TWO DAYS, ONE NIGHT (2014)

Tidak ada komentar
Pertentangan antara moral menyangkut kepentingan bersama dengan ego menyangkut kepentingan pribadi adalah permasalahan klasik yang masih terjadi hingga kini pada setiap orang. Saya yakin kita semua pernah terjebak dalam dilemma semacam itu, disaat kita harus memilih membantu orang lain atau mendahulukan kebutuhan pribadi dahulu. Tentu saja tema sehari-hari yang sederhana namun menghadirkan konflik batin kompleks ini adalah “makanan empuk” bagi duo sutradara asal Prancis, Luc Dardenne dan Jean-Pierre Dardene (Dardene Brothers). Mereka berdua memang telah dikenal lewat kepiawaiannya mengemas drama realis dengan tema familiar, tempo lambat dan leputan yang begitu minim. Dibintangi oleh Marion Cotillard yang berhasil meraih nominasi Best Actress Oscar kedua berkat aktingnya di film ini, Two Days, One Night bakal menceritakan perjuangan seorang wanita selama dua hari dan satu malam untuk mempertahankan pekerjaannya.

Sandra (Marion Cotillard) adalah seorang buruh pabrik yang baru saja mengambil cuti kerja karena nervous breakdown yang ia alami. Kondisi Sandra akhirnya membaik meski harus rutin meminum anti-depresan untuk menjaga kestabilan emosinya. Tapi pada saat itulah dia menerima kabar mengejutkan. Rekan-rekannya sesama buruh telah mengadakan voting untuk memilih apakah Sandra harus tetap dipertahankan atau tidak. Pemilihan itu dilakukan atas dasar pemikiran bahwa pekerjaan Sandra bisa diambil alih asalkan para karyawan bersedia menambah jam kerja mereka. Selain itu pihak manajemen merasa ragu bahwa Sandra bisa benar-benar pulih dan bekerja secara optimal. Jika 16 buruh itu sepakat memecat Sandra, maka mereka dijanjikan bonus lembur sebesar 1,000 Euro. Mendengar itu, sontak saja Sandra benar-benar dibuat tertekan. Untungnya, sang bos bersedia melakukan voting ulang setelah mendengar kabar bahwa banyak karyawan yang takut memilih mempertahankan Sandra karena intimidasi dari mandor mereka. Atas dorongan suaminya, dia pun akhirnya menghabiskan dua hari selama akhir pecan untuk mendatangi satu per satu rekannya guna membujuk mereka supaya bersedia memilih untuk mempertahankannya.
Begitu sederhana premis film ini. Begitu sederhana pula cara Dardene bersaudaara mengemasnya. Seperti film-film mereka lainnya macam The Kid with a Bike, film ini pun berjalan lambat, minim dramatisasi konflik penuh letupan, bahkan terasa sepi karena hanya dihiasi dialog para karakternya tanpa sedikitpun sentuhan scoring (kecuali anda menghitung dua lagu dari radio mobil yang sempat terdengar sebagai scoring). Bahkan bukan tidak mungkin film ini akan terasa begitu repetitif karena memang ceritanya minim variasi. Selama kurang lebih 95 menit, mayoritas kita akan diajak melihat perjalanan Sandra menemui rekan-rekannya. Setiap kunjungan punya dua kemungkinan hasil, yaitu kebersediaan memilih Sandra atau penolakan. Jika temannya bersedia, Sandra akan melangkah dengan kebahagiaan, jika tidak depresi segera menyerang. Kemudian hamper setiap penolakan yang ia dapatkan juga “dibumbui” dengan pernyataan dari sang rekan bahwa ia sebenarnya ingin memilih Sandra tapi karena kebutuhan finansial yang menghimpit itu tidak bisa ia lakukan.

