Tampilkan postingan dengan label Alan Tudyk. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Alan Tudyk. Tampilkan semua postingan

REVIEW - RAYA AND THE LAST DRAGON

Karakter Raya (Kelly Marie Tran) di Raya and the Last Dragon, tak ubahnya nama-nama seperti Merida, Elsa, dan Moana, memimpin langkah animasi Disney menuju era baru, sebagai protagonis wanita (tidak harus termasuk "Disney Princess") kuat nan mandiri, yang tak terlibat romansa, tak perlu menunggu satu kecupan dari pria untuk memancarkan cahayanya. 

Sah atau tidaknya film ini sebagai representasi orang Asia Tenggara mungkin menyulut perdebatan, meski gelombang protes tersebut bagi saya malah bentuk ketidakhormatan terhadap Kelly. Seorang keturunan Vietnam, yang tengah berusaha bangkit pasca menjadi korban rasisme para penggemar Star Wars. Keterlibatannya membuat film ini patut dirayakan. 

Di luar soal representasi, sebagaimana dilakukan Black Panther dengan budaya Afrika, Raya and the Last Dragon meleburkan elemen-elemen kultural Asia Tenggara, guna melahirkan dunia fiktif bernama Kumandra, yang tampil beda, terlihat menyegarkan dibanding animasi Disney lain. Sebuah sekuen di awal yang merangkum sejarah Kumandra misalnya, dikemas menggunakan estetika bak pertunjukan wayang. Sebuah epos, ketimbang flashback generik ala Hollywood. 

Dahulu kala, manusia dan naga hidup harmonis di Kumandra. Sampai Druun, entiti jahat berbentuk asap hitam dengan cahaya ungu di intinya, menyerang. Umat manusia selamat berkat pengorbanan para naga. Seluruh naga punah, termasuk Sisu (Awkwafina), yang konon merupakan pahlawan terbesar di peperangan itu. Sisu meninggalkan permata naga ajaib yang dapat melindungi dari Druun, namun manusia malah saling berperang memperebutkannya, berujung memecah belah mereka menjadi lima suku: Heart, Fang, Spine, Tail, dan Falon. 

Raya merupakan puteri dari kepala suku Heart, Benja (Daniel Dae Kim), yang bertugas menjaga permata tadi. Cita-cita Benja adalah menyatukan lagi seluruh suku, agar keharmonisan Kumandra dapat kembali. Diundanglah keempat suku lain dalam perjamuan, yang justru berakhir bencana, tatkala Namaari (Gemma Chan), puteri kepala suku Fang, menipu Raya dengan tujuan mencuri permata naga. Timbul kekacauan, saat secara tak sengaja permata itu pecah, membangkitkan Druun yang seketika mengubah orang-orang menjadi batu, termasuk Benja. Sekali lagi, peradaban manusia terancam.

Beberapa tahun berselang, kita berjumpa lagi dengan Raya. Dia bukan lagi sesosok bocah. Ditemani sahabatnya, armadillo raksasa bernama Tuk Tuk (Alan Tudyk), Raya melakukan perjalanan mengumpulkan pecahan permata naga yang tersebar di tiap suku, untuk membangkitkan Sisu, yang diharapkan mampu memulihkan segalanya, termasuk sang ayah. Raya dipersenjatai pedang ayahnya yang tampak seperti keris raksasa (satu lagi sentuhan kultural menarik), namun senjata terkuat yang membuatnya jadi salah satu protagonis wanita Disney favorit saya sepanjang masa, adalah keberanian. Melalui suaranya, Kelly menghidupkan keberanian Raya. 

Tapi ada satu hal yang masih harus Raya pelajari, yakni soal rasa percaya. Sulit baginya mempercayai orang lain, apalagi setelah pengkhianatan Namaari, yang di awal pertemuan mereka, bersikap layaknya teman. Raya belajar menaruh rasa percaya, tatkala umat manusia dikuasai keserakahan. Druun bukanlah antagonis utama film ini. Bahkan, Druun bisa dipandang bukan sebagai monster, melainkan wabah, yang diciptakan pula ditularkan oleh keserakahan manusia, yang mana adalah musuh sesungguhnya.

