JARAN GOYANG (2018)
Rasyidharry
Juli 06, 2018
Ajun Perwira
,
Cris de Lima
,
Cut Meyriska
,
Findo Purwono HW
,
horror
,
Indonesian Film
,
Laura Theux
,
Mudy Tailor
,
Nova Eliza
,
REVIEW
,
Sangat Jelek
,
Wahyu S. Nugroho
10 komentar
Jaran Goyang dibuka saat seorang wanita berlari
ketakutan dari kejaran kuda berwarna hitam di tengah hutan pada malam hari. Rupanya
itu sekedar mimpi. Mendadak filmnya melompat memperlihatkan penari wanita—juga
di tengah hutan—yang didatangi kuda tersebut. Kalimat dari mulut si penari
memberi informasi bahwa kuda itu adalah perwujudan ilmu pengasih “Jaran Goyang”,
dan si penari pernah memakainya. Belum sempat saya berkenalan lebih jauh,
lompatan kembali terjadi, kali ini menuju cameo
Trio Macan yang menyanyikan lagu Jaran
Goyang bersama satu personel tambahan. Apakah personel itu wanita yang tadi
bermimpi dikejar kuda? Entah. Sulit mencerna sekuen pembuka ini akibat gerakan
liar seperti orang kesurupan. Samar-samar saya pun mendengar teriakan “KOPIIII!”.
Tapi mungkin semua itu disengaja. Mungkin film keempat
sutradara Findo Purwono HW (EL, Menculik
Miyabi) sepanjang 2018 ini memang didesain agar penonton merasakan hal
serupa korban ilmu jaran goyang. Mungkin, Jaran
Goyang memang sengaja membuat otak penonton bergoyang, lalu menjadi gila
sebagaimana korbannya. Mungkin, sekali lagi MUNGKIN, tagline-nya yang terdengar bagai modifikasi dipaksakan dari Jelangkung, yakni “Datang sinting,
pulang tergila-gila” memiliki arti terselubung. Sama seperti kelebihan filmnya
yang luar biasa terselubung, tersimpan rapat, sampai sulit ditemukan.
Korban dari ilmu jaran goyang di sini tak lain Elena (Cut
Meyriska) yang sebelumnya kita saksikan bernyanyi bersama Trio Macan. Elena merupakan pernyanyi ternama, meski setelah
sekuen pembuak tadi, tak sekalipun tampak ia bernyanyi. Sementara sang adik,
Tania (Laura Theux) menjadi manajernya. Belum lama kita berkenalan dengan
mereka, keanehan terjadi. Di tengah perjalanan, keduanya berpapasan dengan
seekor kuda hitam di siang bolong. Kuda itu menghilang seketika, tetapi
tapalnya tertinggal. Tania menyimpan tapal tersebut. “Unik”, begitu katanya.
Orang kaya memang sering bertingkah eksentrik termasuk mengoleksi benda tak
biasa. Di Italia, ada pria kolektor lebih dari 8.650 label botor air minum.
Jadi tapal kuda bisa diterima bukan?
Sedangkan si pemilik ilmu jaran goyang adalah Dirga (Ajun
Perwira), tukang kebun di rumah Elena, yang lagi-lagi tak pernah tampak
mengurus kebun. Dirga jatuh cinta (baca: terobsesi) pada Elena, namun tentu
saja cintanya ditolak. Sakit hati, ia mendatangi tantenya di kampung, Srinthil
(Nova Eliza), yang tak lain merupakan penari di adegan pembuak tadi. Dirga
meminta ilmu jaran goyang, yang akhirnya Srinthil berikan dengan syarat, Dirga
tidak memakainya untuk pelampiasan nafsu. Srinthil ini seperti pengedar narkoba
yang berpesan kepada pembeli agar tidak menyalahgunakan obat-obatan terlarang
itu.
Di film yang lebih baik, kisah di atas berpotensi
menghasilkan observasi mendalam tentang bagaimana hasrat menguasai karakternya,
perlahan menariknya menuju kegelapan. Tapi Jaran
Goyang bukan film demikian. Naskah Wahyu S. Nugroho bagai diangkat dari
kisah majalah Hidayah berjudul “Memakai Ilmu Jaran Goyang, Tubuh Jenazah Hangus
Seperti Arang”. Tapi bisa jadi, awalnya sang penulis naskah berniat menyusun
studi karakter kuat, sebelum produser menyela, “Kenapa you bikin drama?! Crazy!
