya.
Contohnya ketika Russell
menemani Angelo Bruno (Harvey Keitel) mengonfrontasi Frank pasca ia meledakkan sebuah
tempat laundry. Pesci hanya duduk diam. Bibirnya menyunggingkan senyum
sementara kedua tangannya tersembunyi di balik meja, bagai seorang bocah yang
bersemangat menantikan sebungkus hadiah. Apa arti senyum itu? Formalitas?
Penenang bagi Frank? Atau ada intensi terselubung? Mana pun itu, saya dibuat
merinding ngeri menyaksikannya.
Terkait
penyutradaraan, silahkan perhatikan betul tiap pengadeganan, dan lewat beragam
detailnya, anda akan mendapati betapa hebat seorang Martin Scorsese. Beberapa
tampil subtil, misalnya obrolan Frank dan Russell di sebuah café. Ditemani
iringan biola yang samar-samar memainkan Speak
Softly Love dari The Godfather, ditambah
tempo berlangsungnya pembicaraan (penuturan aktor, perpindahan shot), momen itu memunculkan intensitas
elegan, seperti musik jazz yang seseorang dengar sesaat sebelum ajal menjemput.
Sejak debutnya di Who’s That Knocking at My Door (1967),
Scorsese memang sudah memperlihatkan kepekaan dalam mengawinkan media audio
dengan visual. Pilihan musiknya berhasil menyempurnakan atmosfer adegan. Kali
ini, selain scoring garapan komposer langganannya,
Robbie Robertson, lagu dari beragam genre, khususnya rock ‘n roll dan jazz
rutin menemani, dengan In the Still of
the Night milik The Five Satins yang terdengar mistis jadi musik yang bakal
terus terngiang di benak penonton untuk waktu lama.
Bukan cuma yang
bersifat subtil, penyutradaraan Scorsese juga bersinar kala sang sineas
membuktikan bahwa usia sekadar angka, dan tak menghalanginya memamerkan gaya
bertenaga. Beberapa kali take panjang
diterapkan, di mana penembakan yang Frank lakukan di sebuah restoran bakal
membuatmu terkejut, kemudian terpukau. Sementara transisi mulus pagi menuju
malam di rumah sakit jelang film berakhir akan memancing pertanyaan tentang
trik macam apa yang Scorsese dan timnya pakai.
Scorsese boleh memimpin,
namun pencapaian The Irishman takkan
terjadi tanpa kontribusi timnya. Penyuntingan Thelma Schoonmaker yang telah
jadi kolaboratornya sejak Raging Bull (1980)
membantu Scorsese menyampaikan repetisi dalam keseharian Frank kala sebuah rentetan
peristiwa dimunculkan berulang kali secara beruntun (mengantar daging, membuang
pistol, mengambil uang setoran), juga…..humor!
Ya, biarpun mengusung
tema kelam nan kejam, The Irishman di
luar dugaan cukup menggelitik. Film ini bukan saja Scorsese dalam fase paling
matang dan nyaman, juga playful.
Bagaimana ia menggambarkan proses “penghantara pesan” antara pelaku dunia hitam
(yang melibatkan banyak bahan peledak) contohnya.
Semakin jauh
filmnya berjalan, semakin saya dibuat tercengang oleh seberapa kuat pengaruh
gangster dalam berjalannya negara adidaya bernama Amerika. Setumpuk karakter
datang dan pergi, tapi Zaillian memastikan penonton dapat memilah “siapa adalah
siapa” melalui kejelasan serta kesolidan struktur bercerita. Gerbang menuju konspirasi-konspirasi
besar dibuka setelah oleh Russell, Frank diperkenalkan pada Jimmy Hoffa (Al
Pacino), ketua serikat buruh International
Brotherhood of Teamsters. Jimmy, yang dideskripsikan oleh Frank sebagai “sebesar
Elvis”, amat berpengaruh, kekuasaannya saat itu mungkin hanya di bawah Presiden
(atau malah lebih?). Serupa kondisinya bersama Russell, Frank mulai mendapat
kepercayaan Jimmy, menjadi bodyguard kepercayaannya,
bahkan Jimmy menjadi figur ayah yang dirindukan puteri Frank, Peggy (Anna
Paquin).
Keluarga merupakan
salah satu pokok bahasan utama The
Irishman, yang penuturannya kental ironi. Frank ingin melindungi
keluarganya, termasuk Peggy, namun semakin jauh ia terlibat dalam dunia bawah
tanah—yang ia anggap menambah kekuatan, kekuasaan, dan keamanan—semakin menjauh
pula sang puteri. Dari situ awal segala tragedi The Irishman, yang menolak meromantisasi dan mendramatisasi
kematian. Bahkan kematian terpenting sepanjang film tak diperlakukan dengan
spesial. Itulah poin yang ingin diutarakan Scorsese. Dunia mafia hanya membawa
kematian, dan kematian hanya kematian. Sebuah akhir. Tinggal bagaimana, dan
dengan siapa seseorang menantikan akhir itu tiba.
Available on NETFLIX
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
10 komentar :
Comment Page:Film Scorsese favorit saya tetap "Bringing Out the Dead" dan "The King of Comedy", berharap Scorsese bikin film-film macam itu lagi. Ga banyak ledakan atau tembakan, tapi tetep menusuk.
Review film 21 bridges dong bang
Lebih murah mana ya teknologi memudakan aktor apa make up biar tua?
Pada scene di ending film Frank menyuruh suster membiarkan pintunya terbuka, lansung saya terbayang pada momen saat Hoffa membiarkan pintu kamarnya tetap terbuka. Frank termenung saat itu mengapa begitu dipercayai oleh Hoffa walaupun baru kenal...gilaa... luar biasa Scocerse!
Lebih murah makeup, apalagj teknologi de-aging juga butuh kontribusi tim makeup.
Ini kisah nyata?
Akting De Niro,Penci dan Pacino memang ga diragukan lagi.tp mnrt saya de-aging nya cukup mengganggu.krn ekspresi mukanya jadi ga natural.ditambah kebanyakan di usia aktor nya posisi badan rata2 agak membungkuk...agak aneh melihat wajah 'muda' tp gestur kakek2...terutama kebrutalan Frank malah tampak rapuh dalam menghajar...tp romantisme Godfather memang lbh kuat ya ?
Yap, dari buku non-fiksi wawancara ke Frank, tapi kebenaran omongan Frank juga banyak diraguin
Wah mantap bang review nya emang The Irishman Ini salah satu karya Masterpiece nya Martin Scorsese ya personal score gw ini score 10/10 dari segi story plot acting dan overall nya gokil abis emang Martin Scorsese itu hebat ya dari akhir 60an sampai sekarang berkarya rata2 hampir di setiap era nya film2 nya dikatogerikan masterpiece 1970an: Mean Streets Taxi Driver 1980an : Raging Bull The King of Comedy The Last Temptation Of Christ 1990an : Goodfellas Casino Cape Fear 2000an : Gangs of New York The Aviator The Departed (menang semua kategori oscar 2007 yang dinominasikan termasuk best picture and best director kecuali supporting actor) dan 2010an: Shutter Island Hugo The Wolf of Wall Street Silence The Irishman. one of Greatest director All time and one of my favorite director
Posting Komentar