ALADDIN (2019)
Rasyidharry
Mei 23, 2019
Alan Tudyk
,
Fantasy
,
Guy Ritchie
,
John August
,
Lumayan
,
Marwan Kenzari
,
Mena Massoud
,
Musical
,
Naomi Scott
,
REVIEW
,
Vanessa Taylor
,
Will Smith
28 komentar
Aladdin versi baru ini, meski belum semagis animasi originalnya,
sekali lagi membuktikan bahwa reputasi buruk yang didapat suatu film akibat
materi promosi tidak selalu mencerminkan kualitas asli produknya. Siapa sangka Guy
Ritchie (Snatch, Sherlock Holmes, King
Arthur: Legend of the Sword) berhasil menyajikan tontonan hangat seputar
memperjuangkan kebebasan sekaligus live
action remake terlucu milik Disney.
Cerita soal kebebasan memang sudah
menjadi dasar sejak versi animasinya. Kebebasan “tikus jalanan” untuk bermimpi,
kebebasan wanita dari kekangan tradisi, kebebasan jin dari keharusan melayani. Tanpa
perlu menyaksikan film aslinya, anda tentu bisa menebak jika segala kebebasan
tersebut bakal didapat. Dan jika anda ingin tahu nasib Genie (Will Smith) pasca
lepas dari lampu ajaib, adegan pembuka film ini menyimpan jawabannya, yang turut
berperan menghasilkan dampak emosional di penghujung kisah.
Pertama kali menyaksikan Aladdin (1992), saya sedikit terkejut.
Berekspektasi melihat cerita seorang pencuri yang menemukan lampu ajaib tempat
tinggal jin sakti pengabul harapan, peristiwa itu justru baru terjadi begitu
melewati sepertiga durasi. Seolah khawatir penonton masa kini datang dengan
ekspektasi serupa, film ini memutuskan menggulirkan alur secepat mungkin, khususnya
pada paruh awal.
Beberapa fase pengembangan dipotong
dan/atau dipaksa menyatu satu sama lain sehingga terasa bagaikan rekap.
Mendadak kita bertemu Puteri Jasmine (Naomi Scott) yang sedang menyamar guna
melihat langsung kehidupan rakyat Agrabah, menyaksikan pertemuannya dengan
Aladdin (Mena Massoud), tumbuhnya benih cinta di antara mereka, dan tidak lama
berselang, kita tiba di momen saat Aladdin memasuki Cave of Wonders atas
suruhan Jafar (Marwan Kenzari).
Guy Ritchie—yang gemar memamerkan
gaya—seolah tak tertarik menyentuh babak introduksi, enggan berhenti menginjak
pedal gas. Biarpun keputusan itu merusak aliran cerita, minimal Ritchie
berhasil menebusnya lewat keberhasilan menerjemahkan gaya parkour khas elemen
aksi Aladdin (juga merupakan daya
tarik gimnya di PlayStation) ke media live
action. Jagoan kita lompat dari tembok ke tembok, atap ke atap, dan
memanfaatkan tenda-tenda di pasar layaknya trampolin. Bakal sempurna anda
Ritchie tak tergoda mengimplementasikan teknik fast moton nihil substansi di beberapa titik.
Tapi selepas Aladdin bertemu Genie
yang menjanjikannya tiga permintaan untuk dikabulkan, film ini mulai menemukan
pijakan. Perjalanannya lucu. Sangat lucu. Memang ada batasan-batasan yang
menyulitkan live action mencapai
level imajinasi setingkat medium animasi khususnya terkait beragam kemampuan
ajaib Genie, namun Will Smith selaku sosok yang paling banyak dicemooh sebelum
film dirilis, sukses menebar banyak tawa.
Tentu ia tidak seberwarna Robin
Williams, tapi siapa yang bisa? Absurditas karakter Genie bisa saja memproduksi
situasi cringey, tapi Smith punya
cukup talenta guna menyulap absurditas menjadi komedi berkualitas. Smith bahkan
memberi kita momen paling menyentuh sepanjang film, dengan memperlihatkan satu
kelebihan live action yang sukar ditandingi
animasi, yaitu keberadaan bobot dramatik melalui mata aktor.
Sedangkan Mena Massoud, sebagai
sosok kedua paling dicemooh setelah Smith, juga merupakan protagonis yang bukan
saja ahli menghibur lewat kebolehan memerankan kecanggungan pencuri miskin yang
berpura-pura menjadi pangeraan, pula cukup likeable
sehingga memudahkan kita mendukung perjuangannya melawan tatapan sebelah
mata orang-orang dan merebut hati Jasmine.
