7 DAYS (2018)

4 komentar
7 Days, selaku, punya konsep indah nan mendalam yang dituangkan dalam perjalanan karakternya, yang diharapkan berujung pada konklusi menyentuh. Ya, saya menitikkan air mata di akhir, tapi bukan banjir tangis sebagaimana tujuan filmnya. Bukan berarti buruk, sebab saya mengagumi caranya mengkreasi proses berbasis memori, namun ada jurang pemisah lebar antara “Salah satu film TERBAIK” dengan “Salah satu film YANG BAIK”. Karya penyutradaran keempat Panjapong Kongkanoy (The Rooms, The Moment) ini nyaris jadi kategori pertama sebelum berakhir sebagai kategori kedua akibat naskah lemah, atau tepatnya terlambat memasang pondasi.

Premis 7 Days adalah mengenai Tan (Kan Kantathavorn) yang tiap pagi terbangun di tubuh berlainan, tapi telepon genggam miliknya selalu ikut serta, karena filmnya kesulitan memikirkan cara lain agar ia dan kekasihnya, Meen (Nittha Jirayungyurn), bisa tetap berhubungan. Kisah dimulai ketika Tan telah merasuk ke dalam tubuh seorang pria tambun yang duduk tepat di depan rumah Meen. Kita belum tahu siapa Tan maupun bagaimana hubungannya dengan Meen berlangsung. Rasanya seperti sedang menyaksikan cerita yang dimulai dari pertengahan.

Mungkin Panjapong hendak menempatkan penonton di posisi serupa Tan, yang juga kehilangan ingatan, tidak tahu siapa dirinya. Tapi perspektif tersebut kurang sesuai di sini, sebab agar penonton mampu terikat oleh perjalanan absurdnya, mengenal baik karakternya merupakan tahap yang lebih dulu wajib dilalui. Setelah si pria tambun, Tan terus melalui hari ke hari dengan berpindah dari tubuh ke tubuh, mulai kawan bulenya, hingga pemilik restoran tempat Tan bekerja sebagai koki, sekaligus lokasi kali pertama ia bertemu Meen, yang berpforesi sebagai kritikus makanan setelah menyerahkan mimpinya menjadi koki. Jiwa Tan mondar-mandir tanpa tujuan jelas, demikian pula paruh awal filmnya, yang tetap memiliki cukup energi berkat segelintir suntikkan humor.

Di antara perpindahan tubuh Tan, diselipkan pula flashback yang bertugas memperkenalkan kondisi hubungan dua tokoh utama, juga penegas bahwa Tan berpindah tubuh bukan secara acak. Saya tidak bisa mengungkap detail, pastinya masing-masing dari mereka berperan mendefinisikan asmara Tan-Meen, walau sayang, bobot pengaruh satu sama lain—yang turut bersinggungan dengan kata dan frasa yang tertulis di setiap permulaan hari (dream, mind and soul, passion, etc.)—kurang berimbang. Satu pihak memberi dampak kuat, sementara pihak lainnya bak kebetulan lewat. Tapi pengembaraan jiwa Tan tetaplah cara penuh makna guna merangkum hubungan romansa. Karena setiap hubungan menciptakan momen, setiap momen menciptakan memori yang terdiri atas lokasi, waktu, serta orang-orang di sekitar. Dan perjalanan ajaib ini menggambarkan betapa cinta lebih dari koneksi berdasarkan ketertarikan fisik.

Terdapat 2 titik balik, pertama sewaktu Tan menyadari identitasnya, kedua saat Meen mengetahui kondisi sang kekasih. Titik balik pertama tersaji lemah. Tan sekedar menebak, “So I guess I am him, I am Tan”, ketimbang menemukan kebenaran itu. Sebaliknya, titik balik kedua merupakan poin yang dibutuhkan 7 Days, yakni pondasi romantikanya. Inilah titik di mana kita akhirnya menyadari seberapa kuat cinta mereka. Inilah titik di mana elemen drama sarat emosi, humor, plus filosofi soal romansanya berbaur apik dan mulai mencuri hati. Andai titik ini tampil sejam lebih awal sehingga tautan rasa dengan karakternya berlangsung lebih lama dan kuat.  

Apalagi Nittha Jirayungyurn memiliki kapasitas menangani momen tearjerker. Tangisannya menyayat perasaan, bersamaan dengan kemampuan Panjapong menangani momen emosional beruntun jelang akhir, berkat sensitivitas yang tak pernah terasa memaksa penontonnya mengalirkan air mata. Di paruh akhir pula sekilas nampak bakat Panjapong menangani food porn menggugah selera guna merangkum proses kedua protagonis dengan memuaskan. Tan dan Meen berbeda pandangan tentang cara memasak. Meen mengutamakan metode textbook, sedangkan Tan gemar bereksperimen. Si gadis memakai otak, si pria mementingkan hati. Begitu pun terkait jalan hidup. Tan ingin melanglang buana, Meen betah menetap di zona nyaman. Daripada mencari yang lebih baik, 7 Days kedua belah pihak harus eksis bersama untuk saling melengkapi, bagaimana pun bentuknya.

4 komentar :

Comment Page:
Unknown mengatakan...

Ini remake dari film korea ya secara premis nya hampir sama tapi kalo yg korea pemeran utamanya gak lupa ingatan

Rasyidharry mengatakan...

The Beauty Inside? Ya premisnya mirip, juga kayak Every Day. Tapi eksekusinya beda. The Beauty Inside malah yang adaptasi webseries.

Unknown mengatakan...

Kalo dibandingkan sma the beauty inside bagusan mana, krn pas nonton film korea itu radah bosan..

omdabo mengatakan...

@Zi
numpang komen gan.
di bandingkan, the beauty Inside korea (baik film dan Kdramanya yg baru selesai).
film thailand ini ada kejelasan bagaimana si tokoh utama berpindah tubuh tiap hari.
jadi penonton lebih puas karena ada sebab dan akibat.
walaupun semua hal ga di jabarin satu persatu, lumayan seger lihat akting mba nita setelah one day