Di tiap daerah, kawan perjalanan Raya bertambah. Ada Boun (Izaac Wang, yang mencuri perhatian lewat debutnya di Good Boys) si bocah 10 tahun pemilik restoran perahu dari Tail, Noi (Thalia Tran) si balita penipu dari Talon yang melancarkan aksi bersama trio ongis (separuh monyet, separuh lele), dan Tong (Benedict Wong) si prajurit bertubuh besar namun berhati lembut dari Spine. Mereka merupakan jajaran tokoh pendukung penuh warna yang mudah mencuri hati penonton, khususnya Noi yang menggemaskan. Pun fakta bahwa selain berasal dari lokasi berbeda, mereka juga mempunyai kepribadian, usia, serta gender berbeda-beda, turut mewakili pesan utama filmnya, yakni soal "persatuan di balik perbedaan". 

Naskah buatan Qui Nguyen (keturunan Vietnam) dan Adele Lim (berkebangsaan Malaysia) memang apik perihal menjalin pesan bermakna. Kelemahannya, naskah kerap terburu-buru. Alurnya kerap terkesan bergerak melewati jalan pintas, termasuk beberapa simplifikasi, semisal terlalu mudahnya upaya membangkitkan Sisu. Menurut legenda, jiwa Sisu masih bersemayam di salah satu dari sekian banyak ujung sungai di Kumandra. Tentu sebagai makhluk legendaris nan misterius, kebangkitannya takkan segampang merapal mantra sederhana bukan? Well, pikir lagi.

Berlatar dunia sarat keajaiban, rupanya tak otomatis menghindarkan Raya and the Last Dragon dari plot generik. Bahkan cenderung seperti video game yang terdiri atas deretan checkpoint, di mana jagoan kita tiba di suatu lokasi, melewati beberapa rintangan, mengambil permata, lalu beranjak menuju lokasi berikutnya guna melakukan proses serupa. Begitu pula penanganan aksi duo sutradara, Don Hall (Winnie the Pooh, Big Hero 6) dan Carlos López Estrada (Blindspotting), yang biarpun jauh dari kata "buruk", tidaklah sefantastis premisnya. 

Beruntung, segala kekurangan di atas, dibayar oleh kemampuan mereka mengolah rasa. Jangan mengharapkan pertempuran epik naga melawan monster di klimaks, namun di situlah puncak emosi film terletak. Karena Raya and the Last Dragon bukanlah kisah soal pertempuran fisik, melainkan batin. Saya teringat pada klimaks Guardians of the Galaxy, tapi dengan dampak emosi berkali-kali lipat. 

Saya dibuat terharu bukan cuma karena unsur drama, juga oleh keindahannya. Visualnya memanjakan mata, tapi seindah apa pun rasanya menyaksikan Sisu terbang di bawah guyuran hujan, keindahan terbesar justru muncul dari pemandangan yang terasa dekat. Terutama di Heart. Bentangan alam hijau, deretan pohon kelapa, dan dataran yang basah selepas guyuran hujan, membuat saya ingin berdiri, merasakan siraman matahari pagi di sana. 

ALADDIN (2019)

Aladdin versi baru ini, meski belum semagis animasi originalnya, sekali lagi membuktikan bahwa reputasi buruk yang didapat suatu film akibat materi promosi tidak selalu mencerminkan kualitas asli produknya. Siapa sangka Guy Ritchie (Snatch, Sherlock Holmes, King Arthur: Legend of the Sword) berhasil menyajikan tontonan hangat seputar memperjuangkan kebebasan sekaligus live action remake terlucu milik Disney.

