ARUNA & LIDAHNYA (2018)

8 komentar
Saya teringat satu adegan Ada Apa Dengan Cinta 2 ketika Cinta diam-diam tersipu di samping Rangga yang tengah menyetir. Momen itu menunjukkan kepiawaian Dian Sastrowardoyo bertutur secara non-verbal dalam situasi menggelitik. Aruna & Lidahnya, yang merupakan adaptasi novel berjudul sama karya Laksmi Pamuntjak praktis menampilkan bagaimana jadinya apabila adegan beberapa detik itu dijadikan suguhan 106 menit. Hasilnya sedap, bahkan lebih sedap dari piring demi piring makanan yang memiliki screentime lebih banyak dibanding beberapa pemainnya sekalipun.

Kali ini Dian memerankan Aruna, epidemiologist (ahli wabah) yang oleh kantornya ditugaskan melakukan investigasi terhadap wabah flu burung di berbagai daerah Indonesia, sembari secara bersamaan melakukan wisata kuliner bersama sahabatnya, Bono (Nicholas Saputra), yang berprofesi sebagai chef. Seiring perjalanan, turut hadir Nadezhda (Hannah Al Rashid), penulis makanan yang selama ini tinggal di luar negeri, juga Farish (Oka Antara) yang ditugaskan membantu investigasi. Sejak dulu Aruna menyimpan perasaan lebih kepada Farish, sebagaimana Bono juga menyukai Nadezhda.

Berbasis naskah garapan Titien Wattimena (Salawaku, Dilan 1990), Edwin yang tahun lalu baru saja memenangkan “Sutradara Terbaik” pada Festival Film Indonesia, membawa keempat tokohnya dalam perjalanan separuh road movie separuh food porn guna belajar soal kehidupan pula cinta yang dijembatani oleh rasa. Serupa judulnya yang mengandung kata “lidah” selaku indera perasa, “rasa” memang memainkan peranan penting di sini.

Dibayangi patah hati akibat cintanya pada Farish yang tak kesampaian ditambah kepenatan kerja, Aruna bagai mati rasa. Di awal film, ia mendeklarasikan bahwa untuk menyantap makanan enak tidak perlu melibatkan romantisasi berupa keharusan menikmatinya bersama orang spesial. Menutup hatinya, lidah Aruna pun turut kehilangan kemampuan mengecap rasa makanan, termasuk masakan kelas wahid buatan Bono. Melalui perjalanan ini, dia mulai coba pelan-pelan belajar merasakan lagi, baik dengan lidah maupun hatinya.

Naskahnya rapi merajut subteks yang sejatinya tak seberapa subtil di atas, yang seluruhnya, termasuk sempilan subplot tentang pencarian resep “nasi goreng bibi”, bermuara menuju kesimpulan bahwa rasa paling paripurna sejatinya bersumber dari orang-orang tercinta. Sementara investigasi terhadap kasus flu burung memberi kesempatan filmnya menyentil beberapa isu sosial sekaligus menarik benang merah perihal “rahasia”, suatu hal yang nampaknya begitu digemari para karakternya. Anda akan tahu rahasia apa saja yang dibawa investigasi ini setelah menonton filmnya.

Fokus utamanya tetap berkutat dalam 3 poin: pencarian rasa, romansa, dan makanan. Sayang, romansanya tidak semeyakinkan poin yang disebut pertama. Mengapa hati Aruna urung beranjak dari Farish—si pria kaku sekaligus judes—bahkan ketika reuni mereka diawali dengan kurang menyenangkan? Selain berparas rupawan, apa yang spesial dari Farish? Sedangkan hubungan Bono-Nadezhda belum mampu mencapai potensinya menjadi subplot yang mendukung tema “pencarian rasa” sewaktu presentasinya sendiri tidak pernah tampil emosional. Pertanyaannya sama. Mengapa (apabila akhirnya menerima cinta Bono) Nadezhda bersedia menghentikan petualangan cintanya?

Tapi berkat jajaran cast kelas satunya, kelemahan tersebut tidak pernah terlalu mengganggu. Interaksi keempatnya menyenangkan disimak, entah saat membicarakan makanan, mengaitkannya dengan beragam sendi kehidupan (yang dirangkai oleh dialog-dialog “kaya”), atau sekedar melontarkan canda. Apalagi Dian dan Nic, yang setelah bertahun-tahun dipandang sebagai pasangan legendaris perfilman Indonesia, nampak demikian mudah menjalin chemistry natural. Saya takkan terkejut kalau beberapa obrolan merupakan hasil improvisasi di mana Edwin membiarkan keduanya berinteraksi bebas.