Bisa saja film ini menjadi sajian penuh repetisi yang membosankan andai saja tiap pengulangan tersebut tidak memiliki apapun untuk ditawarkan dan tidak terdapat esensi yang menjadikannya harus dilakukan. Segala pengulangan itu jadi perlu hadir untuk menunjukkan bagaimana kekuatan Sandra sebagai seorang wanita. Two Days, One Night memang sebuah gambaran perjuangan seorang wanita yang akan dengan mudah diasosiasikan sebagai sosok lemah, apalagi jika harus berurusan dengan konflik mengaduk-aduk perasaan seperti ini. Tidak hanya itu, wanita yang satu ini juga menderita nervous breakdown yang melipat gandakan tekanan serta kesulitan tersebut. Sandra sering terjatuh, terbenam dalam tangis, putus asa, bergantung pada obat, bahkan sempat mencoba langkah ekstrim, tapi toh pada akhirnya ia terus bangkit kembali. Repetisi yang ada bertujuan untuk membuat penonton memahami, bahkan merasakan perjuangan Sandra, dan itu berhasil. Tidak hanya sakit hati, Sandra juga terjebak dalam pemikiran bahwa ia hidup sendirian.  Memang hasil akhirnya tetap predictable, tapi apapun keputusan yang ia dapat bukan itu yang terpenting. Pada saat akhirnya ia menyadari keberadaan orang-orang yang menyayanginya, disitulah kelegaan dan kebahagiaan berhasil didapatkan Sandra, melebihi segalanya bahkan pekerjaan sekalipun.
Minim letupan konflik tidak berarti film ini datar secara emosi. Saya dibawa merasakan kepedihan saat Sandra mengalami penolakan. Disisi lain ada juga rasa lega yang hadir melihat senyuan Sandra saat teman yang ia bujuk bersedia memilihnya. Bahkan klimaksnya pun menyajikan ketegangan plus emosi campur aduk menantikan voting hingga hasil akhirnya muncul.Tentu saja berbagai keberhasilan penyampaian emosi itu berkaitan erat dengan akting luar biasa Marion Cotillard. Memerankan karakter yang berkaitan erat dengan depresi, seorang aktris biasa saja berpotensi membawakannya dengan cheesy kalau tidak boleh disebut murahan. Tapi Cotillard berbeda berkat pendekatan realis yang ia pergunakan. Ekspresi dan gesturnya kecil, tapi setiap unsurnya amat berarti, penuh kekuatan. Tatapan penuh kegetiran dan rasa sesak yang ia alami saat menahan tangis karena penolakan membuat saya merasa iba. Apalagi saat depresinya mencapai puncak dan seolah kehilangan semangat hidup. Tapi mata berbinar dan senyum tipis penuh haru saat sang teman menerima permintaannya mampu membuat saya tersenyum bahagia.

Inilah drama realis yang mendefiniskan dengan sempurna istilah “realis” itu sendiri. Bukan hanya karena tema yang dekat dengan keseharian atau penggarapan berpijak kesederhanaan bertutur tapi juga dengan sempurna menggambarkan segala kerumitan dari permasalahan yang sekilas tampak simpel itu. Tentu saja saya sebagai penonton turut diserang rasa dilematis. Simpati jelas saya rasakan bagi Sandra, tapi disisi lain saya pun begitu memahami kenapa banyak dari mereka yang lebih memilih bonus. Konflik batin semacam ini saat harus memilih antara teman atau diri sendiri memang kompleks, dan Dardene bersaudara sukses mencerminkan hal tersebut dalam film mereka ini. Semakin kompleks lagi saat Two Days, One Night membuat hati saya merenungkan apakah memang benar teman-teman Sandra mengalmi dilemma atau sekedar “manis di mulut” demi menghadirkan penolakan yang lebih halu dan tidk menyakiti perasaan? Jadi sejauh apa mereka yang disebut teman dekat bersedia berkorban demi kita? Pertanyaan yang tidak hanya ditujukan bagi teman-teman Sandra, tapi juga bagi Sandra itu sendiri.

Tidak ada komentar :

Comment Page: