PETUALANGAN MENANGKAP PETIR (2018)
Rasyidharry
Agustus 27, 2018
Abimana Aryasatya
,
Bima Azriel
,
Comedy
,
Cukup
,
Darius Sinathrya
,
Drama
,
Eddie Chayono
,
Fatih Unru
,
Indonesian Film
,
Jujur Prananto
,
Kuntz Agus
,
Putri Ayudya
,
REVIEW
,
Slamet Rahardjo
4 komentar
Petualangan Menangkap Petir adalah film menyenangkan dengan
tokoh sentral anak-anak, meski bukan film anak yang sepenuhnya berhasil. Sebab
bila terlontar pertanyaan mengenai pesan apa yang dapat diserap, saya hanya
bisa menjawab, “Jadi orang tua jangan protektif secara berlebihan”, dan “Cobalah
memahami keinginan anak”. Sebagai film anak, karya penyutradaraan ketiga Kuntz
Agus (#republiktwitter, Surga yang Tak
Dirindukan) ini malah lebih lantang mengkritisi kalangan dewasa walau
meluangkan sepanjang durasi menyoroti aktivitas karakter bocahnya. Mungkin ini
hasil proses bawah sadar ketika para pembuatnya, serupa salah satu dialog yang
mereka tulis, kerap “lupa cara menjadi anak kecil”.
Tujuan dasar Petualangan Menangkap Petir sebenarnya sederhana, yakni melecut supaya
anak-anak tak ragu mengejar mimpi, juga berpetualang ke luar rumah, bertemu
teman-teman nyata ketimbang melulu berkutat di balik gadget dan dunia maya.
Tapi dalam konteks film ini, bila pokok-pokok bahasan di atas dirunut kembali,
semua masalah justru berpangkal di orang tua ketimbang anak. Bukan sang anak,
Sterling (Bima Azriel) yang meragu, melainkan sang ibu, Beth (Putri Ayudya)
yang mengekang. Semua tergantung pada Beth. Masalah hanya akan tuntas saat Beth
yang tersadar, bukan Sterling.
Meninjau situs personalnya, dapat
disimpulkan Beth adalah seorang penggiat soal pendidikan terhadap anak, yang
kerap membahas bagaimana agar anak bisa bermain sesuka hati, bersenang-senang
tanpa perlu membahayakan diri dengan keluar rumah. Berbanding terbalik dengan
sang suami, Mahesa (Darius Sinathrya), yang sejatinya ingin Sterling mengeksplorasi
dunia luar, namun enggan menyulut masalah dengan Beth. Sterling, yang selama
ini tinggal di Hong Kong, menjadi YouTuber
tenar berkat beragam konten kreatif, berinteraksi dengan ribuan “teman” meski
tak ada satu pun pernah ia temui langsung.
Kesuksesan itu membuat Sterling
berat hati kala orang tuanya memutuskan pindah ke Jakarta. Sementara persiapan
kepindahan dilakukan, Sterling dititipkan di
rumah kakeknya (Slamet Rahardjo) di Selo, Boyolali. Kekhawatiran bakal
merasa jengah karena tinggal di kampung seketika sirna pasca bertemu Gianto
alias Jaiyen (Fatih Unru) dengan segala gairahnya soal film khususnya akting.
Mengetahui aktivitas Sterling di YouTube, Jaiyen pun langsung mengajaknya
membuat film mengenai legenda Ki Ageng Sela yang konon, sanggup menangkap petir
ketika tengah bertani.
Aktivitas Sterling di Selo
mengasyikkan, apalagi bagi penonton seperti saya yang berasal dari daerah
pedesaan di Jawa. Semua terasa familiar, dari lokasi sampai cara interaksi
penuh selorohan menggelitik warga berlogat setempat, termasuk kemunculan
singkat duo Pangsit-Benjo sebagai penjual jamu tradisional. Para aktor ciliknya
pun tampak menikmati, yangjadi elemen terkait anak terbaik di film ini. Bima
Azriel apik memerankan seorang bocah yang jengah atas tekanan bertubi-tubi
ibunya. Bima memperlihatkan seperti apa kekesalan terpendam yang pelan-pelan
dipupuk, menunggu meledak di kemudian hari. Keberhasilan Putri Ayudya
memerankan ibu super protektif yang memudahkan kita mendukung “pemberontakan”
Sterling. Jangan kaget kalau Beth mengingatkan pada sosok-sosok di sekitar
anda.
Tapi pencuri perhatian terbesar
tetap Fatih Unru yang bukan cuma jago mengocok perut, juga melakoni momen
dramatik. Ada adegan ketika ia dituntut melakukan akting dalam akting, dan itu
tampak meyakinkan, mematenkan Jaiyen sebagai pondasi motivasi pengejaran mimpi
filmnya. Agak aneh sebenarnya saat motivasi motivasi itu datang dari sosok
pendukung ketimbang Sterling yang seringkali sekedar mengikuti kemauan
sobatnya. Jaiyen sendiri bicara bak orang dewasa penggemar film alih-alih anak
kecil dengan kemurnian mimpinya. Eddie Cahyono (Siti) dan Jujur Prananto (Ada
Apa Dengan Cinta? Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara) selaku penulis naskah berusaha
memposisikan diri sebagai anak kecil, kemudian gagal, bak aktor yang berakting
buruk.
Guna menolong proses pembuatan
film, Sterling dan Jaiyen meminta bantuan dua videografer pernikahan, Arifin
(Abimana Aryasatya) dan Kriwil (Arie Kriting), yang konon pernah membuat film
fenomenal, namun secara tersirat disampaikan bahwa mereka tak pernah
merampungkan karya itu, sehingga berbagi mimpi serupa kedua bocah tersebut. Menurut
Ifa Isfansyah selaku produser eksekutif, Petualangan
Menangkap Petir didasari mimpinya bersama Kuntz Agus membuat film anak dan
film tentang film. Sayang, mereka sulit menahan diri untuk tidak menyelipkan
filosofi mengenai film, seperti kalimat “film itu magis” atau penyebutan
istilah macam “Mise-en-scène”, yang
terdengar kurang pas di film anak. Semoga beruntung menjelaskan artinya pada
anak-anak anda. Hal-hal “ke-sinema-an” tadi dicuapkan Abimana, yang akhirnya
memerankan karakter “serius tapi santai” seperti saat mencuri perhatian tujuh
tahun lalu di Catatan Harian Si Boy
walau penokohan Arifin sendiri dangkal.
Seperti saya sebutkan di awal, di
luar setumpuk kelemahannya, Petualangan
Menangkap Petir masih sebuah tontonan menyenangkan. Kuntz Agus mampu
membungkus kegiatan karakternya membuat film dengan seru. Bocah-bocah ini tidak
peduli meski cuma berbekal properti buatan tangan seadanya juga akting
sebisanya, sebab mereka hanya berniat bersenang-senang. Setidaknya Petualangan Menangkap Petir berpotensi
menyediakan alternatif kegiatan aktif bagi anak: Membuat film. Walau lagi-lagi, menurut film ini, semuanya tergantung pada orang tua.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
4 komentar :
Comment Page:Nunggu wiro...
Maaf, apakah setting Selo di Boyolali bykan sebuah kesalahan. Saya tetangga desa Selo dengan legenda Ki Ageng Selo-nya, di Kab. Grobogan.
@dear Kayaknya memang kesalahan, karena di filmnya sendiri disebut Boyolali.
Bang nonton crazy wiro bang, asli memukau.. Pengen tau komentarnya pas momen efek cgi api yg ga padam pas kena hujan..
Posting Komentar