Tampilkan postingan dengan label Marwan Kenzari. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Marwan Kenzari. Tampilkan semua postingan
THE OLD GUARD (2020)
Rasyidharry
Tahukah anda kalau The
Old Guard merupakan adaptasi buku komik berjudul sama? Ya, dunia tidak hanya
seluas Marvel dan DC saja. Komik karya Greg Rucka (juga menulis naskah filmnya)
ini dipublikasikan oleh Image Comics, yang juga merupakan rumah bagi Spawn, Invincible, Kick-Ass, hingga The Walking Dead. Kisahnya? Tentang tim
jagoan super yang seluruhnya memiliki kekuatan yang sama: Tidak bisa mati.
Ada Booker (Matthias Schoenaerts) yang hidup sejak abad 18,
Joe (Marwan Kenzari) dan Nicky (Luca Marinelli) yang dahulu adalah musuh di
Perang Salib sebelum akhirnya saling jatuh cinta, dan terakhir, sang pemimpin
sekaligus manusia abadi tertua, Andy (Charlize Theron). Tidak diketahui secara
pasti berapa usia Andy, tapi jika mengacu pada komik, ia sudah hidup selama
kurang lebih enam milenium.
Mereka tidak tahu penyebab keajaiban tersebut. Mereka bahkan
tak yakin, apakah itu anugerah atau kutukan. Selama berabad-abad, keempatnya
hidup di balik bayang-bayang sembari berusaha melakukan kebaikan sebisanya,
entah melibatkan diri dalam peperangan, atau seperti sekarang, menjadi prajurit
bayaran. Hingga suatu ketika, setelah ratusan tahun, muncul satu lagi manusia
abadi. Seorang prajurit bernama Nile (KiKi Layne).
Demi tetap menyembunyikan eksistensi, Andy memaksa Nile
bergabung dalam tim, guna menggagalkan rencana Merrick (Harry Melling), seorang
ilmuwan yang berambisi mengetahui rahasia di balik kehidupan abadi untuk
menemukan obat kanker dan penyakit-penyakit kronis lain, sekaligus
memperpanjang usia harapan hidup manusia. Di pihak Merrick ada Copley (Chiwetel
Ejiofor), mantan anggota CIA, yang menyewa jasa empat jagoan kita sebelum
akhirya mengkhianati mereka.
Melalui Copley pula, nantinya kita sedikit demi sedikit
mempelajari mitologi dunia The Old Guard,
di luar beberapa flashback yang
membentang hingga ribuan tahun lalu. Elemen yang menjaga daya tarik film tiap
adegan aksi absen dari layar. Tapi bagaimana jika tuturan mitologi maupun flashback juga ikut absen? Sayangnya
saat itulah dinamika The Old Guard kerap
mengendur, sebab paparan mengenai “Kita tidak tahu kapan ajal menjemput, jadi
pergunakanlah hidup untuk berbuat kebaikan” berakhir hanya sebagai
pernak-pernik nihil dampak emosi.
Penulisan Rucka memang masih diwarnai plus-minus yang setara.
Naskahnya patut dipuji saat tak bermain curang dalam menghantarkan twist (meski penonton berpengalaman
tetap akan mudah menebak polanya), dengan menebar beberapa petunjuk subtil.
Tapi di sisi lain, terdapat pula lubang. Di satu titik, pasukan Copley berhasil
menangkap Joe dan Nicky. Dua orang ini tak bisa mati, dan bahkan, dalam kondisi
tangan terikat mereka berhasil membabat habis semua lawan. Ada beberapa
kesempatan bagi keduanya kabur, tapi agar alurnya terus berjalan, Rucka memilih
menutup mata atas kesempatan-kesempatan tersebut.
Sementara aksinya, selaku jualan utama, tak meninggalkan
keluhan berarti. Benar bahwa dengan premis “manusia abadi” ditambah rating R, aksinya
terkesan menahan diri untuk melangkah ke skenario-skenario yang lebih ekstrim, lebih
intens, lebih brutal. Tapi poin itu dibayar lunas oleh pengarahan bergaya dari Gina
Prince-Bythewood, yang selama ini dikenal lewat drama-drama seperti Love & Basketball (2000), The Secret Life of Bees (2008), sampai
yang terbaru, Beyond the Lights (2014).