Dian adalah energi terbesar Aruna & Lidahnya, dengan ekspresi non-verbal quirky sebagai senjata andalan, tatkala Aruna, secara rutin sekaligus diam-diam, merespon omongan atau tingkah karakter lain. Mungkin Aruna bukan pertunjukkan akting terbaik Dian, namun jelas karakter paling berwarna, paling dinamis, paling kaya rasa, dan pastinya paling lucu sepanjang karirnya. Pun penampilan sang aktris mendukung pemakaian metode breaking the fourth wall yang filmnya terapkan agar penonton merasa lebih dekat dengan Aruna. Tentu keberhasilan itu juga berkat pengetahuan Edwin mengenai cara memanfaatkan keunggulan aktisnya, walau saat dihadapkan pada makanan, nyatanya sang sutradara belum seberapa mumpuni.

Ditangkap oleh kamera Amalia TS (Tabula Rasa, Galih & Ratna) selaku sinematografer, aroma, apalagi tekstur masakan belum sepenuhnya berhasil diterjemahkan dalam bahasa visual. Apabila anda merasa lapar (seperti saya) saat menontonnya, itu bukan dikarenakan pencapaian artistik filmnya, melainkan “Siapa yang tidak berliur melihat makanan sedemikian banyak selama hampir 2 jam?”. Setidaknya Aruna & Lidahnya mampu mengenalkan ragam masakan khas daerah-daerah yang dikunjungi, sehingga besar kemungkinan pasca menyaksikannya, para penonton tertarik berburu makanan-makanan yang ada.
Menebus kelemahannya membungkus food porn, Edwin memamerkan cara uniknya bersenda gurau. Setelah menerapkan pendekatan “normal” melalui Posesif, inilah film di mana visi (for lack of a better word) absurd yang ia bangun sejak bermain-main di ranah sureal dahulu, berpadu apik dengan hiburan arus utama guna menghasilkan perjalanan mengasyikkan. Dari “adegan burung mati” hingga dua sekuen mimpi, adalah bukti keberhasilan Edwin menemukan formula yang memfasilitasi signature-nya tanpa mengalienasi penonton umum. Wisata kuliner (atau investigasi?) mungkin tak sedalam yang diniati, namun kelezatannya jelas sukar ditolak.

8 komentar :

Comment Page:
Unknown mengatakan...

Jadi, 2 mimpi itu dibikin buat apa ya? Masih rada ganggu kalau diingat ingat

Unknown mengatakan...

Saking asyiknya nonton mbak dian dkk serasa gak rela pas filmnya habis

Unknown mengatakan...

FIlm ini asik banget untuk ditonton, dialognya seru dan beberapa makanan memang bikin ngeces.. Adegan mimpi Aruna khas Edwin banget, penuh misteri dan arti.. Salah satu film terbaik tahun ini!

Anonim mengatakan...

[SPOILER]

Gan, ada yang inget narasi penutupnya nggak? Coz, ane ga konsen di ending, wkwkwk. Tengs.

Reza mengatakan...

Dua film Edwin berhasil memukau gue. Dia gak ragu bukin opening credit pakai bahasa indonesia dan simple bgt. FYI, byk beredar proyek selanjutnya Edwin adaptasi novelnya Eka Kurniawan bang, Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas. Menurut bang rasyid kalo liat trek rekormya gimana?

Rasyidharry mengatakan...

@rizqun Poinnya sama: Soal kemampuan memahami & mencari rasa.

@Reza Well, bukan penggemar karya-karyanya Eka Kurniawan sih, tapi menarik mau dibawa ke mana sama Edwin. Pengennya sih ngelanjutin pencapaian dia sejauh ini yang bisa blend gaya artsy sama populer.

Panca mengatakan...

Ngeliat dian sastro diantara kandang ayam aja udah nyenengin banget..

Oiya nanya yg agak SPOILER nih..
maksudnya si kakek yg sekarat di rumah sakit terus tiba2 datang di klub dangdut apa ya.. tanda2 kematiannya kah?

Rasyidharry mengatakan...

@Panca Anggap aja kapal dangdut itu perwujudan "surga" versi Edwin :)