Selaku adaptasi, naskah buatan Guy
Ritchie bersama John August (Charlie’s
Angels, Corpse Bride, Dark Shadows) dan Vanessa Taylor (Divergent, The Shape of Water) tentu
melakukan beberapa perubahan, dan perubahan terbaik terletak pada keputusan Aladdin mengangkat tema relevan soal women’s empowerment dalam cerita tentang
Jasmine. Sang Puteri tak hanya menolak perjodohan, ia pun ingin menjadi Sultan.
Jasmine percaya ia memiliki kapasitas memadahi sebagai pengayom rakyat.
Di satu titik, Jafar menyebut bahwa
Jasmine semestinya cukup dipandang dan tak perlu berusaha agar didengar.
Pernyataan yang mencerminkan bagaimana banyak masyarakat memandang kelayakan
wanita selaku pemimpin. Scott memancarkan cukup gravitas tanpa harus tampil kaku, menghidupkan Jasmine baru yang
lebih kokoh, termasuk dalam penampilan emosional yang menyelamatkan nomor
musikal Speechless.
Speechless, selaku lagu baru di jajaran soundtrack, adalah nomor medioker dengan lirik terlampau sederhana yang
lebih cocok terdengar dari film seperti High
School Musical ketimbang dongeng macam
Aladdin. Pengadeganannya pun tak
kalah medioker akibat kekurangan sentuhan artistik, berbeda dengan adegan
musikal lain yang memperoleh keuntungan dari sentuhan bergaya Guy Ritchie,
termasuk lantunan ikonik A Whole new
World yang tetap mengandung romantisme memadahi supaya penonton mempercayai
mekarnya asmara di hati Aladdin dan Jasmine
Mayoritas aspek yang awalnya
dipandang remeh sanggup mematahkan keraguan, sayangnya tidak dengan Jafar, si
antagonis membosankan yang tak pernah cukup “licin” atau intimidatif. Dibanding
“saudara animasinya”, Marwan bagaikan penjahat kemarin sore. Dinamikanya dengan
Iago (Alan Tudyk) pun lemah, tatkala si burung makaw bermulut busuk hadir kurang
bernyawa, khususnya bila disandingkan dengan Abu yang menampilkan jangkauan
ekspresi lebih luas.
Maybe this new “Aladdin” won’t takes us to a whole new world, but its
world has enough laughs, hearts, and hopes to be a perfect getaway destination
from an exhausting nowadays reality.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
28 komentar :
Comment Page:Perfect getaway from exhausting nowadays reality..well said mas rasyid bagi warga Jakarta khususnya, Dua hari ini sangat melelahkan
Mas rasyid film godzilla : king of monster kayaknya bakalan bagus atau biasa aja?
Kalo niatnya nontonnya cuman seneng" bakal terpuaskan tidak nonton Aladdin mas Rasyid?
Btw Parasitenya sutradara Bong bikin heboh Cannes ya gara" ga bisa diklasifikasikan ke suatu genre, khas Bong banget. Sama penasaran ama The Lighthouse, katanya bagus banget
Yeah, bener-bener refreshing banget malamnya nonton ini.
Trailernya gila sih. Semoga filmnya juga gitu, alias nggak pelit nampilin monsternya
Justru bakal puas kalau emang cuma cari fun.
Gitulah felem Korea, makin ke sini makin kreatif mix & match genre/modifikasi formula usang.
naomi scot dabest emang
Filmnya lebih cocok diberi judul Jasmine, because a whole movie is about her. Naomi scott benar2 berhasil merebut hati dan pandangan sayaa hehehe. Dan juga angkat topi deh untuk will smith yang memberi nyawa komedi utk film ini
Awalnya pesimistis dan nyaris berjanji ga bakal nonton Alladi, atau yang berbau Will Smith, dengan terpaksa gw nonton karena adek gw ngebet nonton, akhirnya gw terpesona dan angkat jempol utk Aladdin, khususnya performa will Smith yang buat hampir sebioskop ngakak parah, dan seandainya harus buat judul film, harusnya bukan ttg Alladin tp Ginnie alias Jin alias Will Smith. Karena doi sangat berpengaruh besar mengatur intonasi Humor dilempar
Jafarnya jelek ya mas? Padahal di animasinya karakternya kuat banget...
lagu arabian night tetap dimunculin gak? Rasanya kurang kalau aladdin enggak ada lagu itu.. hehe
Sungguh kesempurnaan
Haha belum kayak Fury Road kok, jadi masih pas disebut 'Aladdin'. Masih soal si Street Rat cuma peran Jasmine lebih signifikan
Best Will Smith's performance since years!
