Tampilkan postingan dengan label Sarah Silverman. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sarah Silverman. Tampilkan semua postingan

REVIEW - MARRY ME

Mempertemukan dua manusia dewasa berparas rupawan, tampil ringan tanpa selipan isu, mengangkat situasi dengan tingkat kemustahilan tinggi. Marry Me jadi pengobat rindu ke era kejayaan komedi romantis. Sebuah genre yang seolah punah memasuki pertengahan 2010-an. Mungkin lebih tepat disebut "formula klasiknya" yang punah.

Ada masanya komedi romantis bukan dijadikan luapan keresahan individu terpinggirkan yang dianggap tak berkesempatan memadu cinta, melainkan bentuk fantasi romansa. Bermimpi menemukan pasangan sempurna, menikahi milyuner, atau merebut hati idola. Komedi romantis mewujudkan semua itu lewat ketidakterbatasan sinema, kala keterbatasan membayangi realita. 

Diadaptasi dari novel grafik berjudul sama karya Bobby Crosby, Marry Me jelas memerlukan suspension of disbelief agar dapat dinikmati. Bagaimana tidak? Kisahnya menyatukan Kat Valdez (Jennifer Lopez), seorang bintang pop ternama, dengan Charlie Gilbert (Owen Wilson) si guru matematika. Kat sejatinya hendak mengikat janji suci bersama kekasihnya, Bastian (Maluma), di tengah konser selepas menyanyikan lagu duet mereka, Marry Me. 

Tapi tepat sebelum tampil, berita perselingkuhan Basian tersebar. Didorong patah hati, Kat mengambil langkah gila. Tatapannya tertuju pada Charlie, yang datang bersama puterinya, Lou (Chloe Coleman). Diajaknya Charlie ke atas panggung, dan dinikahinya si duda beranak satu. 

Kita tahu aksi impulsif di atas bakal berakhir bahagia. Mudah ditebak. Tapi destinasi bukan pondasi komedi romantis. Bagaimana dua insan melewati rangkaian penghalang adalah poin utamanya. Selain tak saling mengenal, tembok pemisah antara Kat dan Charlie jelas dunia mereka. 

Kat seorang bintang global. Menyaksikannya membawakan lagu Church, ditemani para penari latar berkostum suster seksi, saya sangat memahami popularitasnya. Hidupnya glamor, rutinitasnya padat. Sebaliknya, pribadi Charlie bahkan dirasa membosankan oleh sang puteri. Di tangan sutradara Kat Coiro (juga menggarap serial She-Hulk tahun ini), skenario "menikahi idola" ala fan fiction mampu dijadikan tontonan luar biasa menyenangkan.

Bukan sekadar romantisme kosong, sebab biarpun eksekusinya ringan, naskah buatan John Rogers, Tami Sagher, dan Harper Dill, memastikan tiap momen romantis juga mengandung makna lebih bagi dua protagonis. Kat merekatkan hubungan ayah-anak, pun membawa Charlie mengunjungi kembali kenangan masa lalu akan mendiang ibunya. Sedangkan Charlie mendorong istri barunya lepas dari ketergantungan pada kemewahan. 

Chemistry kedua pemeran utama tentu berdampak signifikan. Wilson yang canggung, dan Lopez yang loveable, selalu berhasil memancing senyum lewat interaksi mereka, lewat aktivitias saling mengenal sembari berusaha saling menyesuaikan. Sayangnya, perihal proses adaptasi ini dipaparkan secara kurang seimbang. Kat benar-benar mencoba kehidupan normal. Kat menyambangi murid-murid Charlie, menghadiri pesta dansa sekolah, bahkan mau meninggalkan acara penting di penghujung cerita. Sementara Charlie, yang lebih sering mengeluhkan perbedaan dunia mereka, hingga akhir tetap tak secara gamblang menyampaikan kesediaan menyesuaikan diri.

Tapi toh saya tetap berharap keduanya selalu bersama. Ditambah jajaran pemain pendukung yang tidak kalah bersinar (John Bradley sebagai Collin si manajer likeable, Sarah Silverman sebagai Parker si guru lucu yang memaksimalkan potensi komedi filmnya), juga beberapa lagu manis (After Love jadi favorit saya), Marry Me jadi semakin solid. Mungkin popularitas komedi romantis takkan kembali ke masa jayanya, tapi selama film-film seperti Marry Me tetap dibuat, selalu ada tempat bagi mimpi-mimpi romansa untuk diwujudkan di ruang khayal sinema.

RALPH BREAKS THE INTERNET (2018)

Ralph Breaks the Internet adalah Inside Out versi gim dan internet dalam hal kepintaran serta kreativitasnya membangun dunia. Seperti normalnya sekuel, cakupan diperluas. Kalau Wreck-It Ralph “hanya” menunjukkan apa yang karakter permainan arkade lakukan saat tak sedang dimainkan manusia, sekuel ini berpindah ke dunia yang lebih besar, yakni internet, tempat yang memiliki segalanya, dan Ralph Breaks the Internet memanfaatkan itu untuk menciptakan dunia kreatif nan kaya, disertai cara kerjanya.

Enam tahun berlalu sejak peristiwa film pertama, dan kini Ralph (John C. Reilly) hidup bahagia, tak lagi dipandang sebagai perusak jahat, dan bersahabat dengan Vanellope (Sarah Silverman), di mana mereka setiap hari menghabiskan waktu bersama di tempat dan waktu yang sama. Bagi Ralph, rutinitas tersebut merupakan kedamaian, namun Vanellope ingin lebih. Dunia manis sarat warna di Sugar Rush tak lagi seberwarna itu baginya, dengan balapan yang terlampau gampang sebab Vanellope sudah hafal semua trik dan track.

Pasca sebuah kecelakaan yang berpotensi membuat Sugar Rush ditutup selamanya, dan demi menyelamatkannya, dua protagonis kita memulai perjalanan menuju internet. Pertama kali menginjakkan kaki di sana, mereka terpukau melihat dunia tanpa ujung yang internet tawarkan. Begitu pun saya kala mendapati bagaimana di Ralph Breaks the Internet, berbagai aspek dalam internet bertransformasi menghasilkan lingkungan imajinatif yang hidup lengkap dengan rutinitasnya sendiri.

Pop-up ads menjadi penjaja produk yang agresif, eBay merupakan tempat lelang, mesin pencarian adalah pria bernama KnowsMore (Alan Tudyk) yang mengetahui semuanya, dan lain-lain. Fakta bahwa hal-hal di atas cocok dengan cara kerja internet di realita, jadi bukti kecerdikan duo penulis naskahnya, Pamela Ribon (Smurfs: The Lost Village) dan Phil Johnston (juga selaku sutradara). Pun terdapat setumpuk detail kecil, yang dijamin bakal memberi penemuan baru untuk pengalaman menonton berulang.

Bila film pertamanya menyimpan setumpuk cameo karakter gim, Ralph Breaks the Internet punya beragam produk internet serta referensi kultur populer dalam beraneka bentuk (yang lagi-lagi) kreatif. Dan selaku produsen, wajar saat referensi untuk Disney paling kaya.  Anda akan mendengar The Imperial March kala menyambangi area Star Wars; meet & greet dengan seorang tokoh MCU; dan sebagaimana trailer-nya tampilkan, Disney Princess. Beberapa karakteristik mereka dijadikan lelucon menggelitik termasuk sebuah elemen yang baru saya sadari di sini. Elemen yang melibatkan musikal.

Ya, film ini turut menghadirkan satu adegan musikal, yang oleh duo sutradara, Rich Moore (Wreck-It Ralph, Zootopia) dan Phil Johnston, dikemas dalam visual meriah ditambah musik megah gubahan Henry Jackman (Captain America: Civil War, Jumanji: Welcome to the Jungle). Hasilnya adalah gegap gempita indah yang dewasa ini, mungkin hanya sanggup ditandingi La La Land, yang oleh Ralph Breaks the Internet turut dijadikan acuan subtil.

Kembali ke perihal Disney Princess, saya terkecoh kala mengira pertemuan tersebut hanya bakal jadi sempilan ringan pengisi durasi. Rupanya momen itu berguna menyampaikan salah satu pesan filmnya. Rapunzel bertanya pada Vanellope, “Do people assume all your problems got solved because a big strong man showed up?”. Vanellope mengiyakan. Ralph sendiri belakangan semakin posesif, ingin Vanellope selalu dan hanya bersamanya. Tatkala Ralph bersusah payah meyakinkan Vanellope jika Slaughter Race terlalu berbahaya baginya, si gadis cilik menampik pernyataan itu. Poin tersebut selaras dengan upaya rebranding Disney terhadap karakter wanitanya yang makin independen di tiap sendi kehidupan, bukan saja soal percintaan.

Oh, saya lupa menjelaskan mengenai Slaughter Race, sebuh permainan balapan brutal, sarat kekerasa, berbanding terbalik dengan kesan warna-warni manis bagi semua umur milik Sugar Rush. Vanellope menemukan hasratnya kembali begitu menyadari ketiadaan batasan di Slaughter Race. Tidak ada lintasan monoton, dan ia bebas bermanuver sesuka hati. Jangankan Vanellope, bukankah itu alasan permainan open world macam Grand Theft Auto maupun Red Dead Redemption amat digandrungi?

Slaughter Race dikuasai pembalap wanita bernama Shank yang diisi suaranya oleh Gal Gadot dalam salah satu performa terbaiknya, berkat kemampuan menyuntikkan dinamika untuk menjadikan Shank sosok keren berkharisma. Wajar Vanellope mengaguminya. Ralph? Tentu Ralph membenci Shank. Baginya, wanita itu tidak bisa dipercaya, walau kita tahu, itu sebatas ungkapan kecemburuan. Konflik itu berujung pada konklusi menyentuh setelah kita disuguhi gelaran aksi raksasa ala King Kong. Dari dunia yang teramat kaya, lelucon pintar, hingga drama emosional, Ralph Breaks the Internet mungkin rilisan “paling Pixar” dari Walt Disney Animation Studios.