Cerita soal kebebasan memang sudah menjadi dasar sejak versi animasinya. Kebebasan “tikus jalanan” untuk bermimpi, kebebasan wanita dari kekangan tradisi, kebebasan jin dari keharusan melayani. Tanpa perlu menyaksikan film aslinya, anda tentu bisa menebak jika segala kebebasan tersebut bakal didapat. Dan jika anda ingin tahu nasib Genie (Will Smith) pasca lepas dari lampu ajaib, adegan pembuka film ini menyimpan jawabannya, yang turut berperan menghasilkan dampak emosional di penghujung kisah.

Pertama kali menyaksikan Aladdin (1992), saya sedikit terkejut. Berekspektasi melihat cerita seorang pencuri yang menemukan lampu ajaib tempat tinggal jin sakti pengabul harapan, peristiwa itu justru baru terjadi begitu melewati sepertiga durasi. Seolah khawatir penonton masa kini datang dengan ekspektasi serupa, film ini memutuskan menggulirkan alur secepat mungkin, khususnya pada paruh awal.

Beberapa fase pengembangan dipotong dan/atau dipaksa menyatu satu sama lain sehingga terasa bagaikan rekap. Mendadak kita bertemu Puteri Jasmine (Naomi Scott) yang sedang menyamar guna melihat langsung kehidupan rakyat Agrabah, menyaksikan pertemuannya dengan Aladdin (Mena Massoud), tumbuhnya benih cinta di antara mereka, dan tidak lama berselang, kita tiba di momen saat Aladdin memasuki Cave of Wonders atas suruhan Jafar (Marwan Kenzari).

Guy Ritchie—yang gemar memamerkan gaya—seolah tak tertarik menyentuh babak introduksi, enggan berhenti menginjak pedal gas. Biarpun keputusan itu merusak aliran cerita, minimal Ritchie berhasil menebusnya lewat keberhasilan menerjemahkan gaya parkour khas elemen aksi Aladdin (juga merupakan daya tarik gimnya di PlayStation) ke media live action. Jagoan kita lompat dari tembok ke tembok, atap ke atap, dan memanfaatkan tenda-tenda di pasar layaknya trampolin. Bakal sempurna anda Ritchie tak tergoda mengimplementasikan teknik fast moton nihil substansi di beberapa titik.

Tapi selepas Aladdin bertemu Genie yang menjanjikannya tiga permintaan untuk dikabulkan, film ini mulai menemukan pijakan. Perjalanannya lucu. Sangat lucu. Memang ada batasan-batasan yang menyulitkan live action mencapai level imajinasi setingkat medium animasi khususnya terkait beragam kemampuan ajaib Genie, namun Will Smith selaku sosok yang paling banyak dicemooh sebelum film dirilis, sukses menebar banyak tawa.

Tentu ia tidak seberwarna Robin Williams, tapi siapa yang bisa? Absurditas karakter Genie bisa saja memproduksi situasi cringey, tapi Smith punya cukup talenta guna menyulap absurditas menjadi komedi berkualitas. Smith bahkan memberi kita momen paling menyentuh sepanjang film, dengan memperlihatkan satu kelebihan live action yang sukar ditandingi animasi, yaitu keberadaan bobot dramatik melalui mata aktor.

Sedangkan Mena Massoud, sebagai sosok kedua paling dicemooh setelah Smith, juga merupakan protagonis yang bukan saja ahli menghibur lewat kebolehan memerankan kecanggungan pencuri miskin yang berpura-pura menjadi pangeraan, pula cukup likeable sehingga memudahkan kita mendukung perjuangannya melawan tatapan sebelah mata orang-orang dan merebut hati Jasmine.

