GILA JIWA THE MOVIE (2016)

5 komentar
Kata "berbeda" tidak melulu selaras dengan kualitas sebuah film. Diperkosa Setan adalah suguhan berbeda, tapi jelas bukan tergolong kategori bagus. Sudah sering saya tekankan, keklisean juga dapat berujung karya berkualitas bila penggarapannya baik. Namun harus diakui, karya anti-mainstream punya pesona tersendiri, karena menyaksikan suguhan model baru yang belum pernah/jarang kita temui merupakan pengalaman menarik. Gila Jiwa the Movie selaku perayaan 40 tahun karir Ria Irawan di dunia hiburan Indonesia jelas dibuat bermodalkan semangat demikian: menyuguhkan karya anti-mainstream. Anthology bukanlah hal baru dalam perfilman tanah air, tapi lain cerita jika tiap segmen memiliki genre berlainan.

Gila Jiwa the Movie terdiri dari lima short beda genre dan digarap pula oleh lima sutradara: laga (Julia Perez), komedi (Aming), horor (Ade Paloh), musikal (Afgansyah Reza) serta drama (Ria Irawan) Segmen laga bercerita mengenai seorang superstar yang terjebak dalam konspirasi pembunuhan, komedi tentang kehidupan bocah berhijab bersama sang ibu, horor tentang rasa ingin tahu dua gadis mengenai ilmu hitam, musikal adalah kisah korban bully dan imajinasinya, sedangkan drama sekaligus penghubung kelima segmen bertutur mengenai empat remaja dengan obsesi mereka membuat film anti-mainstream
Permasalahan terbesar (baca: paling sering) di anthology movie terletak pada ketimpangan kualitas antara tiap short, begitu pula film ini. Suguhan laga sebagai pembuka jadi paparan terlemah. Adegan aksi berhias koreografi ala kadarnya plus kekacauan naskah jadi penyebab. Alhasil ambisi berlebih supaya ceritanya twisty malah terasa menggelikan. Setidaknya Julia Perez meski belum bisa disebut bagus cukup membuktikan kapasitasnya berakting. Andai tidak harus mengarahkan dirinya sendiri, penampilan Jupe berpotensi mengesankan (lihat saja Gending Sriwijaya). Bagian musikal punya kelemahan di kasarnya transisi adegan real world menuju musical number. Tata artistik adegan bernuansa broadway pun terlampau sederhana, sama sekali tak memanjakan mata sebagaimana seharusnya. Untung momen teatrikal yang lebih mengutamakan esensi gestur plus rasa daripada kemeriahan panggung, mencuatkan keindahan berkesan.

Bab komedi satir memiliki penceritaan paling kuat berkat keberhasilannya melontarkan kritik teruntuk kultur pemakaian hijab. Sekilas terkesan konyol, absurd, sekaligus nonsense, namun di baliknya terdapat kritikan tajam menggelitik, karena memang selucu itu persepsi orang akan hukum memakai hijab dan bagaimana semestinya anak/wanita berperilaku. Ditambah kehadiran Tio Pakusadewo memakai jilbab tanpa melupakan bobot akting (karakternya tidak berujung karikatur dangkal). Horor garapan Ade Paloh mungkin bakal paling membingungkan bagi mayoritas penonton akibat liarnya progresi alur. Mengusung tema parallel universe, rasa surealisme minim eksplanasi tertuang kental mencipta keanehan yang tak jarang memusingkan. Absurditasnya twisted nan menyenangkan walau kurang menyeramkan. 
Persamaan keempat kisah di atas adalah nuansa absurd ditambah pergerakan narasi acak kalau tak bisa disebut kacau. Short penghubung garapan Ria Irawan akhirnya memberi alasan teruntuk kekacauan tersebut. Alasannya memang terasa menggampangkan, sedikit "memaksa" penonton menerima kekacauan itu, tapi paling tidak penyakit segmen penghubung dalam film antologi yakni "muncul sambil lalu" berhasil dihindari. Ria Irawan memberi cukup kekuatan pada kisahnya, bukan sekedar menjalankan tugas menggabungkan tiap sisi penceritaan. Kekurangannya, selipan unsur meta berkaitan dengan niatan para sutradara Gila Jiwa the Movie terkesan membuat filmnya berusaha terlampau keras menjadi anti-mainstream sewaktu beberapa kali karakternya meneriakkan "ingin membuat film anti-mainstream". Seolah anda membuat film komedi yang rutin menyatakan "ini film komedi, lho."

Gila Jiwa the Movie merupakan film divisive. Kegilaannya bernarasi bisa menjadikan penonton benci atau malah jatuh cinta. Walaupun harus diakui eksekusi konsepnnya belum berjalan maksimal, saya mendapat pengalaman menonton menyenangkan. Rentetan keanehannya stabil menjaga ketertarikan saya, sehingga ketika sebuah segmen tersaji lemah sekalipun, senyum tetap sukses dihadirkan. Senyum tanda kepuasan pasca menikmati perayaan terhadap proses kegilaan berkarya tanpa tekanan. Di saat seorang seniman berkarya tanpa paksaan bermodalkan kebebasan, ia akan menikmati, bersenang-senang menciptakan karya tersebut. Apabila proses kreatifnya semacam itu, perasaan serupa akan mudah tersalurkan kepada penonton. Itu yang terjadi pada Gila Jiwa the Movie

5 komentar :

Comment Page:
Unknown mengatakan...

13 HOURS: THE SECRET SOLDIERS OF BENGHAZI kagak di review apa mas

Rasyidharry mengatakan...

Nggak doyan Bay hahaha

Unknown mengatakan...

kenapa gak doyan bro..

Rasyidharry mengatakan...

Ledakannya bombastis tapi monoton dia tuh

Teguh Yudha Gumelar mengatakan...

ngakak bacanya