RAW (2016)
Rasyidharry
Juni 10, 2017
Cukup
,
Ella Rumpf
,
European Film
,
France Film
,
Garance Marillier
,
horror
,
Julia Ducournau
,
REVIEW
,
Ruben Impens
21 komentar
Ada beragam cara menggolongkan film horor, dan kali ini saya akan membaginya ke dalam tiga bentuk. Pertama nasty horror. Sesuai namanya, jenis ini mengedepankan momen menjijikkan, sering eksploitatif, menempatkan cerita, akting, dan segala tetek bengek sinematik lain di urutan ke sekian. Kritikus cenderung membabat habis film model begini. Kedua adalah mainstream horror yang dirilis luas, dibuat mengikuti pola demi memuaskan penonton sebanyak mungkin. Ketiga, artsy horror yang gemar bermain alegori, banjir penghargaan dari bermacam festival, namun bagi penonton awam tak selalu memuaskan entah disebabkan tempo lambat atau "pelit" mengumbar teror.
Raw yang disutradarai dan ditulis naskahnya oleh Julia Ducournau termasuk golongan terakhir, menceritakan hari-hari pertama Justine (Garance Marillier) berkuliah menempuh pendidikan kedokteran hewan. Justine merupakan gadis "lurus" yang cerdas, pendiam, masih perawan, sekaligus seorang vegetarian. Di sana ia bersama sang kakak, Alexia (Ella Rumpf). Berlawanan dengan Justine, Alexia lebih "liar" dan gemar berpesta. Seiring waktu, Justine menyadari ada keanehan pada dirinya ketika mulai timbul hasrat memakan daging mentah yang bahkan bisa menyeruak hadir kala melihat seekor sapi hidup di depan kelas. Hingga saat terjadi sebuah kecelakaan, hasrat Justine berubah ke tingkatan ekstrim.
Kisah coming-of-age memang mangsa empuk bagi sineas horor menyelipkan simbolisme-simbolisme, mengingat pada kenyataannya, fase hidup manusia khususnya remaja dipenuhi berbagai perubahan yang dirasa aneh, entah pengalaman seksual pertama, fisik pula kepribadian juga berubah. Karena itu takkan sulit memberi twist pada perubahan tersebut, misal si karakter menyadari dia adalah monster, kanibal, atau semacamnya. Ducournau pun memanfaatkan itu, menumpahkan setumpuk alegori tentang bangkitnya naluri dasar manusia, seksualitas, kehidupan kampus, sampai perdebatan soal perlakuan terhadap hewan, entah untuk dikonsumsi atau eksperimen akademik.
Tapi keberadaan simbol di atas tidak serta merta menjadikan filmnya suguhan cerdas, sebab kini ketika coming-of-age sudah jamak dijadikan metafora termasuk dalam horor, apa yang Ducournau berikan terlampau familiar. Mudah ditebak ke mana perkembangan karakternya bergerak, walau di beberapa titik terdapat kejutan selaku pemberi shock value. Pula pada pengadeganan, di mana tempo lambat sebagai niat membangun atmosfer ditambah gambar artistik cantik garapan sinematografer Ruben Impens yang sesekali dibalut slow motion mendominasi. Gaya demikian yang dulu termasuk "hipster" telah menjadi klise, membentuk template tersendiri bagi arthouse horror, dan Ducournau sekedar menerapkan, mengulangi template itu.
Eksplorasi dramatik cenderung mengesampingkan porsi horor, yang mana bukan masalah bila terdapat pendalaman paten. Sayangnya, untuk film yang berupaya mengangkat tentang tumbuh kembang manusia secara serius, bukan gimmick semata, presentasinya dangkal. Perubahan demi perubahan Justine tak nampak sebagai proses berkelanjutan yang natural, melainkan hanya alat agar film dapat bergerak dari satu twisted moment ke twisted moment berikutnya. Andai saja fokus banyak terletak pada horor, sebab meski Raw memperlihatkan bahwa Ducournau bukan pencerita solid, ia piawai menebar teror menyakitkan.