Pilihan lagu-lagu elektropop asyik menemani koreografi stylish yang membawa protagonisnya menghunuskan pedang, menembakkan
peluru, sambil beberapa kali meregang nyawa.
Tentu saja bintangnya adalah Charlize Theron. She’s just the coolest! Lihat bagaimana
ia melakoni perkelahian secara mulus, penuh kharisma dan kepercayaan diri, atau
tatkala ia dengan santainya berdiri sambil menenggak minuman ketika pesawat
lepas landas, seolah sedang berada di atas bus atau kereta. Takkan ada yang
meragukan bahwa Andy merupakan petarung yang telah hidup ribuan tahun dan
melalui peperangan yang jumlahnya tidak terhitung. Saya pun tak meragukan potensi
lahirnya franchise baru yang menarik
setelah menyaksikan The Old Guard.
Available on NETFLIX
Juli 11, 2020
Action
,
Charlize Theron
,
Chiwetel Ejiofor
,
Fantasy
,
Gina Prince-Bythewood
,
Greg Rucka
,
Harry Melling
,
KiKi Layne
,
Luca Marinelli
,
Lumayan
,
Marwan Kenzari
,
Matthias Schoenaerts
,
REVIEW
ALADDIN (2019)
Rasyidharry
Aladdin versi baru ini, meski belum semagis animasi originalnya,
sekali lagi membuktikan bahwa reputasi buruk yang didapat suatu film akibat
materi promosi tidak selalu mencerminkan kualitas asli produknya. Siapa sangka Guy
Ritchie (Snatch, Sherlock Holmes, King
Arthur: Legend of the Sword) berhasil menyajikan tontonan hangat seputar
memperjuangkan kebebasan sekaligus live
action remake terlucu milik Disney.
Cerita soal kebebasan memang sudah
menjadi dasar sejak versi animasinya. Kebebasan “tikus jalanan” untuk bermimpi,
kebebasan wanita dari kekangan tradisi, kebebasan jin dari keharusan melayani. Tanpa
perlu menyaksikan film aslinya, anda tentu bisa menebak jika segala kebebasan
tersebut bakal didapat. Dan jika anda ingin tahu nasib Genie (Will Smith) pasca
lepas dari lampu ajaib, adegan pembuka film ini menyimpan jawabannya, yang turut
berperan menghasilkan dampak emosional di penghujung kisah.
Pertama kali menyaksikan Aladdin (1992), saya sedikit terkejut.
Berekspektasi melihat cerita seorang pencuri yang menemukan lampu ajaib tempat
tinggal jin sakti pengabul harapan, peristiwa itu justru baru terjadi begitu
melewati sepertiga durasi. Seolah khawatir penonton masa kini datang dengan
ekspektasi serupa, film ini memutuskan menggulirkan alur secepat mungkin, khususnya
pada paruh awal.
Beberapa fase pengembangan dipotong
dan/atau dipaksa menyatu satu sama lain sehingga terasa bagaikan rekap.
Mendadak kita bertemu Puteri Jasmine (Naomi Scott) yang sedang menyamar guna
melihat langsung kehidupan rakyat Agrabah, menyaksikan pertemuannya dengan
Aladdin (Mena Massoud), tumbuhnya benih cinta di antara mereka, dan tidak lama
berselang, kita tiba di momen saat Aladdin memasuki Cave of Wonders atas
suruhan Jafar (Marwan Kenzari).
Guy Ritchie—yang gemar memamerkan
gaya—seolah tak tertarik menyentuh babak introduksi, enggan berhenti menginjak
pedal gas. Biarpun keputusan itu merusak aliran cerita, minimal Ritchie
berhasil menebusnya lewat keberhasilan menerjemahkan gaya parkour khas elemen
aksi Aladdin (juga merupakan daya
tarik gimnya di PlayStation) ke media live
action. Jagoan kita lompat dari tembok ke tembok, atap ke atap, dan
memanfaatkan tenda-tenda di pasar layaknya trampolin. Bakal sempurna anda
Ritchie tak tergoda mengimplementasikan teknik fast moton nihil substansi di beberapa titik.
