PETUALANGAN MENANGKAP PETIR (2018)

4 komentar
Petualangan Menangkap Petir adalah film menyenangkan dengan tokoh sentral anak-anak, meski bukan film anak yang sepenuhnya berhasil. Sebab bila terlontar pertanyaan mengenai pesan apa yang dapat diserap, saya hanya bisa menjawab, “Jadi orang tua jangan protektif secara berlebihan”, dan “Cobalah memahami keinginan anak”. Sebagai film anak, karya penyutradaraan ketiga Kuntz Agus (#republiktwitter, Surga yang Tak Dirindukan) ini malah lebih lantang mengkritisi kalangan dewasa walau meluangkan sepanjang durasi menyoroti aktivitas karakter bocahnya. Mungkin ini hasil proses bawah sadar ketika para pembuatnya, serupa salah satu dialog yang mereka tulis, kerap “lupa cara menjadi anak kecil”.

Tujuan dasar Petualangan Menangkap Petir sebenarnya sederhana, yakni melecut supaya anak-anak tak ragu mengejar mimpi, juga berpetualang ke luar rumah, bertemu teman-teman nyata ketimbang melulu berkutat di balik gadget dan dunia maya. Tapi dalam konteks film ini, bila pokok-pokok bahasan di atas dirunut kembali, semua masalah justru berpangkal di orang tua ketimbang anak. Bukan sang anak, Sterling (Bima Azriel) yang meragu, melainkan sang ibu, Beth (Putri Ayudya) yang mengekang. Semua tergantung pada Beth. Masalah hanya akan tuntas saat Beth yang tersadar, bukan Sterling.

Meninjau situs personalnya, dapat disimpulkan Beth adalah seorang penggiat soal pendidikan terhadap anak, yang kerap membahas bagaimana agar anak bisa bermain sesuka hati, bersenang-senang tanpa perlu membahayakan diri dengan keluar rumah. Berbanding terbalik dengan sang suami, Mahesa (Darius Sinathrya), yang sejatinya ingin Sterling mengeksplorasi dunia luar, namun enggan menyulut masalah dengan Beth. Sterling, yang selama ini tinggal di Hong Kong, menjadi YouTuber tenar berkat beragam konten kreatif, berinteraksi dengan ribuan “teman” meski tak ada satu pun pernah ia temui langsung.

Kesuksesan itu membuat Sterling berat hati kala orang tuanya memutuskan pindah ke Jakarta. Sementara persiapan kepindahan dilakukan, Sterling dititipkan di  rumah kakeknya (Slamet Rahardjo) di Selo, Boyolali. Kekhawatiran bakal merasa jengah karena tinggal di kampung seketika sirna pasca bertemu Gianto alias Jaiyen (Fatih Unru) dengan segala gairahnya soal film khususnya akting. Mengetahui aktivitas Sterling di YouTube, Jaiyen pun langsung mengajaknya membuat film mengenai legenda Ki Ageng Sela yang konon, sanggup menangkap petir ketika tengah bertani.

Aktivitas Sterling di Selo mengasyikkan, apalagi bagi penonton seperti saya yang berasal dari daerah pedesaan di Jawa. Semua terasa familiar, dari lokasi sampai cara interaksi penuh selorohan menggelitik warga berlogat setempat, termasuk kemunculan singkat duo Pangsit-Benjo sebagai penjual jamu tradisional. Para aktor ciliknya pun tampak menikmati, yangjadi elemen terkait anak terbaik di film ini. Bima Azriel apik memerankan seorang bocah yang jengah atas tekanan bertubi-tubi ibunya. Bima memperlihatkan seperti apa kekesalan terpendam yang pelan-pelan dipupuk, menunggu meledak di kemudian hari. Keberhasilan Putri Ayudya memerankan ibu super protektif yang memudahkan kita mendukung “pemberontakan” Sterling. Jangan kaget kalau Beth mengingatkan pada sosok-sosok di sekitar anda.

Tapi pencuri perhatian terbesar tetap Fatih Unru yang bukan cuma jago mengocok perut, juga melakoni momen dramatik. Ada adegan ketika ia dituntut melakukan akting dalam akting, dan itu tampak meyakinkan, mematenkan Jaiyen sebagai pondasi motivasi pengejaran mimpi filmnya. Agak aneh sebenarnya saat motivasi motivasi itu datang dari sosok pendukung ketimbang Sterling yang seringkali sekedar mengikuti kemauan sobatnya. Jaiyen sendiri bicara bak orang dewasa penggemar film alih-alih anak kecil dengan kemurnian mimpinya. Eddie Cahyono (Siti) dan Jujur Prananto (Ada Apa Dengan Cinta? Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara) selaku penulis naskah berusaha memposisikan diri sebagai anak kecil, kemudian gagal, bak aktor yang berakting buruk.

Guna menolong proses pembuatan film, Sterling dan Jaiyen meminta bantuan dua videografer pernikahan, Arifin (Abimana Aryasatya) dan Kriwil (Arie Kriting), yang konon pernah membuat film fenomenal, namun secara tersirat disampaikan bahwa mereka tak pernah merampungkan karya itu, sehingga berbagi mimpi serupa kedua bocah tersebut. Menurut Ifa Isfansyah selaku produser eksekutif, Petualangan Menangkap Petir didasari mimpinya bersama Kuntz Agus membuat film anak dan film tentang film. Sayang, mereka sulit menahan diri untuk tidak menyelipkan filosofi mengenai film, seperti kalimat “film itu magis” atau penyebutan istilah macam “Mise-en-scène”, yang terdengar kurang pas di film anak. Semoga beruntung menjelaskan artinya pada anak-anak anda. Hal-hal “ke-sinema-an” tadi dicuapkan Abimana, yang akhirnya memerankan karakter “serius tapi santai” seperti saat mencuri perhatian tujuh tahun lalu di Catatan Harian Si Boy walau penokohan Arifin sendiri dangkal.

Seperti saya sebutkan di awal, di luar setumpuk kelemahannya, Petualangan Menangkap Petir masih sebuah tontonan menyenangkan. Kuntz Agus mampu membungkus kegiatan karakternya membuat film dengan seru. Bocah-bocah ini tidak peduli meski cuma berbekal properti buatan tangan seadanya juga akting sebisanya, sebab mereka hanya berniat bersenang-senang. Setidaknya Petualangan Menangkap Petir berpotensi menyediakan alternatif kegiatan aktif bagi anak: Membuat film. Walau lagi-lagi, menurut film ini, semuanya tergantung pada orang tua. 

4 komentar :

Comment Page:
wins mengatakan...

Nunggu wiro...

dear mengatakan...

Maaf, apakah setting Selo di Boyolali bykan sebuah kesalahan. Saya tetangga desa Selo dengan legenda Ki Ageng Selo-nya, di Kab. Grobogan.

Rasyidharry mengatakan...

@dear Kayaknya memang kesalahan, karena di filmnya sendiri disebut Boyolali.

iindranov mengatakan...

Bang nonton crazy wiro bang, asli memukau.. Pengen tau komentarnya pas momen efek cgi api yg ga padam pas kena hujan..