Tanpa perlu sadisme berlebihan, sang sutradara sanggup menyulap peristiwa remeh seperti menggaruk luka alergi jadi adegan yang bisa memaksa penonton berpaling dari layar berkat perpaduan visual eksplisit dengan tata suara meyakinkan. Atau bagaimana "menarik rambut dari dalam mulut" yang telah ratusan kali kita lihat tampak begitu menyakitkan. Ducournau punya kejelian tinggi terkait menciptakan pemandangan disturbing tanpa perlu terkesan over-the-top. Selalu mencekam dan mencekat tatkala momen berdarah mengambil alih, Raw sayangnya turut memperlihatkan betapa hipster artistic horror makin repetitif, predictable, mencapai kekliseannya sendiri.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
21 komentar :
Comment Page:Tetep mantepan The Wailing lah yaaaa :D
Oh jelas, tapi beda jenis haha
Selera saya rendah mungkin ya bang, masa saya suka banget sama itu film. Sampe nganggep itu film sebagai yg terbaik di 2016 versi saya, dan film horor terbaik sepanjang masa wkwk
Suasana yg dibangun kayak di Indonesia sih, serem gitu, pake dukun segala wkwk
Nggak ada itu namanya selera rendah :)
Apalagi Wailing emang luar biasa gila, atmosfernya, idenya, campur aduk semua unsur horornya
tanpa "darah" pun sebenarnya cukup oke dramanya om.. atau memang sebnarnya "darah" cuma sempilan doang?
Darah atau nggak bukan masalah sih. Adegan sederhana macam garuk-garuk aja udah dibuat gila. Tapi ya gini jeleknya hipster horror sekarang, banyak yang terlalu sibuk main di simbolisme & drama, lupa hakikatnya sebagai horor. And no, the drama here isn't so good. Tema & cara eksekusi dramanya sudah terlalu sering muncul :)
Setuju banget sama paragraf terakhir. Adegan2 narik rambut dari mulut sama garuk2 karna alergi itu emang bikin aku berpaling dari layar dan ngelepas earphone saking gelinya
Nah ini, horor sejati wkwk
Same here, gila memang!
"fase hidup manusia khususnya remaja dipenuhi berbagai perubahan yang dirasa aneh, entah pengalaman seksual pertama.."
Enak ya jdi orang Amrik, baru SMP udah bisa have sex.
Kalo boleh tau ini nonton dimana mas? Walaupun dapat 3 bintang saya penasaran :)
Bicara tentang The Wailing, jadi sebenarnya yg jahat itu siapa Bro..? si dukun ato si perempuan misterius..? sampai aku buka youtube buat ngeh... :(
Loh sini juga bisa dong, ketahuan apa nggak tapi :D
Lapak torrent ada kok. Masih layak tonton :)
Setan sebenarnya si orang Jepang itu :)
Siap mas..
Kalo menurut mas rasyid..mending download di torrent atau beli dvd bajakan?
Nggak punya player, jadi torrent haha
Bukan berarti ini encouraging piracy yak, khusus film luar yang nggak kan tayang di bioskop sini aja :)
jujur sih kadang males nonton bioskop film horor, masa bayar mahal2 cuma buat di takutin -_-
The Wailing film korea?
I love Everything about this movie.
Menurut saya film ini punya cerita yang benar benar menarik. dikemas dengan genre coming-of-age menjadi pilihan yang sangat tepat menurut saya.
The cinematography and the scoring was soooo GOOD!
definitely salah satu film paling memorable yang saya tonton tahun ini.
Layarkaca21.com ada kok,, so far film nya keren kok,, art horror sakit jiwa khas eropa , mantapp ,, adegang ngemil jari nya itu lohhh, sukses bikin gua ogah makan soto ceker lagi, hah
Posting Komentar