Yah macem abang-abang preman pasar kalau dibanding Jafar di animasi
Oh jelas, semua lagu aslinya muncul lagi dengan aransemen yang oke
Sempat mikir nyeleneh kalo Mia Khalifa jauh lebih cocok meranin Jasmine daripada Naomi Scott wkwkwk ternyata boom!!
Jangan sekali-sekali meragukan Naomi Scott. Dosa! 😂
membuat review status yg isinya ya review
tapi berakhir dengan disebut spoiler
masih belum bisa membedakan mana spoiler mana review emang
padahal yg gue bahas hanya penilain terhadap willsmith yg kocak dan naomiscot yg nyanyinya jago banget
kayanya perlu bikin konten ini mas bro
Hahaha kalo orang-orang begitu sih mau dibikin pembahasan sedalem apa juga udah nggak mempan. Didikan budaya ketakutan berlebihan ke spoiler
Cuma kayanya ada yg aneh gan.
Kalo di kartun itu kan ketika Jin ngebantu Aladdin untuk lolos dari gua bawah tanah itu ga termasuk permintaan, itu bantuan sukarela si Jin, jadi pas bebas dari gua, Aladdin masih punya 3 permintaan. Permintaan pertama, jadi pangeran. Permintaan kedua, nyelametin dia pas tenggelam. Permintaan ketiga, membebaskan si Jin.
Nah, yang aneh di film ini. Waktu Aladdin keluar dari gua itu kan termasuk permintaan, jadi itu permintaan pertama, sisa 2 permintaan lagi. Terus permintaan kedua itu jadi pangeran. Dan permintaan ketiga itu menyelamatkan dia pas tenggelam. Berarti udah habis kan permintaannya. Nah, kenapa di akhir itu dia masih bisa minta 1 permintaan lagi untuk ngebebasin si Jin?? Kan permintaan dia udah habis?? Tapi si Jin bilang, "kamu masih punya sisa 1 permintaan", lalu dia gunakan utk membebaskan si Jin. Bingung banget ane. Apa di film ini bisa minta 4 permintaan atau gimana sih??
Bantu jawab. Seingat saya waktu minta keluar dari gua itu nggak jadi terhitung sebagai permintaan karena Aladdin ngajuin permintaannya nggak 'ngikutin' prosedur alias nggak sambil ngusap-ngusap lampu ajaibnya. Karena lampu ajaibnya diambil sama Abu. Jadi nggak terhitung sebagai permintaan. Ini seingat saya sih dan mohon Bang Rasyid koreksinya kalau salah hehehe
Yoi, betul jawaban ini. Kan Aladdin juga ngejelasin itu ke Genie, kalau yang gosok lampu Abu, jadi nggak terhitung permintaan. Tapi alasan di versi animasi emang lebih "mulus" dan cerdik.
Dibandingkan Beauty and The Beast bagusan mana bang?
Walopun bukan sy yg ditanya, tapi ikut komentar aah.. Haha. Kalo buat saya bagusan Aladdin karna alasan :
1. Cast princessnya lebih oke. Emma Watson is beautiful and everything, but, IMO ga cocok aja jadi Belle.
2. Ceritanya dikembangin, dan works.
3. Buat yg nonton kartunnya bakal tahu, lebih chalenging buat ngangkat Aladdin ke live action ketimbang beauty and the beast. Contoh kecil : Iago parrotnya Jafar itu jelas ga mungkin diadopsi mentah2 dari kartunnya. Perlu disesuaikan...
4. Will Smith
Kalau saya sebaliknya. So far, Beauty and the Beast itu live action remake Disney terfavorit. Berikutnya Jungle Book, Cinderella, baru deh Aladdin. Kalau awalnya ngga buru-buru & Jafar bagus mungkin lain cerita.
Secara cerita lebih suka beauty and the beast... Dulu jaman SD tuh punya Laser discnya aladdin, beauty and the beast, sama lion king. Ketiganya sy tonton berulang2 kali, urutan terbanyak ditonton : Beauty and the Beast, Lion King (atau keduanya seimbang kali ya, paling ngga neda tipis lah.. Haha, i can't tell)... nah terakhir Aladdin.
Tapi live actionnya emang ngaruh banget nih soap casting princessnya buat penilaian sy. Hahahah
Mantap ini, nontonnya masih pake laser disc 😂
Posting Komentar