ARUNA & LIDAHNYA (2018)
Rasyidharry
September 28, 2018
Comedy
,
Dian Sastrowardoyo
,
Drama
,
Edwin
,
Hannah Al Rashid
,
Indonesian Film
,
Lumayan
,
Nicholas Saputra
,
Oka Aurora
,
REVIEW
,
Romance
,
Titien Wattimena
8 komentar
Saya teringat satu adegan Ada Apa Dengan Cinta 2 ketika Cinta
diam-diam tersipu di samping Rangga yang tengah menyetir. Momen itu menunjukkan
kepiawaian Dian Sastrowardoyo bertutur secara non-verbal dalam situasi
menggelitik. Aruna & Lidahnya,
yang merupakan adaptasi novel berjudul sama karya Laksmi Pamuntjak praktis
menampilkan bagaimana jadinya apabila adegan beberapa detik itu dijadikan suguhan
106 menit. Hasilnya sedap, bahkan lebih sedap dari piring demi piring makanan
yang memiliki screentime lebih banyak
dibanding beberapa pemainnya sekalipun.
Kali ini Dian memerankan Aruna,
epidemiologist (ahli wabah) yang oleh kantornya ditugaskan melakukan
investigasi terhadap wabah flu burung di berbagai daerah Indonesia, sembari
secara bersamaan melakukan wisata kuliner bersama sahabatnya, Bono (Nicholas
Saputra), yang berprofesi sebagai chef. Seiring perjalanan, turut hadir
Nadezhda (Hannah Al Rashid), penulis makanan yang selama ini tinggal di luar
negeri, juga Farish (Oka Antara) yang ditugaskan membantu investigasi. Sejak
dulu Aruna menyimpan perasaan lebih kepada Farish, sebagaimana Bono juga
menyukai Nadezhda.
Berbasis naskah garapan Titien
Wattimena (Salawaku, Dilan 1990),
Edwin yang tahun lalu baru saja memenangkan “Sutradara Terbaik” pada Festival
Film Indonesia, membawa keempat tokohnya dalam perjalanan separuh road movie separuh food porn guna belajar soal kehidupan pula cinta yang dijembatani
oleh rasa. Serupa judulnya yang mengandung kata “lidah” selaku indera perasa, “rasa”
memang memainkan peranan penting di sini.
Dibayangi patah hati akibat
cintanya pada Farish yang tak kesampaian ditambah kepenatan kerja, Aruna bagai
mati rasa. Di awal film, ia mendeklarasikan bahwa untuk menyantap makanan enak
tidak perlu melibatkan romantisasi berupa keharusan menikmatinya bersama orang
spesial. Menutup hatinya, lidah Aruna pun turut kehilangan kemampuan mengecap
rasa makanan, termasuk masakan kelas wahid buatan Bono. Melalui perjalanan ini,
dia mulai coba pelan-pelan belajar merasakan lagi, baik dengan lidah maupun
hatinya.
Naskahnya rapi merajut subteks yang
sejatinya tak seberapa subtil di atas, yang seluruhnya, termasuk sempilan
subplot tentang pencarian resep “nasi goreng bibi”, bermuara menuju kesimpulan bahwa
rasa paling paripurna sejatinya bersumber dari orang-orang tercinta. Sementara
investigasi terhadap kasus flu burung memberi kesempatan filmnya menyentil
beberapa isu sosial sekaligus menarik benang merah perihal “rahasia”, suatu hal
yang nampaknya begitu digemari para karakternya. Anda akan tahu rahasia apa
saja yang dibawa investigasi ini setelah menonton filmnya.
Fokus utamanya tetap berkutat dalam
3 poin: pencarian rasa, romansa, dan makanan. Sayang, romansanya tidak
semeyakinkan poin yang disebut pertama. Mengapa hati Aruna urung beranjak dari
Farish—si pria kaku sekaligus judes—bahkan ketika reuni mereka diawali dengan kurang
menyenangkan? Selain berparas rupawan, apa yang spesial dari Farish? Sedangkan hubungan
Bono-Nadezhda belum mampu mencapai potensinya menjadi subplot yang mendukung
tema “pencarian rasa” sewaktu presentasinya sendiri tidak pernah tampil
emosional. Pertanyaannya sama. Mengapa (apabila akhirnya menerima cinta Bono)
Nadezhda bersedia menghentikan petualangan cintanya?