Stupid! You tambahin horornya!”. Jadilah muncul hantu-hantu acak yang tidak
jelas sebab musabab maupun asal muasalanya, akibat sang penulis tak mampu
membedakan mana “tersirat”, mana “tidak jelas”. Mana “subtil”, mana “nihil”.
Untungnya, naskahnya masih bersedia menyediakan cerita ketimbang gempuran jump scare beberapa menit sekali. Ya,
ini dia nilai positif Jaran Goyang.
Saya bersyukur kuantitas jump
scare-nya dibatasi, sebab saat muncul, kualitasnya pun terbatas. Setiap
hantu meneror, selalu ada hal-hal berwarna hitam. Bayangan hitam, asap hitam,
bulatan hitam, yang bisa jadi adalah siluman tahi lalat raksasa. Selain visual,
aspek audio pun tak kalah terbatas kala suara yang diproduksi kerap
timbul-tenggelam. Tapi saya sadar bahwa Jaran
Goyang bukan menyasar cinephile
atau horror aficionado. Film ini
memang menyasar penonton dari kalangan menengah ke bawah dan pemirsa televisi.
Adegan ketika Dirga memukul kekasih Elena, Robert (Cris de Lima) yang diulang
hingga tiga kali demi efek dramatis hingga twist
bertema “Keluarga yang terpisah” jelas merujuk pada kitab suci sinetron tanah
air. Itulah sebabnya saya menikmati beberapa momen tatkala adegan dramatik
berubah jadi komedi pemicu tawa karena penulisan dialog maupun akting buruk
jajaran pemainnya.
Saya menikmatinya sebagai momen “so-bad-its-good”, yang sayangnya cuma mengisi di sebagian kecil
durasi. Dan ketika secara sengaja film ini berusaha melucu lewat kehadiran
dukun konyol nan bodoh bernama Mbah Rondi (Mudy Tailor), saya hanya sanggup
mengelus dada. Begitu film berakhir, terdengar seorang bocah berteriak, “BERUBAH!
JADI KUDA!!!”. Apa saya bilang. Jaran
Goyang berhasil menggoyang otak serta mengguncang jiwa penontonnya.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
10 komentar :
Comment Page:Macam mana ya Siluman tahi lalat? Penasaran. Hehe. Btw. Kirain ini film di skip. Suka sekali membaca review dari Mas Rasyid yang berlabel "sangat jelek". Hehe. Nunggy review Bodyguard Ugal-Ugalan sm Koki-Koki Cilik buat pertimbangan mana yang harus d tonton. Hehe
Terhibur kalau saya sih bang. Terhibur baca kalimat2 reviewnya hehehe. koki2 cilik ajalah, mungkin film anak2 lebih menghibur
Masih ada aja waktu nonton ginian mas..Saya liat trailernya aja ga berani..haha
Oiya btw, tumben dipostingan ini cuma ada poster biasanya ada potongan foto2 dari film yg direview. Sejelek itu??
@Panca Kalo bukan ditugasin ID Film Critics juga ogah 😅
Oh itu udah sebulan terakhir kok nggak pake.
Mksd tagline datang sinting pulang tergila gila, apakah buat para penontonnya mas? Hahaha...
Kalimat penutup yg epic!!! "Jaran Goyang berhasil menggoyang otak serta mengguncang jiwa penontonnya". Selalu ngakak kalo baca review film2 jelek... wkwkwk
Epic...
Dirga meminta ilmu jaran goyang, yang akhirnya Srinthil berikan dengan syarat, Dirga tidak memakainya untuk pelampiasan nafsu. Srinthil ini seperti pengedar narkoba yang berpesan kepada pembeli agar tidak menyalahgunakan obat-obatan terlarang itu.
So-bad-its-good kata2 yang menginspirasi saya untuk menonton film ini 😂😂
KOPIII!!!
Kayanya ini masuk salah satu film guilty pleasurenya mas rasyid, iya ga mas? Wkwkwk
Posting Komentar