Selaku adaptasi, naskah buatan Guy Ritchie bersama John August (Charlie’s Angels, Corpse Bride, Dark Shadows) dan Vanessa Taylor (Divergent, The Shape of Water) tentu melakukan beberapa perubahan, dan perubahan terbaik terletak pada keputusan Aladdin mengangkat tema relevan soal women’s empowerment dalam cerita tentang Jasmine. Sang Puteri tak hanya menolak perjodohan, ia pun ingin menjadi Sultan. Jasmine percaya ia memiliki kapasitas memadahi sebagai pengayom rakyat.

Di satu titik, Jafar menyebut bahwa Jasmine semestinya cukup dipandang dan tak perlu berusaha agar didengar. Pernyataan yang mencerminkan bagaimana banyak masyarakat memandang kelayakan wanita selaku pemimpin. Scott memancarkan cukup gravitas tanpa harus tampil kaku, menghidupkan Jasmine baru yang lebih kokoh, termasuk dalam penampilan emosional yang menyelamatkan nomor musikal Speechless.

Speechless, selaku lagu baru di jajaran soundtrack, adalah nomor medioker dengan lirik terlampau sederhana yang lebih cocok terdengar dari film seperti High School Musical ketimbang dongeng macam Aladdin. Pengadeganannya pun tak kalah medioker akibat kekurangan sentuhan artistik, berbeda dengan adegan musikal lain yang memperoleh keuntungan dari sentuhan bergaya Guy Ritchie, termasuk lantunan ikonik A Whole new World yang tetap mengandung romantisme memadahi supaya penonton mempercayai mekarnya asmara di hati Aladdin dan Jasmine

Mayoritas aspek yang awalnya dipandang remeh sanggup mematahkan keraguan, sayangnya tidak dengan Jafar, si antagonis membosankan yang tak pernah cukup “licin” atau intimidatif. Dibanding “saudara animasinya”, Marwan bagaikan penjahat kemarin sore. Dinamikanya dengan Iago (Alan Tudyk) pun lemah, tatkala si burung makaw bermulut busuk hadir kurang bernyawa, khususnya bila disandingkan dengan Abu yang menampilkan jangkauan ekspresi lebih luas.

Maybe this new “Aladdin” won’t takes us to a whole new world, but its world has enough laughs, hearts, and hopes to be a perfect getaway destination from an exhausting nowadays reality.

RALPH BREAKS THE INTERNET (2018)

Ralph Breaks the Internet adalah Inside Out versi gim dan internet dalam hal kepintaran serta kreativitasnya membangun dunia. Seperti normalnya sekuel, cakupan diperluas. Kalau Wreck-It Ralph “hanya” menunjukkan apa yang karakter permainan arkade lakukan saat tak sedang dimainkan manusia, sekuel ini berpindah ke dunia yang lebih besar, yakni internet, tempat yang memiliki segalanya, dan Ralph Breaks the Internet memanfaatkan itu untuk menciptakan dunia kreatif nan kaya, disertai cara kerjanya.

Enam tahun berlalu sejak peristiwa film pertama, dan kini Ralph (John C. Reilly) hidup bahagia, tak lagi dipandang sebagai perusak jahat, dan bersahabat dengan Vanellope (Sarah Silverman), di mana mereka setiap hari menghabiskan waktu bersama di tempat dan waktu yang sama. Bagi Ralph, rutinitas tersebut merupakan kedamaian, namun Vanellope ingin lebih. Dunia manis sarat warna di Sugar Rush tak lagi seberwarna itu baginya, dengan balapan yang terlampau gampang sebab Vanellope sudah hafal semua trik dan track.

Pasca sebuah kecelakaan yang berpotensi membuat Sugar Rush ditutup selamanya, dan demi menyelamatkannya, dua protagonis kita memulai perjalanan menuju internet. Pertama kali menginjakkan kaki di sana, mereka terpukau melihat dunia tanpa ujung yang internet tawarkan. Begitu pun saya kala mendapati bagaimana di Ralph Breaks the Internet, berbagai aspek dalam internet bertransformasi menghasilkan lingkungan imajinatif yang hidup lengkap dengan rutinitasnya sendiri.