Tapi berkat jajaran cast kelas satunya, kelemahan tersebut
tidak pernah terlalu mengganggu. Interaksi keempatnya menyenangkan disimak,
entah saat membicarakan makanan, mengaitkannya dengan beragam sendi kehidupan
(yang dirangkai oleh dialog-dialog “kaya”), atau sekedar melontarkan canda. Apalagi
Dian dan Nic, yang setelah bertahun-tahun dipandang sebagai pasangan legendaris
perfilman Indonesia, nampak demikian mudah menjalin chemistry natural. Saya takkan terkejut kalau beberapa obrolan merupakan
hasil improvisasi di mana Edwin membiarkan keduanya berinteraksi bebas.
Dian adalah energi terbesar Aruna & Lidahnya, dengan ekspresi
non-verbal quirky sebagai senjata
andalan, tatkala Aruna, secara rutin sekaligus diam-diam, merespon omongan atau
tingkah karakter lain. Mungkin Aruna bukan pertunjukkan akting terbaik Dian,
namun jelas karakter paling berwarna, paling dinamis, paling kaya rasa, dan
pastinya paling lucu sepanjang karirnya. Pun penampilan sang aktris mendukung pemakaian
metode breaking the fourth wall yang
filmnya terapkan agar penonton merasa lebih dekat dengan Aruna. Tentu
keberhasilan itu juga berkat pengetahuan Edwin mengenai cara memanfaatkan
keunggulan aktisnya, walau saat dihadapkan pada makanan, nyatanya sang
sutradara belum seberapa mumpuni.
Ditangkap oleh kamera Amalia TS (Tabula Rasa, Galih & Ratna) selaku
sinematografer, aroma, apalagi tekstur masakan belum sepenuhnya berhasil
diterjemahkan dalam bahasa visual. Apabila anda merasa lapar (seperti saya)
saat menontonnya, itu bukan dikarenakan pencapaian artistik filmnya, melainkan “Siapa
yang tidak berliur melihat makanan sedemikian banyak selama hampir 2 jam?”.
Setidaknya Aruna & Lidahnya mampu
mengenalkan ragam masakan khas daerah-daerah yang dikunjungi, sehingga besar
kemungkinan pasca menyaksikannya, para penonton tertarik berburu
makanan-makanan yang ada.
Menebus
kelemahannya membungkus food porn,
Edwin memamerkan cara uniknya bersenda gurau. Setelah menerapkan pendekatan “normal”
melalui Posesif, inilah film di mana
visi (for lack of a better word) absurd
yang ia bangun sejak bermain-main di ranah sureal dahulu, berpadu apik dengan
hiburan arus utama guna menghasilkan perjalanan mengasyikkan. Dari “adegan
burung mati” hingga dua sekuen mimpi, adalah bukti keberhasilan Edwin menemukan
formula yang memfasilitasi signature-nya
tanpa mengalienasi penonton umum. Wisata kuliner (atau investigasi?) mungkin
tak sedalam yang diniati, namun kelezatannya jelas sukar ditolak.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
8 komentar :
Comment Page:Jadi, 2 mimpi itu dibikin buat apa ya? Masih rada ganggu kalau diingat ingat
Saking asyiknya nonton mbak dian dkk serasa gak rela pas filmnya habis
FIlm ini asik banget untuk ditonton, dialognya seru dan beberapa makanan memang bikin ngeces.. Adegan mimpi Aruna khas Edwin banget, penuh misteri dan arti.. Salah satu film terbaik tahun ini!
[SPOILER]
Gan, ada yang inget narasi penutupnya nggak? Coz, ane ga konsen di ending, wkwkwk. Tengs.
Dua film Edwin berhasil memukau gue. Dia gak ragu bukin opening credit pakai bahasa indonesia dan simple bgt. FYI, byk beredar proyek selanjutnya Edwin adaptasi novelnya Eka Kurniawan bang, Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas. Menurut bang rasyid kalo liat trek rekormya gimana?
@rizqun Poinnya sama: Soal kemampuan memahami & mencari rasa.
@Reza Well, bukan penggemar karya-karyanya Eka Kurniawan sih, tapi menarik mau dibawa ke mana sama Edwin. Pengennya sih ngelanjutin pencapaian dia sejauh ini yang bisa blend gaya artsy sama populer.
Ngeliat dian sastro diantara kandang ayam aja udah nyenengin banget..
Oiya nanya yg agak SPOILER nih..
maksudnya si kakek yg sekarat di rumah sakit terus tiba2 datang di klub dangdut apa ya.. tanda2 kematiannya kah?
@Panca Anggap aja kapal dangdut itu perwujudan "surga" versi Edwin :)
Posting Komentar