Tampilkan postingan dengan label Myrna Paramita. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Myrna Paramita. Tampilkan semua postingan
22 MENIT (2018)
Rasyidharry
22 Menit membuka cerita melalui paparan
rutinitas pagi hari karakternya. AKBP Ardi (Ario Bayu) beserta kehangatan
keluarganya, Firman (Ade Firman Hakim) si polisi lalu lintas yang mengatur
jalanan Thamrin di tengah kegamangan akibat pernikahannya dengan Sinta (Taskya
Namya) terancam batal, office boy bernama
Anas (Ence Bagus) yang berusaha membantu kakaknya, Hasan (Fanny Fadillah) mencari
kerja, juga Mitha (Hana Malasan) yang di sebuah cafe menantikan kedatangan
Dessy (Ardina Rasti). Semua berjalan damai, hingga pukul 10:40, terjadi ledakan
bom di persimpangan Sarinah.
Lalu layar menampilkan jam digital yang bergerak mundur beberapa
menit sebelum tragedi, memindahkan fokus menuju perspektif karakter lain.
Rupanya 22 Menit merupakan hyperlink cinema, atau setidaknya,
berusaha menjadi itu. Meminjam deksripsi Roger Ebert, hyperlink cinema yaitu tatkala tokoh-tokoh maupun rangkaian
peristiwa terjadi dalam kisah berlainan, namun koneksi atau pengaruh di antara
kisah-kisah itu perlahan diungkap, menyatukan segalanya. Sederhananya, struktur
satu ini adalah penyatuan kisah yang (awalnya) terpisah memakai satu benang
merah.
Terinspirasi tragedi bom Sarinah pada 14 Januari 2016, hyperlink sejatinya merupakan bentuk yang tepat, mungkin
malah paling efektif untuk menggambarkan bahwa korban yang berasal dari beragam
kalangan, terhubung dalam satu pengalaman kolektif. Bahwa di tengah kekacauan
tersebut, ada individu-individu yang menyimpan cerita, atau dalam konteks
naskah buatan Husein M. Atmodjo (Parts of
the Heart, Midnight Show) dan Gunawan Raharjo (Jingga), sosok tercinta masing-masing. Perspektif itu berpotensi
memberi dampak emosional kuat, sebab terdapat hal spesial, misterius, bahkan “ajaib”
seputar pengalaman kolektif yang terwujud melalui kebetulan yang diprakarsai
takdir.
Sayang, naskahnya gagal mempresentasikan pengalaman kolektif
itu, atau menilik kegunaan hyperlink
cinema, tautan yang mestinya ada justru tiada. Ketimbang merekatkan,
eksekusi 22 Menit justru kacau nan membuyarkan.
Fokus lemah menjadi sebab. Daripada menyoroti tokoh atau lingkup waktu tertentu
di tiap “segmen”—yang dipisahkan hitung mundur jam digital—alurnya bak produk
campur aduk asal terhadap sederet plot sampingan. Sulit menyebut secara pasti,
karakter atau situasi mana yang di satu titik tengah dijadikan fokus (kalau
fokus itu sendiri dipunyai filmnya). Dalam hyperlink,
tentu fatal andai “link”-nya sendiri
hilang, yang di film ini turut menyebabkan raibnya jembatan antara cerita
dengan perasaan penonton.
Hanya subplot Hasan-Anas yang cukup berkesan, itu pun bukan
berkat skrip, tetapi karena seperti dalam Guru
Ngaji, Ence Bagus menampilkan sensitivitas. Matanya menyuarakan keresahan.
Sisanya hampa, terlebih Mitha dan Dessy. Kita tak tau siapa mereka, tidak pula berbagi
momen personal dengan keduanya. Kesannya, para penulis naskah yang sudah
terjebak di jeratan benang kusut buatan sendiri, alih-alih coba merapikan
justru menambah jalinan benang lain.
Didukung penuh pihak kepolisian, film panjang kedua produksi
Buttonijo Films setelah Another Trip to
the Moon (2015) ini memiliki production
value plus penanganan aksi yang tidak main-main. Prosedur anti-terorisme
ditampilkan, beberapa helikopter diterjunkan, detail properti-properti lain pun
solid. Apalagi 22 Menit diambil di
lokasi asli, di mana pengambilan gambar dilakukan tiap akhir minggu selama
sebulan. Namun itu berakhir sebatas kemewahan kulit luar ketika duo sutradara,
Eugene Panji (Naura & Genk Juara the
Movie) dan Myrna Paramita kurang cakap memaksimalkan modal di atas untuk
menghasilkan gelaran aksi intens. Tidak buruk, tapi melihat sumber daya miliknya,
wajar jika saya berharap lebih, meski Ario Bayu tentu saja tidak mengecewakan,
tampak meyakinkan memerankan polisi tangguh nan pemberani yang mengangkat
senjata.
Pada departemen musik, Andi Rianto (Arisan!, Kartini, Critical Eleven) telah berusaha menyerbu telinga
penonton melalui dentuman mendebarkan plus horn
megah ala Hans Zimmer, tapi aksinya tidak pernah mencapai klimask. Pun tak
berlebihan bila menyebut 22 Menit
sebagai film nihil klimaks. Pertempuran polisi melawan teroris berakhir saat mayoritas
penonton rasanya mengira filmnya masih menyimpan amunisi lebih, dan memang
seharusnya demikian. Tapi tidak. Baku tembaknya tampil pendek dalam durasi
keseluruhan yang juga pendek (71 menit), kemudian memberi ruang bagi epilog
yang melompat dari fokus utama (peristiwa terorisme 14 Januari), yang dibuat
hanya untuk menggambarkan gerak cepat dan kesigapan polisi memberantas antek
terorisme sampai ke akarnya. Singkatnya, pembangunan citra. Terdengar voice over Vincent Rompies (tampil
singkat selaku cameo) di siaran radio
yang terasa melankolis, syahdu, manis tapi pahit. Momen itu seharusnya
dijadikan penutup.
Juli 18, 2018
Action
,
Ade Firman Hakim
,
Andi Rianto
,
Ardina Rasti
,
Ario Bayu
,
Ence Bagus
,
Eugene Panji
,
Fanny Fadillah
,
Gunawan Raharjo
,
Husein M. Atmodjo
,
Indonesian Film
,
Kurang
,
Myrna Paramita
,
REVIEW
,
Taskya Namya
Langganan:
Postingan
(
Atom
)