Pop-up ads menjadi penjaja produk yang agresif, eBay merupakan tempat lelang, mesin pencarian adalah pria bernama KnowsMore (Alan Tudyk) yang mengetahui semuanya, dan lain-lain. Fakta bahwa hal-hal di atas cocok dengan cara kerja internet di realita, jadi bukti kecerdikan duo penulis naskahnya, Pamela Ribon (Smurfs: The Lost Village) dan Phil Johnston (juga selaku sutradara). Pun terdapat setumpuk detail kecil, yang dijamin bakal memberi penemuan baru untuk pengalaman menonton berulang.

Bila film pertamanya menyimpan setumpuk cameo karakter gim, Ralph Breaks the Internet punya beragam produk internet serta referensi kultur populer dalam beraneka bentuk (yang lagi-lagi) kreatif. Dan selaku produsen, wajar saat referensi untuk Disney paling kaya.  Anda akan mendengar The Imperial March kala menyambangi area Star Wars; meet & greet dengan seorang tokoh MCU; dan sebagaimana trailer-nya tampilkan, Disney Princess. Beberapa karakteristik mereka dijadikan lelucon menggelitik termasuk sebuah elemen yang baru saya sadari di sini. Elemen yang melibatkan musikal.

Ya, film ini turut menghadirkan satu adegan musikal, yang oleh duo sutradara, Rich Moore (Wreck-It Ralph, Zootopia) dan Phil Johnston, dikemas dalam visual meriah ditambah musik megah gubahan Henry Jackman (Captain America: Civil War, Jumanji: Welcome to the Jungle). Hasilnya adalah gegap gempita indah yang dewasa ini, mungkin hanya sanggup ditandingi La La Land, yang oleh Ralph Breaks the Internet turut dijadikan acuan subtil.

Kembali ke perihal Disney Princess, saya terkecoh kala mengira pertemuan tersebut hanya bakal jadi sempilan ringan pengisi durasi. Rupanya momen itu berguna menyampaikan salah satu pesan filmnya. Rapunzel bertanya pada Vanellope, “Do people assume all your problems got solved because a big strong man showed up?”. Vanellope mengiyakan. Ralph sendiri belakangan semakin posesif, ingin Vanellope selalu dan hanya bersamanya. Tatkala Ralph bersusah payah meyakinkan Vanellope jika Slaughter Race terlalu berbahaya baginya, si gadis cilik menampik pernyataan itu. Poin tersebut selaras dengan upaya rebranding Disney terhadap karakter wanitanya yang makin independen di tiap sendi kehidupan, bukan saja soal percintaan.

Oh, saya lupa menjelaskan mengenai Slaughter Race, sebuh permainan balapan brutal, sarat kekerasa, berbanding terbalik dengan kesan warna-warni manis bagi semua umur milik Sugar Rush. Vanellope menemukan hasratnya kembali begitu menyadari ketiadaan batasan di Slaughter Race. Tidak ada lintasan monoton, dan ia bebas bermanuver sesuka hati. Jangankan Vanellope, bukankah itu alasan permainan open world macam Grand Theft Auto maupun Red Dead Redemption amat digandrungi?

Slaughter Race dikuasai pembalap wanita bernama Shank yang diisi suaranya oleh Gal Gadot dalam salah satu performa terbaiknya, berkat kemampuan menyuntikkan dinamika untuk menjadikan Shank sosok keren berkharisma. Wajar Vanellope mengaguminya. Ralph? Tentu Ralph membenci Shank. Baginya, wanita itu tidak bisa dipercaya, walau kita tahu, itu sebatas ungkapan kecemburuan. Konflik itu berujung pada konklusi menyentuh setelah kita disuguhi gelaran aksi raksasa ala King Kong. Dari dunia yang teramat kaya, lelucon pintar, hingga drama emosional, Ralph Breaks the Internet mungkin rilisan “paling Pixar” dari Walt Disney Animation Studios.