7 DAYS (2018)
Rasyidharry
September 04, 2018
Comedy
,
Cukup
,
Fantasy
,
Kan Kantathavorn
,
Nittha Jirayungyurn
,
Panjapong Kongkanoy
,
REVIEW
,
Romance
,
Thai Movie
4 komentar
7 Days, selaku, punya konsep indah nan mendalam yang dituangkan dalam
perjalanan karakternya, yang diharapkan berujung pada konklusi menyentuh. Ya,
saya menitikkan air mata di akhir, tapi bukan banjir tangis sebagaimana tujuan
filmnya. Bukan berarti buruk, sebab saya mengagumi caranya mengkreasi proses
berbasis memori, namun ada jurang pemisah lebar antara “Salah satu film TERBAIK”
dengan “Salah satu film YANG BAIK”. Karya penyutradaran keempat Panjapong
Kongkanoy (The Rooms, The Moment) ini nyaris jadi kategori pertama sebelum berakhir sebagai kategori kedua akibat naskah lemah, atau tepatnya terlambat memasang
pondasi.
Premis 7 Days adalah mengenai Tan (Kan Kantathavorn) yang tiap pagi
terbangun di tubuh berlainan, tapi telepon genggam miliknya selalu ikut serta,
karena filmnya kesulitan memikirkan cara lain agar ia dan kekasihnya, Meen (Nittha
Jirayungyurn), bisa tetap berhubungan. Kisah dimulai ketika Tan telah merasuk
ke dalam tubuh seorang pria tambun yang duduk tepat di depan rumah Meen. Kita
belum tahu siapa Tan maupun bagaimana hubungannya dengan Meen berlangsung.
Rasanya seperti sedang menyaksikan cerita yang dimulai dari pertengahan.
Mungkin Panjapong hendak
menempatkan penonton di posisi serupa Tan, yang juga kehilangan ingatan, tidak
tahu siapa dirinya. Tapi perspektif tersebut kurang sesuai di sini, sebab agar
penonton mampu terikat oleh perjalanan absurdnya, mengenal baik karakternya
merupakan tahap yang lebih dulu wajib dilalui. Setelah si pria tambun, Tan terus
melalui hari ke hari dengan berpindah dari tubuh ke tubuh, mulai kawan bulenya,
hingga pemilik restoran tempat Tan bekerja sebagai koki, sekaligus lokasi kali
pertama ia bertemu Meen, yang berpforesi sebagai kritikus makanan setelah
menyerahkan mimpinya menjadi koki. Jiwa Tan mondar-mandir tanpa tujuan jelas,
demikian pula paruh awal filmnya, yang tetap memiliki cukup energi berkat segelintir
suntikkan humor.
Di antara perpindahan tubuh Tan,
diselipkan pula flashback yang
bertugas memperkenalkan kondisi hubungan dua tokoh utama, juga penegas bahwa Tan
berpindah tubuh bukan secara acak. Saya tidak bisa mengungkap detail, pastinya
masing-masing dari mereka berperan mendefinisikan asmara Tan-Meen, walau
sayang, bobot pengaruh satu sama lain—yang turut bersinggungan dengan kata dan
frasa yang tertulis di setiap permulaan hari (dream, mind and soul, passion, etc.)—kurang berimbang. Satu pihak
memberi dampak kuat, sementara pihak lainnya bak kebetulan lewat. Tapi
pengembaraan jiwa Tan tetaplah cara penuh makna guna merangkum hubungan
romansa. Karena setiap hubungan menciptakan momen, setiap momen
menciptakan memori yang terdiri atas lokasi, waktu, serta orang-orang di
sekitar. Dan perjalanan ajaib ini menggambarkan betapa cinta lebih dari koneksi
berdasarkan ketertarikan fisik.
Terdapat 2 titik balik, pertama
sewaktu Tan menyadari identitasnya, kedua saat Meen mengetahui kondisi sang
kekasih. Titik balik pertama tersaji lemah. Tan sekedar menebak, “So I guess I am him, I am Tan”,
ketimbang menemukan kebenaran itu. Sebaliknya, titik balik kedua merupakan poin
yang dibutuhkan 7 Days, yakni pondasi
romantikanya. Inilah titik di mana kita akhirnya menyadari seberapa kuat cinta
mereka. Inilah titik di mana elemen drama sarat emosi, humor, plus filosofi soal
romansanya berbaur apik dan mulai mencuri hati. Andai titik ini tampil sejam
lebih awal sehingga tautan rasa dengan karakternya berlangsung lebih lama
dan kuat.
Apalagi Nittha Jirayungyurn
memiliki kapasitas menangani momen tearjerker.
Tangisannya menyayat perasaan, bersamaan dengan kemampuan Panjapong menangani
momen emosional beruntun jelang akhir, berkat sensitivitas yang tak pernah
terasa memaksa penontonnya mengalirkan air mata. Di paruh akhir pula sekilas
nampak bakat Panjapong menangani food
porn menggugah selera guna merangkum proses kedua protagonis dengan
memuaskan. Tan dan Meen berbeda pandangan tentang cara memasak. Meen
mengutamakan metode textbook,
sedangkan Tan gemar bereksperimen. Si gadis memakai otak, si pria mementingkan
hati. Begitu pun terkait jalan hidup. Tan ingin melanglang buana, Meen betah
menetap di zona nyaman. Daripada mencari yang lebih baik, 7 Days kedua belah pihak harus eksis bersama untuk saling
melengkapi, bagaimana pun bentuknya.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
4 komentar :
Comment Page:Ini remake dari film korea ya secara premis nya hampir sama tapi kalo yg korea pemeran utamanya gak lupa ingatan
The Beauty Inside? Ya premisnya mirip, juga kayak Every Day. Tapi eksekusinya beda. The Beauty Inside malah yang adaptasi webseries.
Kalo dibandingkan sma the beauty inside bagusan mana, krn pas nonton film korea itu radah bosan..
@Zi
numpang komen gan.
di bandingkan, the beauty Inside korea (baik film dan Kdramanya yg baru selesai).
film thailand ini ada kejelasan bagaimana si tokoh utama berpindah tubuh tiap hari.
jadi penonton lebih puas karena ada sebab dan akibat.
walaupun semua hal ga di jabarin satu persatu, lumayan seger lihat akting mba nita setelah one day
Posting Komentar