Tapi selepas Aladdin bertemu Genie
yang menjanjikannya tiga permintaan untuk dikabulkan, film ini mulai menemukan
pijakan. Perjalanannya lucu. Sangat lucu. Memang ada batasan-batasan yang
menyulitkan live action mencapai
level imajinasi setingkat medium animasi khususnya terkait beragam kemampuan
ajaib Genie, namun Will Smith selaku sosok yang paling banyak dicemooh sebelum
film dirilis, sukses menebar banyak tawa.
Tentu ia tidak seberwarna Robin
Williams, tapi siapa yang bisa? Absurditas karakter Genie bisa saja memproduksi
situasi cringey, tapi Smith punya
cukup talenta guna menyulap absurditas menjadi komedi berkualitas. Smith bahkan
memberi kita momen paling menyentuh sepanjang film, dengan memperlihatkan satu
kelebihan live action yang sukar ditandingi
animasi, yaitu keberadaan bobot dramatik melalui mata aktor.
Sedangkan Mena Massoud, sebagai
sosok kedua paling dicemooh setelah Smith, juga merupakan protagonis yang bukan
saja ahli menghibur lewat kebolehan memerankan kecanggungan pencuri miskin yang
berpura-pura menjadi pangeraan, pula cukup likeable
sehingga memudahkan kita mendukung perjuangannya melawan tatapan sebelah
mata orang-orang dan merebut hati Jasmine.
Selaku adaptasi, naskah buatan Guy
Ritchie bersama John August (Charlie’s
Angels, Corpse Bride, Dark Shadows) dan Vanessa Taylor (Divergent, The Shape of Water) tentu
melakukan beberapa perubahan, dan perubahan terbaik terletak pada keputusan Aladdin mengangkat tema relevan soal women’s empowerment dalam cerita tentang
Jasmine. Sang Puteri tak hanya menolak perjodohan, ia pun ingin menjadi Sultan.
Jasmine percaya ia memiliki kapasitas memadahi sebagai pengayom rakyat.
Di satu titik, Jafar menyebut bahwa
Jasmine semestinya cukup dipandang dan tak perlu berusaha agar didengar.
Pernyataan yang mencerminkan bagaimana banyak masyarakat memandang kelayakan
wanita selaku pemimpin. Scott memancarkan cukup gravitas tanpa harus tampil kaku, menghidupkan Jasmine baru yang
lebih kokoh, termasuk dalam penampilan emosional yang menyelamatkan nomor
musikal Speechless.
Speechless, selaku lagu baru di jajaran soundtrack, adalah nomor medioker dengan lirik terlampau sederhana yang
lebih cocok terdengar dari film seperti High
School Musical ketimbang dongeng macam
Aladdin. Pengadeganannya pun tak
kalah medioker akibat kekurangan sentuhan artistik, berbeda dengan adegan
musikal lain yang memperoleh keuntungan dari sentuhan bergaya Guy Ritchie,
termasuk lantunan ikonik A Whole new
World yang tetap mengandung romantisme memadahi supaya penonton mempercayai
mekarnya asmara di hati Aladdin dan Jasmine
Mayoritas aspek yang awalnya
dipandang remeh sanggup mematahkan keraguan, sayangnya tidak dengan Jafar, si
antagonis membosankan yang tak pernah cukup “licin” atau intimidatif. Dibanding
“saudara animasinya”, Marwan bagaikan penjahat kemarin sore. Dinamikanya dengan
Iago (Alan Tudyk) pun lemah, tatkala si burung makaw bermulut busuk hadir kurang
bernyawa, khususnya bila disandingkan dengan Abu yang menampilkan jangkauan
ekspresi lebih luas.
Maybe this new “Aladdin” won’t takes us to a whole new world, but its
world has enough laughs, hearts, and hopes to be a perfect getaway destination
from an exhausting nowadays reality.
Mei 23, 2019
Alan Tudyk
,
Fantasy
,
Guy Ritchie
,
John August
,
Lumayan
,
Marwan Kenzari
,
Mena Massoud
,
Musical
,
Naomi Scott
,
REVIEW
,
Vanessa Taylor
,
Will Smith
Langganan:
Postingan
(
Atom
)